Part 09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dirimu"

Warning: Terdapat adegan 'nude' tapi ya hanya sedikit. Very long chapter :v

*** (Name)'s pov ***

Aku membuka mataku, dan langsung duduk dan melihat sekitarku.

"Dimana ini...?"

Aku tidak berada di kamarku, melainkan seperti ruang hampa dan gelap. Aku berdiri dan menyadari bahwa aku tidak memakai pakaian tidur, melainkan sebuah dress putih polos tanpa alas kaki.

'Apa ini mimpi?' pikirku lalu melihat tanganku, 'Semi transparan... bearti aku bermimpi...' lalu aku kembali melihat pemandangan yang ada di depan.

Perhatianku tertuju pada 1 pintu, aku mendekati pintu itu dan membukanya.

'Eh?'

Aku melihat sekitarku dengan heran tapi kagum.

Bunga dandelion dimana-mana, sangat tenang dan indah.

"Ibuuuuuu!!" suara yang melengking khas anak kecil mengisi indra pendengaran di taman bunga dandelion yang tenang ini.

Lalu seorang anak kecil berlari melewatiku menuju pohon besar yang berada di tepi taman ini, dimana seorang perempuan berumur 20-an sedang duduk di rerumputan sambil meminum segelas teh hangat.

"(Name)? Ada apa?" tanyanya dengan suara yang lembut dan menenangkan.

'Itu... ibu?' pikirku syok 'Dan anak itu... aku?'

Rambut (h/c)nya yang pendek dan diberi pita (f/c) yang besar itu bergerak mengikuti gerakan lincah anak kecil--atau diriku--yang terlihat sangat senang dan bersemangat itu.

"Lihat!" ucap sosok 4 tahunku dengan senyum sambil memegang sebuah dandelion, "Aku memetik bunga yang paling besar dan cantik!" sambungnya dengan mata yang berbinar-binar.

Ibu hanya tertawa kecil lalu mengelus rambutku dengan lembut, "Hadapkan dandelion itu ke langit," aku menuruti apa yang ibu ucapkan, "Lalu tiuplah dengan kencang."

Diriku yang berumur 4 tahun itu meniupnya dengan bersemangat dan dengan kencang pastinya, dan serpihan kecil bunga--atau biji bunga--dandelion itu berterbangan. Diriku yang meniup itu langsung menatap semua itu dengan kagum dan senyum yang lebar. Aku juga melihatnya berterbangan dengan bebas.

"Siapapun yang bisa meniup semua serbuk bunga itu dalam sekali tiup, maka dia akan menemukan cinta sejatinya." ucap ibu membuatku dan (Name) kecil menoleh.

"Benarkah?" ucap (Name), "Kalau begitu aku akan menemukan cinta sejatiku, yaay!" sambungku melompat ria, "Aku juga ingin terbang seperti bunga dandelion, ibu!"

"Apa kau ingin mendengar cerita tentang bunga dandelion?"

"MAU!" lalu diriku itu duduk di pangkuan ibu.

Ibu hanya tersenyum, meletakkan gelas teh di sebelahnya, lalu mengambil setangkai dandelion yang tumbuh di dekatnya.

"Bunga dandelion itu bunga yang tidak dilihat orang karena tidak indah, warnanya putih seperti kapas."

"Tapi (Name) suka putih!" ibu hanya tertawa mendengar ucapan polos dari diriku itu.

"Tangkainya yang kecil dan sederhana dapat tumbuh dimana saja, tergantung dimana benihnya jatuh. Serpihan-serpihan kecil bunganya yang ringan akan terbang terbawa angin dan menyebar kemana pun ia mau, yang akhirnya akan tumbuh menjadi bunga baru di tempat ia jatuh dan membawa kehidupan baru."

Diriku itu hanya menatap tiap bagian yang ibu tunjuk: tangkai dan serbuk dandelion.

"Bunga dandelion, terlihat sangat rapuh, namun sangat kuat, sangat indah, dan memiliki arti yang dalam. Kuat menentang angin, terbang tinggi dan menjelajah angkasa, dan akhirnya hingga di suatu tempat untuk tumbuh menjadi kehidupan baru."

"(Name) akan terbang menentang angin! (Name) ingin terbang seperti dandelion!" ucap (Name) kecil dengan semangat, membuat ibu tertawa.

"Dandelion mampu bertahan dalam segala cobaan. Walaupun bentuknya tidak seindah mawar merah, tidak seharum bunga melati. Tapi dandelion dengan tangkai kecilnya yang sederhana, mampu memberikan banyak arti dalam kehidupan ini, bisa memberikan kehidupan baru. Serta saat dia disandingkan dengan ilalang jalanan yang sangat tinggi dan membuat keberadaannya tidak terlihat juga tidak membuatnya sedih, karena ia memang bagian dari itu. Dia tak pernah berhenti berusaha."

"Tapi (Name) lebih suka dandelion! Mawar itu membuat tangan (Name) sakit!" ucap diriku menunjukkan jarinya yang diberi plester (f/c).

Ibu kembali tertawa lalu meletakkan dandelion di tanganku yang membuat diriku secara refleks memegangnya.

"Dandelion sosok kuat meskipun tampak rapuh, tapi memiliki semangat yang hebat dalam mencari kehidupan baru di luar sana. Tujuan hidupnya hanya satu: setelah dia terbang melintasi jagad raya, melihat kehidupan yang penuh kesulitan, suatu hari nanti, sejauh apapun dia telah pergi, dia akan kembali--ke tempat dimana dia berasal."

"Uh, huh." sosok 4 tahunku pasti tidak mengerti apa yang ibu ucapkan barusan dan itu membuatku sedikit tertawa.

Ibu hanya tersenyum lalu meniup serbuk dandelion, membuat (Name) kecil ataupun diriku melihat semua serbuk itu terbang.

"Satu pelajaran yang dapat kita ambil adalah meskipun kita dipandang sebelah mata, terlihat rapuh dan tak sempurna oleh mereka, Kita tidak boleh pesimis, biarlah mereka berkata apapun tentang kita, kita harus tetap semangat dan berusaha untuk menjadi orang yang memberikan banyak arti dalam kehidupan ini... akan ada hal terindah yang diberikan Tuhan dibalik itu semua."

(Name) kecil langsung berdiri dan membelakangiku, sekarang aku yakin dia sedang tersenyum lebar pada ibu.

"Kalau begitu, (Name) akan memberikan banyak arti dalam kehidupan!!"

Tiba-tiba angin bertiup kencang, menerbangkan semua serbuk dandelion yang ada di taman dan membuatku refleks menutup mata. Begituaku membuka mata, aku langsung berada di ruangan yang sepertinya sangat familiar bagiku. Aku menoleh ke depan dan--

--melihat kamar mewah. Dan lagi, aku melihat sosok 12 tahunku berdiri di depan cermin seluruh tubuh sambil memegang sebuah perban putih berukuran sedang. Sosok 12 tahunku itu tidak memasang ekspresi apapun, kaku dan datar seperti tembok.

Dia lalu menghela napas, meletakkan perban di meja yang berada di dekatnya lalu membuka baju dan pakaian dalamnya, dan sekarang sedang bertelanjang dada. Anak 12 tahun itu mengambil perban tadi dan mulai membalut dadanya.

'Bukannya umur segini masih dalam masa pertumbuhan...?' pikirku menatap versi muda diriku itu.

Sesekali ekspresinya berubah menjadi ekspresi kesakitan karena ketatnya perban yang membalut tubuh mungilnya, tapi hanya untuk sekilas saja lalu wajahnya kembali datar. Sampai akhirnya diriku selesai membalut bagian atas dirinya.

"Mendokusai..." gerutunya, "Maafkan aku harus merubah penampilan kesukaanmu untuk sementara, Ibu." sambungnya lalu menoleh ke meja yang berada di sebelah kasur besar, dimana berdiri sebuah bingkai, "Ayah banyak berubah semenjak ibu meninggal."

Diriku itu menggeleng pelan.

"Aku tidak akan meninggalkan ayah, bu. Karena aku tau ayah berubah menjadi seperti ini karena ayah masih sedih dengan kepergian ibu." lalu diriku mendekati lemari pakaian dan mengambil wig pendek berwarna (h/c).

Sambil menunggu diriku memakai wig, aku mendekati foto itu dan terpajang sebuah foto seorang wanita yang berumur sekitar 30-an, tersenyum lembut. Lensa dengan warna (e/c) tampak berbinar-binar karena bahagia, dan rambut (h/c)nya yang panjang itu terurai dan sedikit berterbangan.

"Ibu..." aku membuka mulut lalu tersenyum, "Kau begitu cantik." aku menoleh ke sosok mudaku dan dia sudah berubah dari permpuan feminim menjadi laki-laki keren dengan wajah datar.

Dan latar kembali berganti, aku sedang bersandar di pintu--lagi-lagi dengan versi 12 tahunku.

'Ah, bagian pernikahaan--'

(Brak!)

"Mendokusai..."

Latar berganti, kali ini di latar yang sama seperti sebelumnya: taman dandelion. Diriku--yang sama seperti sebelumnya--sedang bersandar di pohon sambil memegang sebuah dandelion.

"Ibu," ucapku lalu meniup dandelion itu, "Apakah Nijimura-senpai adalah cinta sejatiku?" tanyaku lalu menutup mataku.

"Disini rupanya kau," ujar seseorang, "(Name)."

"Ah, Shintarou." ucapku masih menutup mataku.

"Ayo pergi ke rumahku, nanodayo."

"Ah, benar. Hari ini ya?" ucapku membuka mata lalu berdiri.

Ingatan berganti, menampilkan beberapa yang berhasil kuingat seperti Midorima yang makan mie instan selama 3 bulan dan aku yang penasaran dengan kata 'nanodayo' Midorima. Sampai berhenti pada hari pertama aku sekolah di Teiko.

"Aku akan berbeda 180 derajat." ucapku datar sambil memperbaiki wig yang kupakai.

"Ah, baiklah. Aku tidak akan terkejut saat kau berubah jika sampai di sekolah." sahut Midorima, "Dirimu yang pendiam dan serius itu berumah menjadi tak bisa diam dan ceria."

"Kalau begitu, ayo." gumamku berjalan keluar rumah.

Ingatan dipercepat, sampai dimana rambutku selesai dijepit oleh Midorima dan dibantu oleh Kuroko.

"Oh, benar. Aku dipanggil kepala sekolah." ucapku langsung berlari meninggalkan mereka.

Dalam perjalananku, terdengar berita 'Peraih nilai tes masuk tertinggi dipegang oleh 2 laki-laki' dan itu membuat ekspresi sedih muncul di wajahku.

'Aku...perempuan.' itulah yang diriku pikirkan saat itu sampai akhirnya dia sampai di tempat tujuannya lalu memasang sifat palsunya.

Disana sudah menunggu kepala sekolah, aku sempat dimarah sebelum akhirnya masuk ke dalam aula sekolah. Disana aku bertemu seseorang.

'Aka-kun?' pikirku tak percaya, dan lensaku membesar saat mendengar nama lengkapnya.

"Oh, salam kenal. Namaku Akashi Seijuuro."

Dan aku yakin Aka-kun--akan kupanggil Akashi mulai sekarang--memandang lama wajahku.

'Apa... dia tau kalau itu sifat palsuku?'

Latar kembali berjalan dengan cepat, dari aku mempekenalkan Kuroko dan Midorima pada Akashi, pertama kali bertemu dengan Nijimura, diriku menjadi terkenal yang selalu mendapat hadiah dari kouhai dan senpai--dimana salah satunya adalah istri Midorima--saat hari ulang tahunku--yang juga bertepatan dengan hari Valentine--dan akhirnya berhenti.

Sekitarku terdapat taman dan kulihat Nijimura sedang duduk di bangku taman.

"Niji-senpai," panggilku mendekati laki-laki berambut hitam itu, "Kapan kau datang?"

"Hm? Kau sudah datang rupanya." ucapnya berdiri lalu melihat penampilanku, "Bukannya kau tidak ada pakaian perempuan?"

Ya, aku yang berdiri di depan Nijimura adalah sosok asliku--seorang perempuan.

"Ayah menyuruh desinger terkenal memilihkan pakaianku di mall dan membawaku ke salon." jelasku menghela napas, "Aku merasa bersalah karena ini adalah kencan paksaan."

"Kita berdua dipaksa oleh ayah kita jadi kita hanya bisa menurut, kan?"

"Mhm."

Ingatan kembali berganti, dan aku hanya bisa syok saat melihat ingatan yang ini.

'Mereka... berbohong.' pikirku melihat diriku yang depresi di tengah lapangan, 'Aku kalah taruhan dengan Akashi... bukan dengan Shintarou.'

Ingatan itu hanya sekilas, berganti dimana aku mulai mengenal para pemain string-1, menemukan nama panggilan mereka serta bersenang-senang dengan mereka. Kami semua menjadi sangat dekat satu sama lain, sampai-sampai ada perubahan pemanggilan nama--untuk Aomine dan Kise. Juga ada ingatan sekilas dimana aku meminta Akashi untuk mencoba teh karena dia selalu meminum kopi. Aku melihat sebuah ingatan yang familiar bagiku...

Aku memutar tubuhku ke belakang.

"Dan kau harus kupanggil Aka-kun! Karena rambutmu merah dan namamu adalah Akashi Seijuuro!"

"Tidak, panggil aku Seijuuro seperti biasa. Ini perintah."

"Tapi aku maunya Aka-kun~"

"Tch, dasar kelas kepala. Terserah kau saja."

Ingatan berganti, kali ini suasana hujan dan aku melihat ada diriku, Kuroko dan Akashi di dalam gym. Tapi, kali ini aura Akashi berbeda dari biasanya. Tubuhku dan tubuh Kuroko basah, sepertinya kami habis dari luar dan hujan-hujanan.

"Kau... bukan Seijuuro yang kukenal..."

"Seijuuro yang kau kenal selama ini terlalu lemah, jadi aku mengambil alih."

"Jadi benar kau bukan Seijuuro."

"Berhenti memanggilku Seijuuro, (Name)."

(Deg!)

"Benar," ucap diriku langsung menatap dingin Akashi, "Mulai sekarang aku akan memanggilmu Akashi-kun... sama seperti saat kita bertemu tapi jangan harap sikapku akan sama, Akashi-kun."

'Apa-apaan jantungku barusan?' heran diriku lalu memegang tangan Kuroko.

"Sudahlah, Tetsuya. Ayo kita cari Daiki lagi." lalu kami berdua keluar dari gym.

'Aku menunjukkan sosok asliku pada Akashi... aku tidak menyesal, tapi kenapa hatiku terasa sakit?'

Latar dan ingatan berpindah lagi, sepertinya ini adalah keesokan hari setelah kejadian di gym tadi. Sekarang diriku disana sedang berdiri di depan Akashi, dengan yang lain menatapku dengan heran.

"Aku ingin keluar dari klub basket Teiko."

Lensa warna-warni pemain reguler Teiko itu membesar, kecuali yang berwarna merah. Akashi hanya diam, sampai...

"Kenapa kau ingin keluar, (Name)-kun?" tanya Momoi kaget.

"Maaf, Momo-chan. Alasannya cukup ketua klub yang tau."

"Jika ini mengenai perubahan Akashi maka--" ucapan Momoi berhenti saat aku mengangkat tangan kananku, memintanya untuk berhenti.

"Ini bukan hanya mengenai itu, Momo-chan." ungkapku, "Cepat atau lambat, dengan ketua tim seperti Akashi yang sekarang pasti akan merubah semua sifat kalian yang bearti akan merubah kerja sama tim selama ini."

"Bagaimana kau bisa yakin sifat kami akan berubah?" tanya Aomine.

"Aku adalah anggota cadangan di string-1, Daiki." sahutku, "Aku dengar bahwa para Kiseki no Sedai dibebaskan dari latihan."

"Lalu--"

"Bahkan anak SD pun akan berpikir bahwa kemampuannya pasti sangat hebat sampai dibebaskan dari latihan, yang akhirnya membuat dirinya menjadi sombong." jelasku, "Jika kalian berpikir seperti itu maka percuma saja aku menjadi pemain cadangan di string-1. Lebih baik aku keluar dari klub basket, kan?"

"Tapi kita tidak tau apa yang akan terjadi di saat-saat akan bertanding, (Name)-kun!" ujar Momoi, "Bagaimana kalau kita melawan tim yang pernah pemain string-2 hadapi?" tanyanya membuat Kise dan Kuroko merinding ngeri membayangkannya.

Aku hanya mendengus kesal, "Ayolah, manajer. Murasaki-kun sangat tinggi sampai-sampai dia bisa mengintimidasi musuh hanya dengan menatapnya, Daiki menjadi Ace dari Kiseki no Sedai bukan tanpa alasan kan? Daiki selalu berlatih yang otomatis membuat fisiknya cukup kuat untuk menghajar mereka semua, Ryouta dapat mencopy gerakan dan membuat powernya lebih besar, kalau begitu dia hanya perlu mencopy gerakan karate professional, dan Tetsuya menjadi pemain reguler disini bukan hanya kemampuan pass-nya, tapi juga hawa keberadaannya yang membuat musuh tidak menyadarinya, kan?" jelasku panjang lebar

Mereka semua berkedip kaget, membuatku menghela napas.

"Aku menonton pertandingan mereka, dan aku yakin Tetsuya tidak akan terluka karena permainan kotor mereka karena musuh sudah menganggap dia lemah dan bahkan tidak menyadari keberadaannya." jelasku, "Dan jangan bahas Akashi sekarang, karena jika musuh ingin mati muda maka buatlah kekerasan pada Akashi."

"Tapi--"

"Cukup, manajer. Aku hanya ingin keluar dari--"

"Aku menolak."

Mataku yang sedang menatap Momoi kini berpindah ke Akashi, lalu aku mengangkat sebelah alis dengan heran.

"Alasanmu, kaichou?" tanyaku dengan penekanan pada akhir kalimat.

"Kemampuanmu diperlukan untuk--"

"Untuk kemenangan semata?" tanyaku memotong ucapan Akashi, membuatnya mengerutkan alis dengan kesal.

"Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku. Kau tau akibatnya jika--"

"Tidak menurutimu? Akibatnya? Kau pasti akan melukaiku." ucapku kembali memotong ucapan Akashi, "Kalau begitu lakukan." tantangku kemudian.

Mereka semua menatap diriku dengan kaget, kagum dan takut.

"Jika kau melukaiku, maka aku tidak bisa bermain basket, kan? Dan sesuai dengan prinsip 'selalu menang dan selalu benar' milikmu, maka aku adalah pemain yang tidak berguna dan lebih baik keluar, kan? Kalau begitu lukai aku agar aku punya alasan yang lebih kuat dari sebelumnya." ujarku.

Hening, tidak ada yang bicara.

"Ada apa, kaichou?" tanyaku menantang, "Apa kau tidak--"

"Aku menolak. Perintahku mutlak."

'Kenapa harus ada peraturan dimana jika ingin keluar dari klub, maka harus mendapat izin dari ketua klub. Menyebalkan...' pikirku memutar bola mataku.

"Kau mengeluarkan Haizaki yang jelas lebih baik dariku, Akashi."

"Kalian berbeda kemampuan."

"Haizaki dapat mencopy kemampuanku. Aku bukan Kiseki no Sedai."

"Dia tidak akur dengan Ryouta."

"Begitu juga dengan kita, Akashi."

Suasana kembali hening. Sampai akhirnya aku mengacak rambut(palsu)ku karena frustrasi.

"Merepotkan," gerutuku lalu melihat Akashi, "Pindahkan aku ke string-3, itu penawaran akhir."

"String-3?" kaget Momoi, "Bukannya tidak ada siapapun disana?"

"Ya, jika aku masuk string-2, aku tetap bermain dan maaf aku tidak ingin bertanding basket dalam waktu dekat. Jika kau masih menolak, maka aku akan minta ayahku untuk turun tangan mengenai ini."

Aku dapat membayangkan wajah Midorima memucat, mengingat perusahaan (Surname) itu sama berkuasanya dengan perusahaan Akashi.

"Baiklah." gumam Akashi menghela napas panjang, "Tapi jika ada keadaan darurat di string-1, kau harus bermain. Ini perintah."

"Baik." balasku singkat karena aku ingin cepat-cepat keluar dari gym string-1.

'Jadi aku bertengkar dengan pemain reguler--ah, maksudku ketua tim--yang ternyata adalah Akashi?'

Ingatan dipercepat, dari para pemain reguler--sebenarnya hanya Momoi, Kuroko dan Midorima--yang datang ke gym string-3 untuk berlatih bersamaku karena gym string-1 terlalu ramai, sampai ingatan itu berhenti dan sekarang aku berada di bandara Tokyo.

"Hati-hati saat berada di AS, pelangi-san." ejekku pada Nijimura.

"Iya, pendek." balasnya mengacak rambutku sambil tersenyum mantap.

"Jangan panggil aku pendek, kalian saja yang tinggi bagai bambu. Dimakan panda baru tau rasa." gerutuku mencoba menendang Nijimura tapi gagal.

Nijimura hanya tertawa.

"Ah, benar. Aku kirim salam pada kedua adikmu disana, ya?"

"Mhm, baiklah." ucapnya mengangguk lalu melihat penampilanku dari bawah ke atas, "Apa penampilan feminim yang kau pakai hari ini--"

"Pakasaan ayah," jawabku datar, "Aku tidak suka ditatap seperti ini." gumamku.

Yap, daritadi semua orang yang lewat pasti menatapku, entah dengan tatapan apa itu.

"Itu karena kau cantik, sayang." godanya.

"Jangan bercanda!" kesalku kali ini berhasil menendangnya dan wajahku langsung memerah, "Cepat naik pesawat sana! Shuu!"

"Oh, apa sekarang hubungan kita sudah melangkah pada pemaggilan nama depan? Kalau begitu aku pergi dulu, (Name)."

"NijimurAHO! Pergi!!" kesalku dan dia hanya berjalan sambil menertawaiku.

Lama setelah Nijimura pergi, ayah datang dan aku menoleh padanya.

"Setiap liburan musim panasmu, kita akan mengunjungi keluarga Nijimura-san. Jadi, tidak ada rencana liburan musim panas bersama teman-temanmu."

"Baik ayah."

"Dan ayah sudah memutuskan."

"Memutuskan apa? Memutuskan hidup seseorang?" tanyaku datar.

Ayah hanya menatapku dengan tatapan mengancam lalu berkata, "Kalian berdua akan menikah 6 tahun setelah kau lulus SMA."

"6 tahun?"

"Ya, setelah lulus kau langsung masuk Universitas Tokyo mengambil jurusan bisnis, setelah 4 tahun kau akan memimpin perusahaan selama 1 tahun kemudian ayah akan menyuruh Shuuzo-kun untuk mencoba memimpin perusanaan selama 1 tahun. Setelah itu kalian akan menikah." jelas ayah.

"Hanya ayah? Bagaimana dengan pendapat Nijimura-san?"

"Ayah akan segera menghubunginya. Sekarang ayo kembali ke rumah, berpakaian seperti biasa lagi dan kau boleh pulang ke rumah Shintarou."

"Baik, ayah."

Ayah hanya mengangguk lalu berjalan menuju mobil, aku yang berjalan di belakangnya hanya bisa menatap sedih punggung ayah.

'Aku...' sebuah kurva ke bawah terbentuk di mulutku, 'Tidak bisa... menolak ya?'

Semua kembali dipercepat. Aku tetap dapat mengingat semuanya kembali walaupun semuanya dipercepat. Seperti saat liburan semester, aku selalu ke AS untuk mengunjungi keluarga Nijimura.

Dan disela mengunjungi mereka, aku selalu bermain basket--tentu saja sebagai laki-laki karena ayah ingin aku menjadi sosok asliku hanya di depan keluarga Nijimura--di lapangan basket dekat rumah sakit tempat ayah Nijimura dirawat. Disana aku bertemu dengan 2 anak laki-laki yang seumuran denganku dan 1 perempuan dewasa. Nama 2 anak laki-laki itu adalah Kagami Taiga--yang berambut merah--dan Himuro Tatsuya--yang berambut hitam. Sedangkan perempuan yang bersama mereka adalah Alexandra Gracia dan uh... dia hanya ingin dipanggil Alex. Kami selalu bermain bersama saat waktu senggangku di AS.

Sampai akhirnya sampai di ingatan dimana aku lulus di Teiko sebagai laki-laki. Saat itu aku hendak pulang sambil membawa hadiah dari para kouhai--yang beberapa juga sedikit basah akibat air mata mereka--yang datang untuk melepasku. Lalu diriku melihat Akashi berdiri di tengah gerbang sekolah--dan dia juga membawa banyak hadia sama sepertiku.

'Oh, ayolah. Aku hanya ingin lulus dengan tenang.' pikirku.

"(Name), kau kuperintahkan untuk masuk SMA Rakuzan bersamaku."

"Kau memerintahku? Aku menolak."

"Kau berani menentangku?"

"Ya, aku berani. Kenapa memangnya?"

"Kau tau pasti akibat dari menantangku kan, (Name)?"

"Aku tau dan aku tidak takut. Memangnya kau siapa, berani memerintahku?"

"Aku adalah Akashi Seijuuro."

'Aku tau itu dari AWAL.' pikirku mengerutkan alis lalu menghela napas panjang.

"Huft, baiklah."

Akashi tampak sedikit terkejut. Dan dengan cepat aku menggeleng.

"Jangan percaya diri dulu, aku tidak akan menjadi pion suruhanmu di Rakuzan atau dimanapun, Akashi." ungkapku, "Aku akan masuk Rakuzan karena aku yakin kau tidak akan membiarkan aku lewat sampai aku mengatakan 'iya' pada perintahmu."

Dengan begitu aku melewati Akashi sambil membawa hadiahku. Dalam perjalanan pulang, diriku hanya menghela napas kembali.

'Awalnya ayah menyuruhku masuk Shutoku bersama Shintarou. Kurasa aku akan beralasan bahwa lulusan Rakuzan lebih menjamin untuk masuk Universitas Tokyo.'

Latar berganti, dimulai dari ayah yang menerima permintaanku untuk masuk Rakuzan, diriku bertemu dengan Mayuzumi, diriku yang diperintahkan untuk menjadi Wakil Ketua OSIS atas perintah dari Ketua OSIS--yang (lagi-lag) adalah Akashi--lalu bertemu dengan para senpai tim Rakuzan.

'Mereka semua berbohong padaku...' pikirku menatap kosong pemandangan dimana Akashi memperkenalkan tim Rakuzan padaku--yang kata Mayuzumi adalah dirinya yang memperkenalkan mereka padaku.

Latar kali ini adalah stadium setelah pertandingan Winter Cup. Diriku sedang berlari menuju tim Seirin yang baru saja keluar dari stadium.

"Tetsuyaaaaaa!" ucap diriku berlari ke depan mereka.

"(Name)?" heran Tetsuya melihat diriku berdiri dengan tidak tenang di depan tim Seirin, ditambah dengan wajah yang berbinar-binar.

"Selamat ya!" ucap diriku penuh antusias, "Untukmu Kuroko, dan kau Taiga."

"Thanks, (Name)." ucap Kagami lalu kami melakukan bro-fist, lalu aku melakukan hal yang sama pada Kuroko.

"Oh, untuk para senpai juga. Kalian semua keren!" pujiku tersenyum lebar pada mereka semua.

"Terima kasih um..." ucap laki-laki yang berperan sebagai center, Kiyosi Teppei.

"(Name) (Surname)." jelasku singkat.

"Ah, begitu ya." sahut sang kapten, Hyuuga Junpei.

"Kau memakai jersey Rakuzan. Apa kau...?" heran Kiyoshi.

"Oh, pemain cadangan. Walaupun tidak ikut klub basket." ungkapku tertawa canggung.

"Eh? Kupikir Rakuzan punya pemain cadangan dari klub basket sendiri?" heran Hyuuga.

"Dia sepupunya Midorima-kun, Hyuuga-senpai." ucap Kuroko.

"EH!?" kaget semua, kecuali Kuroko.

"Dan bisa dibilang aku punya kemampuan yang sama dengannya, walaupun aku hanya bisa setengah dari lapangan basket..." ungkapku.

"TAPI itu sangat KRAN!" ucap pemilik eagle eye's, Izuki Shun.

...

...

...

Krik-krik...

...

...

...

"...hah?" ucapku baru loading.

"Lupakan ucapan Izuki, (Surname). Dia memang begitu." ucap Hyuuga datar.

"Ah, baiklah kalau begitu. Aku harus ke tim sekolahku lagi." lalu aku berlari memasuki stadium, setelah melambai pada mereka pastinya.

Saat aku sampai di dekat ruang Rakuzan, aku melihat tim sekolahku itu baru keluar dengan wajah yang terlihat masih kecewa.

"Senpai!" sapaku mendekati mereka, "Kemana Akashi?"

"Dia masih ada di dalam." ucap Mayuzumi.

"Begitu?" sahutku lalu tersenyum pada mereka, "Semuanya, selamat atas kekalahan kalian."

Mereka semua menatapku dengan tatapan heran.

"Apa kau mengejek kami?" heran Nebuya.

"Tidak," jawabku menggeleng, "Kalian harusnya bersyukur atas kekalahan kalian, agar kalian semua tidak menjadi sombong karena kalian tidak terkalahkan. Renungkan kekalahan kalian dan buat kekalahan kalian menjadi sumber kekuatan kalian yang lain."

Mereka hanya menatapku.

"Aku tidak tau apa kalian melihat pertandingan yang lain, tapi aku melihat semuanya tanpa terlewat. Aku sudah melihat contohnya, Ryouta menjadi lebih kuat dari sebelumnya karena kekalahan yang ia dapat dari tim Seirin saat latihan--aku dan sepupuku datang mengunjungi--dan kekalahan dari tim yang sama saat Winter Cup serta dari tim Touou."

"Itu artinya--"

"Bukan bearti tim Kaijo lemah, senpai." ucapku pada Hayama, "Tim Seirin dan Touou juga berlatih keras." sambungku, "Jika kalian dapat mengerti maksudku, maka tahun depan kalian akan meraih kembali piala Winter Cup!"

Mereka hanya saling pandang lalu tersenyum.

"Kau benar, (Name)." ucap Mibuchi.

"Kami terhibur saat mendengarnya." sahut Hayama.

"Kalau begitu, bisakah kau menghibur Akashi? Dia terlihat sangat terpukul walaupun sudah memberi selamat pada tim Seirin." ungkap Mayuzumi.

Lalu mereka semua berjalan keluar stadium.

"Eh? Baiklah kalau begitu." ucapku memasuki ruang Rakuzan dan yang pertama kulihat adalah--

--Gelap!

--Sunyi!

--Menyeramkan!

--Dan apa itu merah-merah di pojokan!!

--Ah, itu Akashi rupanya.

"Akashi?" panggilku menghidupkan lampu, dan melihat Akashi sedang duduk di lantai dengan kepala yang menunduk.

Panggilanku tidak direspon olehnya jadi aku mendekatinya.

"Akashi?" tanyaku menyamakan tinggi dengan berjongkok.

Dia masih tidak merespon, membuatku menghela napas lalu mengusap rambutnya.

(Deg!)

'U-uwaah... lembut sekali' pikiru sedikit kaget.

Akashi mengangkat kepalanya, baru kali ini aku melihatnya memasang ekspresi terkejut dan heran yang begitu jelas.

(Deg!)

"Selamat atas kekalahannya." ucapku tersenyum kecil.

Tatapan terkejut dan heran langsung berubah menjadi tatapan tajam.

"Jangan marah dulu," ucapku tertawa melihat tatapan Akashi, "Berkat kekalahan Rakuzan, kau bisa kembali normal dan mengerti betapa pentingnya kerja sama tim, kan?" tanyaku.

Akashi hanya diam menatapku, menandakan aku untuk melanjutkan ucapanku.

"Kekalahan kalian itu bukan awal kehancuran kalian, melainkan awal dari kekuatan baru. Percuma saja jika kau diam menyesali semua yang sudah terjadi. Lebih baik bersiap untuk kemenangan Rakuzan tahun depan di Winter Cup, bukan begitu?" tanyaku.

Akashi hanya menatapku lama sampai akhirnya dia mengangguk dan berdiri--membuatku ikut berdiri--dan tiba-tiba menepuk kepalaku dengan lembut.

(Deg!)

"Kau benar. Bagaimana kalau kita rayakan 'kekalahan' tim Rakuzan?"

"Whoa! Kalau begitu ayo ajak yang lain! Ayo coba tempat karoke yang baru buka di mall minggu lalu! Katanya tempatnya sangat keren!" pintaku dengan berbinar-binar.

"Baiklah, kau telpon tim Rakuzan sedangkan aku akan menelpon butler-ku untuk menyewa 1 ruangan VIP untuk kita semua."

'Dasar orang kaya...' pikir diriku melakukan group call untuk mereka semua.

"Kau juga orang kaya, (Name)." sahut Akashi tidak menoleh padaku.

"Berhenti membaca pikiran orang." balasku juga tidak menoleh padanya.

Akashi kembali normal, dan perlahan kami menjadi dekat kembali. Aku juga kembali memanggilnya Aka-kun dan ada ingatan sekilas yang menunjukkan diriku dan Akashi sedang makan bekal bersama di atap, dan aku mulai mengeluarkan pendapatku mengenai Utaite dan Vocaloi, sampai Akashi mengacak rambutku dan sedikit tersenyum.

"Tidak salah. Itulah alasan kenapa aku memilihmu untuk jadi Wakil Ketua OSIS, (Name). Aku suka sikapmu itu."

"Hahaha. Kuharap kau tidak gay, Aka-kun."

"Hush, aku normal dan berhenti tertawa dengan nada sarkas, (Name)."

"Hehe, maaf. Kebiasaan."

Ingatan berhenti, terlihat taman sepi tetapi ada yang menarik perhatianku.

--ada pelangi sedang duduk di bangku taman!!

--oh, itu teman-teman.

'Ah, apa ini ingatan dimana mereka berhasil mengalahkan Jabberwock?' pikirku lalu melihat sosok familiar mendekati mereka semua.

--oh, god. Itu diriku yang asli--seorang perempuan.

Aku melihat eksprsi syok teman-teman saat melihat diriku yang asli--awalnya yang mereka kira diriku adalah gay, entah apa alasannya.

"Jadi..." ucap Momoi membuka suara, "...(Name)-kun yang selama ini kukenal adala..."

"Perempuan." tutup diriku sambil tersenyum lebar.

Aku melihat pipi Akashi sedikit merona tapi dengan cepat dia mengalihkan pandangannya dan rona merahnya sudah hilang.

'Apa perasaanku saja?'

Semua kembali dipercepat. Kali ini lagi-lagi aku berada di taman dandelion. Tapi kali ini aku--yang memakai dress pendek berwarna putih--sedang bersama Akashi, berbaring di bawah rindangnya pohon dan bersebelahan.

"Nee, Aka-kun..." panggil diriku yang sedang memegang dandelion.

"Hm?"

"Apa kau percaya bahwa siapapun yang bisa meniup habis serbuk dandelion dalam sekali tiup, maka dia akan mendapat cinta sejati?"

Akashi duduk lalu menatapku, walaupun aku tidak menatapnya--karena sedang fokus pada dandelion putih yang berada di tanganku.

"Kau percaya?" tanyanya balik.

"Aku percaya." jawabku singkat lalu meniup semua serbuk dandelion, "Ibuku yang memberitahukannya padaku. Kau tau ibuku, kan?"

"Ya." jawabnya singkat, "Kau sudah menceritakan semuanya padaku setelah tim Vorpal Sword pulang."

'Semuanya... dari ibuku, pertunanganku dengan Shuuzo, rencana pernikahanku dan masih banyak lagi. Semuanya kuceritakan padanya...'

"Ya, tapi bukan karena itu saja." ungkapku, "Aku percaya karena aku sudah menemukan cinta sejatiku saat Winter Cup tahun lalu." sambungku tersenyum ke arahnya.

Pipinya sedikit merah, apa dia demam? Tapi, seorang Akashi Seijuuro demam?

"Oh, topiknya menarik. Siapa pemuda yang beruntung ini...? Atau jangan-jangan dia seorang pemudi karena kau sudah terbiasa menjadi laki-laki?"

"Hush, yang jelas dia adalah laki-laki. Tapi aku tidak yakin dia menyukaiku sebagai perempuan atau tidak." jelasku memandang cahaya yang lewat dari dedaunan pohon.

Akashi hanya diam mendengarkan, tapi dia terlihat kesal?

"Kau mau tau? Aka-kun?" tanyaku menoleh padanya.

"Bukannya aku tadi bertanya siapa dia?" sambar Akashi.

Aku lalu mengambil setangkai dandelion, mendekatkan wajahku dan dandelion itu pada wajah Akashi, dan dengan tiba-tiba meniupkan semua serbuknya di wajah Akashi. Refleks saja membuat Akashi memejamkan matanya dan aku mengambil kesempatan untuk berlari dari amukan titisan sang raja setan itu. Merasa sudah cukup jauh, aku mulai berteriak sambil tersenyum lebar.

"NAMANYA ADALAH BAKASHIT SEIJUURAHO! YANG BIASA KUPANGGIL AKAHO-KUN!!"

Perlu 3 detik bagi Akashi untuk mencerna ucapanku sampai akhirnya dia mengerti dan aura hitam mengelilinginya.

"Oh, (Name) (Surname). Itu bukanlah cara terbaik untuk mengungkapkan perasaanmu, menambahkan kata BAKA, SHIT dan AHO ke dalam nama orang yang kau suka, terutama namaku." ucap Akashi berdiri.

Dan terjadi aksi kejar-kejaran antara seorang crossdreser dan seorang titisan raja setan.

'Semenjak itu, kami berpacaran...' pikirku melihat 2 sosok itu bahagia bersama.

Tapi yang diriku ucapkan selanjutnya membuatku sedikit syok dan kagum.

"Kalau begitu, Aka-kun. Kuberikan hatiku sepenuhnya padamu," ucapku tersenyum lebar, "Tolong jaga baik-baik ya?"

"Tentu akan kujaga dengan baik, (Name)."

Latar sedikit dipercepat, sekarang 2 sosok itu sudah duduk di pohon yang sama, tapi kali ini saling bergandengan tangan satu sama lain.

"Aku kagum denganmu, (Name)."

"Ih, apaan nih? Si tuan absolut mengagumiku? Sebentar lagi mau kiamat ya?"

"Kupikir hanya aku yang bisa mengetahui keberadaan Kuroko dan Mayuzumi."

"Hei, orang hebat seperti mereka mana mungkin bisa lepas dari pandanganku!" lalu kepala diriku ditepuk oleh Akashi.

"Benar, mereka hebat begitu juga denganmu. Itulah kenapa aku menyukai--tidak, itulah kenapa aku mencintaimu, (Name)."

Ingatan--untuk yang ke sekian kalinya--dipercepat. Kali ini ingatan aku lulus dari Rakuzan dan keadaanku sama seperti saat di Teiko, membawa banyak hadiah dari kouhai--dengan keadaan yang sedikit basah pula--dan aku sedang berjalan keluar sekolah.

"Mau kemana kau?" tanya Akashi tau-tau sudah berada di dekat gerbang.

"Oh, Aka-kun."

"Berhenti memanggilku dengan nama itu, panggil aku dengan nama depanku."

"Tapi aku maunya Aka-kun." rengek diriku, "Ah, bagaimana dengan Aka-chin?"

"Siapa kau? Atsushi? Ingatlah kalau kau itu pendek."

1 perempatan muncul di kepalaku.

'Beruntunglah kau lebih tinggi dariku, Aka-kun.' pikir diriku menatap kesal Akashi tapi wajahnya berubah menjadi ceria kembali.

"Ah, bagaimana kalau Akashicchi?"

"Aku tidak mau ada 2 Ryouta di dekatku."

"Kalau Sei-chan bagaimana?"

"Cukup 1 Reo, aku tidak ingin ada 2 Reo."

"OH!" ucap diriku tiba-tiba, "Kalau ku panggil Sei-tan gimana??"

Perempatan memenuhi kepala Akashi, dan aku hanya tersenyum lebar seperti biasa.

"Kau beruntung kau sama seperti Tetsuya, (Name). Aku tidak bisa melukai kalian berdua."

"Eh? Kenapa hanya aku dan Tetsuya--JANGAN-JANGAN KAU SELINGKUH DENGAN TETSUYA!?" ucapku tiba-tiba dengan ekspresi horor.

Beruntung tidak ada siapapun di sekitar kami karena mereka semua mengikuti upacara penutupan, dan aku berencana kabur tapi ketahuan oleh Akashi.

"Eh? Apa...?"

"AkaKuro is REAL!"

"Tu-tunggu, apa!? Tidak mungkin aku--"

'Oh, my. Ekspresi tak ternilai dari Aka-kun memanglah keren!'

"(Name), kau tau aku bisa menebak isi pikiranmu, kan?"

"Tentu saja aku tau," jawabku, "Oleh karena itu aku berpikir seperti itu agar kau tau kalau aku hanya bercanda."

"Jangan begitu lagi, ini perintah." ucapnya seperti biasa, "Dan kau tidak memberitahuku kemana kau akan pergi."

"Aku ingin beli iPhone baru."

"Masih tidak puas dengan 2 iPhone, (Name)?"

"Kali ini iPhone khusus untuk orang terdekatku, kecuali ayah dan Shintarou yang sudah punya iPhone tersendiri."

"Oh, siapa itu?"

"Tentu saja kau dan Shuuzo."

"Nijimura?"

"Yup, dia sahabat terdekatku jika sepupu--yaitu Shintarou--tidak termasuk sahabat."

"Ah, baiklah kalau begitu."

"Oke, bye-bye Sei-tan~" lalu aku berlari cepat karena merasakan aura hitam di sekitarnya.

Angin bertiup kencang, membuat bunga sakura yang telah gugur itu berterbangan dan refleks aku menutup mata.

***

"...haah!" ucapku terduduk, tersadar dari tidurku.

(Drip... Drip... Drip...)

'Hujan, eh?' pikirku melihat jam dindingku.

--yang sedang menunjukkan pukul 04.34 pagi.

Tubuhku gemetaran, keringat dingin memenuhi tubuhku. Dengan tangan yang gemetaran, aku memegang sisi kanan kepalaku, menatap selimut yang kupakai dengan tatapan tak percaya.

"Aku... hampir mengingat semuanya."

***

Wueee~ Update juga akhirnya (╯°□°)╯︵ 🎆

Dan apaan author ini, udah lama ga update, sekali update nge-publish chapter yang ga jelas pula ლ(ಠ益ಠლ)

Tapi ini chapter terpanjang yang pernah author buat, 4.5K kata!!

Author usahain update secepatnya (ง'̀-'́)ง

Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima~

-Rain

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro