ABCD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: A_Ogies (Romance) & allth_ (Fantasy)

"Moch, silakan selesaikan "

Perempuan berambut sebahu maju dengan tangan dikepal. "Nama saya Mocha dipanggil Moka, Pak. Bukan Moc, mana ditambah H lagi diujungnya."

Suara tawa dari teman sekelas semakin membuatnya kesal. Terhitung sebulan lalu, dosen termuda di fakultasnya itu tidak henti-henti mengganggunya.

"Cie, digodain calon suami mulu tuh," goda teman sebangku Mocha.

Berita perjodohan Mocha dan Pak Agus memang sudah tersebar seantoro kampus. Pelakunya tak lain adalah sang ibu sendiri.

Dulu setiap mendengar kata-kata itu, Mocha dengan ketus menjawab. "Amit-amit! Lagian gue udah punya Zaka."

Namun, Zaka tak ada bedanya dengan ampas kopi. Pahit. Mocha pikir lelaki itu setia, tahunya dia ahli. Ya, ahli mematahkan hati gadis-gadis.

"Ciee yang lagi kesel karena kemarin putus."

Mocha melotot mendengar celutukan itu. Dia hanya bisa menggeleng-geleng. Manik mata Mocha tergerak melirik Pak Agus, dan benar saja. Lelaki itu menyengir sembari mengangguk.

"Itu kabar bagus! Baik, sekarang kita lanjutkan pelajaran kita."

Setelah perkuliahan berakhir, Mocha ingin segera pulang. Mengurung diri di kamar dan menangis hingga tengah malam. "Zaka sialan!" umpatnya.

"Pulang sama saya yuk, Moch!"

Tanpa melihat pun Mocha tahu, siapa pemilik suara itu. Tidak hanya dari suaranya yang berat, tetapi juga dari cara pria itu memanggilnya dengan menekan lafal huruf H.

"Mama kamu nitipin kamu sama saya. Katanya berat dibonceng tiap hari. Untung tadi pagi ban motor saya sudah dipompa."

Mocha tidak tahu kenapa ada orang seabsurb itu tetapi bisa menjadi dosen. Kepalanya menjadi semakin pusing. "Nggak perlu, Pak." Dia pun melenggang pergi, tetapi perkataan Pak Agus selanjutnya menghentikan ayunan langkah.

"Sampai kapan kamu menolak perjodohan kita? Saya pengen lihat kamu, waktu saya bangun tidur."

Mocha menoleh. "Nggak ada kesempatan buat Bapak."

"Oke, nilai kamu E."

Mocha mengumpat dalam hati. "Dasar culas!"

"Bapak kok dari dulu ancam saya pake nilai, sih?" tanyanya dengan nada marah.

"Kamu manis kalau lagi ngambek. Sini, ikut sama Om pulang."

Mocha dengan malas naik ke atas motor Pak Agus. Ini bukan kali pertama Pak Agus mengantarnya. Semua karena ibunya. Kalau bukan karena uang jajan yang pas-pasan, Mocha pasti lebih memilih ojek.

"Kenapa di belakang? Sini duduk depan."

"Bapak, ih!"

Lelaki berumur 27 tahun itu tertawa begitu lepas. "Pegangan, Moch."

Mocha enggan berpegangan. Namun, Pak Agus memaksa. Lelaki itu mengambil tangan Mocha yang malah diletakkan di bemper belakang motornya, mirip orang tua yang sedang berpegangan.

"BAPAK!"

Lagi-lagi Pak Agus tertawa. Kini dia melingkarkan tangan mungil itu ke pinggangnya. Mendadak Mocha pun kehilangan daya untuk melawan, berganti desiran kuat. Wajah perempuan itu bahkan merona dibuatnya.

Tepat di ujian akhir semester, setelah lembar jawaban dibagikan tanpa menaruh rasa curiga Mocha membuka lembar soal. Matanya membulat sempurna, membaca tulisan di halaman pertama. Kepalanya lantas menoleh kanan-kiri memastikan apa ada yang salah, tetapi semua tampak tenang.

Mocha membaca lagi pertanyaan di soal itu.

Maukah kamu menikah dengan saya, Moch?
A. Ya
B. Baik
C. Tentu
D. Saya mau
E. Semua benar
Catatan: tidak menjawab, nilai E.

"Dasar gila!"

Pagi ini Mocha terbangun dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Ia bermimpi buruk, mimpi tentang seorang penyihir yang mati mengenaskan dengan dibakar oleh para warga. Mocha sangat menyesali membaca sebuah novel fantasi yang membuat ia terngiang-ngiang akan setiap kejadian dicerita itu.

Mocha duduk termenung bersandar pada kepala ranjang bergelut dengan pikirannya sendiri, membayangkan akankah ada penyihir di dunia ini dengan tongkat sihir ajaib itu?

Dengan tubuh yang sedikit gemeter, Mocha perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Tangannya meraih knop pintu dan membuka pintu kamarnya. Ia hendak menuju dapur guna mengambil air minum.

Mocha tersedak ketika pandangnya tak sengaja menemukan objek yang ia benci. Ia kembali dikejutkan dengan seseorang yang tengah berbincang dengan papanya, di ruang tamu terlihat Pak Agus yang didampingi kedua orang tuanya serta Papa dan Mamanya sedang berbincang.

Seketika Mocha menjadi pusat perhatian semua orang di ruang tamu, itu karena posisi ruang tamu dan dapur yang bersebelahan dengan rak kayu berisi buku renggang yang membatasi. Mocha yang terlihat seperti kepergok itu mengeluarkan cengirnya.

"Nah ini dia anaknya. Sini nak ada yang ingin kami bicarakan," Sang Papa berujar.

Mocha yang merasa kikuk hanya mengangguk kemudian meletakkan gelas pada meja lalu berjalan menuju ruang tamu dan duduk di samping sang mama.

"Jadi kedatangan mereka kesini untuk melamar mu? apakah kamu bersedia menerima lamaran mereka?" papanya memberi penjelasan.

"Apa!" untuk ketiga kalinya Mocha terkejut pada pagi hari ini.

"Pa, yang benar saja bahkan kami belum akrab." Mocha memberikan opininya.

"Mocha, cinta itu akan tumbuh dengan seiring berjalannya waktu," mamanya berujar.

Mocha yang merasa tidak memiliki alasan untuk menolak lamaran sang dosen hanya terdiam.

"Jadi apa kamu menerima lamaran saya Mocha?" tanya Pak Agus.

"Tidak ada alasan saya untuk menolak bukan?" jawab Mocha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro