Jejak Nala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: sid_safta (Historical Romance) & Sky_1125 (Romance)

Dua tahun lalu aku sangat tidak sabar memakai seragam ini. Warna abu-abu dan putih, tujuh belas tahun, kepakan sayap kupu-kupu yang terbang saat melihat sosok idaman, adalah hal-hal yang sering aku bayangkan. Nyatanya, semuanya dusta!

Masuk di sekolah negeri terfavorit di kota ini, membuat hampir semua murid-muridnya berlomba mengejar prestasi dan mengikuti beragam kelas tambahan agar bisa masuk kampus negeri ternama atau luar negeri. Setiap di kelas, yang dibicarakan benar-benar tentang rumus MAFIA! Dan, bodohnya aku yang seharusnya memilih kelas IPS saja, malah memilih kelas IPA, karena berpikir bahwa IPA akan membuat orang tuaku bangga. Nyatanya, toh sama saja.

Setiap di sekolah, rasanya bagai neraka.  Tidak hanya lingkungan yang terus menekan akan belajar dan terus belajar, tapi juga suasana kompetitif para siswa di berbagai macam bidang. Ekstrakurikuler pun tak biss membuatku nyaman dan teralihkan. Mungkin aku yang kurang kompetitif dan tidak bisa beradaptasi di sekolah ini. Satu-satunya tempat yang membuatku nyaman adalah perpustakaan. Tempat paling ampuh untuk melarikan diri.

Perpustakaan sekolah ini terhitung lengkap. Buku-buku bacaan lama dan baru tersedia. Dan tempat favoritku adalah di belakang rak di sudut kiri sembari menatap jendela.

Seperti biasanya, hari ini aku membaca buku yang sangat unik. Sampul kulit berwarna cokelat gelap dengan kaitan sebuah tali. Kertasnya berwarna kuning dan berjudul 'Jelajah Maritim'.

Tiap lembar begitu mengagumkan dalam tiap aksara yang dinarasikan. Dan yang membuatku terhenyak adalah ketika tiba-tiba di sebelahku seorang anak berseragam putih abu-abu, yang entah datang sejak kapan, memperhatikan aku dengan sebaris senyum yang terulas dari bibirnya. Wajahnya tegas dengan alis yang tidak terlalu tebal tapi hidungnya mancung. Kulitnya kecokelatan, dan rambutnya agak gondrong untuk ukuran anak SMA.

Sempat tersihir beberapa waktu, aku terkesiap kala mendengar suaranya yang menyapa.

"Petualangan di lautan menakjubkan bukan, Akshita?" tanyanya. Bodohnya aku menangguk, tapi kemudian sadar ketika dia mengetahui namaku.

Senyum kembali terbit dari bibirnya dan berkata, "aku Nala dan kita akan sering bertemu di sini."

Setelah pertemuan itu aku merasa memiliki alasan untuk memikirkan hal-hal posutif ketimbang berandai-andai dan mengeluhkan keadaan. Nala selalu menjadi alasanku tersenyum.

Hingga suatu hari, Nala menghilang bagaikan ditelan bumi. Tak ada apa pun yang bisa menjadi petunjuk di mana ia berada. Aku tak bertengkar dengannya, bahkqn setelah sekian lama kami sudah saling berkomitmen untuk saling menyayangi. Walaupun aku tidak tahu betul konteksnya apa.

Tiga hari terakhir sebelum Nala menghilang, ia sempat meneleponku demgan ucapan aneh. Entahlah, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Kamu kemana tadi, Na? Aku khawatir banget sama kamu."

Kalimat itu yang pertama kuucapkan pada sambungan telepon. Suara berat itu, terdengar penuh kasih sayang. Aku seperti tak sanggup jika tak mendengar suaranya lebih lama.

"Luakan aku. Semua bakalan sia-sia," ucap Nala.

"Maksud kamu?"

"Kita nggak usah berteman lagi, ya."

"Kenapq begitu Nala? Bahkan kamu tau aku sangat mempercayaimu. Kenwpq tiba-tiba nggak udah bertemqn lagi? Atau kamu hanya merasa kasihan karena aku nggak ounya teman?"

"Ya!" jawab Nala menggores luka.

"Aku menunggu waktu yang tepat, Hari ini adalah jawabannya. Aku bosen pura-puranbaik swma kamu. Aku cuma kasihan sama kamu."

"Kita ketemu, bicarakan semuanya. Aku cuma mau dengar langsung dari mulut kamu. Bukan lewat telepon dan bersikap seolah ngga peduli ama perasaan aku. Kamu nggak melibatkan hati? Kamu bikin aku baper . Plis, ini bukan kamu, Nala. Kamu nggak kaya gini."

"Aku ngga mau buang-buang waktu buat meladeni kamu. Kita nggak usah ketemu lagi suka ngga suka, mau ngga mau. Jelas, kan?" ucapnya tegas.

"Bukankah kita udah janji buat ngga saling ninggalin? Kamu bilang pertemanan kita akan abadi." 

"Janji adalah kalimat manis yang kupinjam untuk menetralkan hari kita yang pahit. Sekarang aku tau, aku nggak kenyang makan janji. "

Aku menggigit bibir bawah erat-erat. Mencoba menetralkan rasa sakitndalam hatiku. Nala, bahkan ia tak pernah tahu ada rasa lain yang telah tumbuh di hatiku selama ini. Sayangnya ia tak peduli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro