Part 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku mencintaimu."
*** (Name)'s pov ***

24 Desember
20.00 p.m

"Kau benar-benar ingin keluar sendirian ya?" tanya Nijimura saat melihatku memakai heels.

Lagi-lagi Papa membelikanku gaun yang katanya edisi 'hari natal' dan seperti biasa aku tak bisa menolak pemberiannya tersebut. Beberapa saat yang lalu sang tata rias sudah pulang dan Nijimura pulang dari belanja di toko beberapa menit kemudian.

"Huh?" aku menoleh ke arahnya, "Apa kau mau ikut denganku?" tanyaku kemudian.

"Lho? Memangnya kau mau kemana?" tanya Nijimura meminum kopinya.

"Hm... hanya jalan-jalan saja?" jawabku sedikit heran, "Kenapa kau seperti beranggapan kalau aku akan pergi diam-diam?"

"Kau tidak pernah mengajakku." gumamnya meletakkan gelasnya di atas meja terdekat.

"Barusan aku mengajakmu?" sahutku.

"Ah, aku akan menjaga apartemen saja." ucap Nijimura mengambil gelasnya, "Hati-hati, dan jangan lama-lama diluar seperti saat itu." sahutnya berjalan menuju ruang tamu.

Aku hanya tersenyum sedih mengingat kejadian sebelumnya, "Okee."

***
24 Desember
23.00 p.m

Aku melihat pemandangan yang cukup familiar di depanku.

Taman dimana iPhone-ku terjatuh.

Dan taman dimana aku melihat sisi lain Akashi.

'Taman ini sangat sepi untuk hari libur seperti natal ini...' pikirku berjalan mendekati air mancur.

Apa taman ini selalu sepi?

Aku sedikit tertawa, "Tentu saja," gumamku melihat embun yang keluar dari mulutku saat berbicara, "Habisnya, ini adalah taman pemberian Seijuuro untukku saat natal sebelum aniv kelima kami..."

"Bagaimana?" tanya Akashi memasang wajah bangganya.

Aku hanya terdiam, lalu menatap ke arah Akashi.

"Apa harus taman?" tanyaku mengangkat alisku pada Akashi.

"Ya." jawabnya singkat, "Karena memberi barang mewah seperti gaun atau mobil untukmu itu terlalu biasa, mengingat kau sendiri itu kaya."

"Hahaha..." ucapku datar, "Aku tidak tau harus komentar apa..." sambungku.

"Tahun ini kau mendapat sebuah taman, tahun depan..."

"Tahun depan apa?" tanyaku, "Taman bermain? Sekolah? Rumah hantu?"

Akashi hanya tertawa lalu mengelus kepalaku.

"Kau akan tau nanti." ucapnya mengenggam tanganku.

'Aku penasaran apa yang akan Sei beri tahun ini...' aku lalu tersenyum sedih.

"Ya, kalau dia memberiku tahun ini..."

"Memberi apa?"

Aku terlonjak kaget lalu menoleh ke sumber suara.

Ada Akashi disana.

"Sei...juuro?" panggilku masih terkejut, melihat Akashi sedang berdiri disana dan sedang membawa sebuah bungkusan berwarna putih perpaduan pink.

"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Akashi mendekatiku.

Aku terdiam.

"Jangan bilang kau mematikan iPhone-mu..."

Aku hanya tertawa kecil.

"Tentu saja kumatikan." jawabku, "Jika tidak maka Shuuzo akan menelponku dan mengirimku pesan tanpa henti." sambungku.

Akashi hanya tertawa, "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Aku berkedip lalu tersenyum, "Ingatanku membawaku kemari." jawabku melihat Akashi.

Iris mata Akashi membesar lalu kembali normal, dia hanya tersenyum kecil.

"Hee~ Begitu ya?"

"Kau sendiri?" tanyaku.

Akashi hanya memejamkan matanya, "Aku hanya ingin jalan-jalan."

"Tidak ada acara untuk perusahaanmu?"

"Tidak, ayahku yang menghadirinya. Kau sendiri?"

"Sama, ayahku yang menghadirinya."

"..."

"..."

'Jadi...  canggung.' pikirku mengusap kedua tanganku.

"Apa... kau masih lama disini?" aku menoleh ke arah Akashi yang bertanya.

"...y-ya, begitulah." jawabku.

Lalu Akashi meletakkan bungkusan yang dia pegang di sebelahku.

"Tolong dijaga ya." ucap Akashi sebelum akhirnya berjalan pergi.

'Dijaga?'

"Kalau begitu, Aka-kun. Kuberikan sepenuhnya hatiku padamu." ucapku tersenyum lebar, "Tolong jaga baik-baik, ya?"

"Tentu akan kujaga dengan baik, (Name)."

(Deg!)

Aku memegang pipiku dan aku merasakan... basah?

'Apa aku menangis?' pikirku lalu mengambil sapu tangan untuk mengeringkan air mataku.

Setelah selesai, aku kembali menyimpannya.

"(Name)?" aku mengangkat kepalaku dan melihat Akashi sedang memegang 2 kaleng minuman hangat.

"H-huh?"

"Ada apa?" tanyanya duduk di sebelahku, dengan bungkusan itu berada di tengah.

"Bukan apa-apa," jawabku menggeleng, "Kau pergi kemana?"

"Ini," ucap Akashi memberikan sekaleng teh hangat padaku.

"A-aah, terima kasih, Sei." gumamku membukanya lalu meminumnya dengan perlahan.

"Sama-sama."

"..."

"..."

'Jadi canggung lagi...' pikirku setelah meminum teh pemberian Akashi.

"Kau memakai syal itu," aku menoleh ke arah Akashi.

Aku tersadar.

Aku memakai syal merah yang Akashi berikan saat aku hampir tertabrak mobil dulu.

"Kau cocok dengan warna merah." komentarnya.

Aku hanya mengangguk, tak tau harus merespon apa.

Aku melirik ke arah Akashi, dan melihat dia sedang meminum kopi hangat.

"Seingatku dulu kau suka teh..." komentarku.

Akashi hanya tersenyum, "Itu 'kan dulu..."

"Ah, begitu ya..." gumamku mengangguk.

Aku kembali melirik Akashi, dan sepertinya dia kedinginan?

Lalu aku melepaskan syal merah yang kupakai lalu kupakaikan kepada Akashi.

Akashi hanya menatapku dengan heran, "Jika kau ingin mengembalikan syal ini, tidak perlu. Aku memberinya padamu—"

"Kau kedinginan." gumamku.

"Jangan pedulikan aku. Kau akan kedinginan nanti." sahut Akashi.

"Aku memakai jaket." balasku.

"Aku juga memakai jaket."

"Jaketku lebih tebal." ucapku entah kenapa jadi bangga.

Suasana menjadi sunyi, sampai akhirnya terdengar suara tawa Akashi.

"Kau benar-benar keras kepala, ya?"

Saat aku hendak membalas, aku merasakan sesuatu yang hangat di leherku dan aku melihat Akashi menyandarkan kepalanya di sisi kepalaku.

(Deg!)

"Begini kan adil..." gumam Akashi.

Akashi membagi syal merahnya denganku. Bungkusan yang Akashi bawa dia letakkan di atas pangkuannya. Tidak ada jarak antara aku dan Akashi.

(Deg!)

'Ada apa dengannya!? Kenapa sikapnya berbeda sekali dibanding dulu!?' pikirku.

'Apa... gara-gara aku memilih Shuuzo dibanding dia?'

Aku hanya memejamkan mataku lalu bersandar pada Akashi.

"Kau cocok dengan warna merah."

"Kalau begitu aku cocok denganmu, Aka-kun." gumamku.

...eh.

Aku langsung membuka mataku dan berdiri, membuat syal yang kami pakai terlepas. Aku juga tak sengaja menyenggol bungkusan yang ada di pangkuan Akashi.

"Ma-maafkan aku, Sei—" ucapanku terpotong saat melihat isi bungkusan Akashi yang keluar karena tersenggol.

Kotak.

Tapi... itu bukan kotak biasa.

Itu kotak cincin.

"Eh...?" saat aku berjongkok karena ingin mengambil kotak tersebut, Akashi sudah mengambil kotak tersebut duluan.

Iris mataku membesar seiring aku berdiri.

'Jadi, Akashi sudah punya pacar...'

Pandanganku menjadi buram.

Ah... aku menangis lagi.

"(Name)," aku berkedip untuk menghilangkan air mataku.

Napasku tercekat.

Akashi sedang berlutut di hadapanku.

"Seijuuro...? Apa yang—"

"Aku mencintaimu, (Name)."

(Deg!)

(Teng! Teng! Teng!)

Bel jam di taman berbunyi, menandakan jam 00.00, 25 Desember.

Kakiku menjadi lemas, dan aku langsung terduduk.

"Apa...?"

Akashi tertawa, "Aku tidak terbata-bata, kan?"

Aku berkedip beberapa kali, tidak percaya dengan apa yang Akashi ucapkan.

"Ini." ucap Akashi memberikan kotak tersebut padaku dimana di dalamnya terdapat sebuah cincin sederhana dengan 3 berlian kecil.

"Eh?"

"Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa menikahimu."

(Deg!)

"Ke...napa?"

Akashi tersenyum sedih, "Ini tanggal 25, apa kau lupa?"

"Papa masih ingat alasannya, kalian berdua jadi sulit untuk beraktivitas seperti biasa karena kalian selalu dikejar wartawan." jelas Papa sedikit tersenyum, "Dan kalian berencana kembali mengumumkan bahwa kalian kembali bertunangan saat natal nanti."

"Aku... ingat." gumamku menunduk.

"Dan kau mengumumkan di depan umum kalau kau memilih Shuuzo-san daripada aku." jelas Akashi.

Aku... sudah tidak bisa mundur lagi.

"Tapi kenapa saat natal—"

"Tahun ini kau mendapat sebuah taman, tahun depan..."

"—Apa ini maksudmu dengan tahun depan saat itu?" tanyaku mengigit bagian bawah bibirku.

"Ya, seorang Akashi Seijuuro tidak boleh mengingkari janjinya." jawab Akashi.

"Jika kau memberiku ini karena janji, maka lupakan saja, Sei." gumamku memberikan kotak itu padanya.

"Siapa bilang aku memberikanmu ini hanya karena janji?" tanya Akashi.

"Barusan kau—" ucapanku terpotong saat Akashi mengecup keningku.

"Sudah kubilang sebelumnya, aku mencintaimu, tapi aku tak bisa menikahimu." jelas Akashi, "Karena mulai hari ini di mata publik kau resmi bertunangan dengan Shuuzo."

Lalu Akashi menempelkan keningnya padaku.

(Deg!)

"Maaf atas sikap dinginku selama ini. Aku melakukannya karena aku takut..."

Aku merasakan kehangatan di tanganku. Saat aku melihat ke tanganku, aku melihat Akashi sedang memegang kedua tanganku.

"Aku takut kau akan benar-benar pergi..." gumam Akashi.

"Pergi?" tanyaku.

"Ya, kau hampir kehilangan nyawamu sampai dua kali... itu semua karena aku..."

Iris mataku membesar.

"Jadi aku bersikap dingin padamu, agar kau membenciku, menjauhiku lalu melupakanku."

Pegangan tangan Akshi mengerat.

"Tapi kenapa kau masih mendekatiku? Bahkan mengakui kalau kau mencintaiku? Semua sikapku padamu itu sangat buruk..."

Aku membalas genggaman tangan Akashi, tapi masih menoleh ke bawah.

"Tidak semua, kok." gumamku melihat tangan Akashi yang gemetaran, "Kau masih bersikap baik padaku."

Aku menatap Akashi dengan serius, lalu tersenyum.

"Ucapanmu mungkin memang kasar," ucapku, "Tapi sikapmu mengatakan bahwa kau mencintaiku, Sei."

Akashi membalas senyumanku lalu tertawa kecil, "Aku tak bisa berbohong padamu kalau aku tidak mencintaimu, (Name)."

Saat aku hendak membuka mulutku, tiba-tiba Akashi mendekatkan wajahnya dan menciumku.

(Deg!)

Perlahan aku menutup mataku dan saat aju ingin membalas ciuman itu, Akashi sudah melepasnya.

"Sei—" ucapaku terpotong saat Akashi memelukku.

"Mungkin ini yang namanya kekuatan 'Kata yang Tak Terucap'..." ucap Akashi.

Saat aku ingin mengalungkan tanganku ke leher Akashi, tiba-tiba dia berdiri lalu sedikit membungkuk.

"Maaf atas sikapku barusan, (Name). Aku bersikap tidak sopan padamu yang sudah bertunangan." ucap Akashi, "Maaf tapi aku harus meninggalkanmu disini, (Name). Aku ada urusan mendadak."

Aku tak bisa berkata-kata saat Akashi berjalan meninggalkanku lagi.

...lagi.

Tiba-tiba dia berhenti, lalu menoleh padaku.

"Kau boleh simpan atau buang cincin itu. Selamat malam dan selamat hari Natal, (Name)." dan akhirnya dia meninggalkanku.

Pandanganku menjadi buram, pipiku terasa hangat karena air mataku yang mengalir. Aku hanya bisa menangis tanpa suara. Aku mengenggam cincin yang Akashi berikan.

'Seijuuro...'

'Tuhan, tolong ulur kembali waktu sampai kejadian di taman...'

'Aku ingin menarik kembali ucapanku...'

'Aku mencintai Sei...'

'Dan Sei mencintaiku...'

'Ini natal terburuk...'

***

Hai semuanya, saya kembali :v

Maaf kalo saya makin lama update.

Tapi ada berita gembira.

Buku ini akan selesai (/'-')/ mungkin 2 atau 3 chapter lagi.

Giman chapter ini? Jelek? Aneh?

Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima~

-Rain

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro