Khandaq dan Kisahnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: AlmayNadia15 (Teenfict) & William_Most (HTM)

Semesta malam itu masih senyap dari hiruk pikuk pergulatan pedang dan anak panah. Cahaya rembulan perlahan membubung mendekati bintang, menyatukan sinar mereka untuk menerangi bumi Nabi. Hamparan langit Madinah terlihat begitu luas dari bukit pasir yang sedang kududuki saat ini.

Aku memuji keagungan Tuhan berkali-kali lewat rapalan tahmid dan putaran tasbih. Aku bersyukur, akhirnya ketenangan dan kedamaian kembali dirasa setelah peperangan terakhir yang kudengar ceritanya dari kakek.

Kalau saja umurku sudah melebihi umur paman Ali bin Abi Thalib, sudah kupastikan tanganku ini tidak akan berhenti memegang pedang untuk membela Panji tauhid. Namun begitulah, rahim ibuku tidak mengizinkanku untuk keluar lebih cepat. Untuk menenangkan hatiku, ibu selalu bilang kalau suatu saat nanti aku akan menjadi panglima menggantikan paman Hamzah.

Selain itu, ayah juga selalu mendukung cita-citaku itu dengan membawaku setiap kali dia hendak menyusun strategi bersama Nabi, seperti sekarang ini. Aku sedang menunggu ayah keluar dari majelis. Katanya, pihak Yahudi yang menerima kekalahan dari perang Badar kemarin sedang menyusun strategi untuk menyerang kami.

Rupanya, mereka pun sudah berkoalisi dengan Paganis Quraisy serta menambah kekuatan dengan bekerja sama dengan pihak Ghathafan juga. Aku yakin, pasukan mereka tidak kalah banyak dengan Badar kemarin, mungkin sekitar 14.000 atau lebih.

"Bagaimana Ayah? Apakah kita akan berjihad lagi?" tanyaku langsung berdiri ketika melihat ayah sudah keluar dari majelis bersama teman-temannya yang lain.

Ayah mengangguk dan tersenyum seperti biasa. "Selama nyawa masih di raga, kita akan berjuang sampai titik terakhir," ucap ayah mengelus kepalaku.

"Untuk yang kali ini, apa namanya?"

"Khandaq, perang Khandaq," jawab ayah. Bukan tanpa sebab nama-nama itu lahir. Setiap peperangan mempunyai filosofi tersendiri, dan kali ini aku yakin ada makna di balik penamaan itu.

"Bukankah Khandaq itu berasal dari bahasa Persia yang artinya sebuah parit, Ayah?" tanyaku mengingat hasil belajarku bersama teman-teman ayah yang berasal dari Persia.

Ayah mengiyakan. "Itu adalah ide dari Paman Salman Alfarisi, salah satu strategi yang digunakan di negerinya."

Kedua mataku membola, kagum dengan ide yang belum pernah digunakan oleh siapapun selama perang. Aku semakin tidak sabar mendengar cerita ayah tentang rencana pembuatan parit itu.

Strategi yang sebenarnya semua orang tahu, tetapi tidak terpikirkan. Adalah daerah daerah yang tidak terlindungi oleh pegunungan. Kami sekarang berlindung di sana. Sejatinya, cara ini berasal dari Persia, yang dilakukan untuk menghancurkan pasukan berkuda.

Kuda-kuda itu tak bisa berhenti. Kaki yang hilang asa, tergelincir, jatuh ke dalam parit nan gelap. Manusia yang menaikinya, pada waktu bersamaan, menjerit bercampur ringkih, pecah di udara. Pasukan lawan satu demi satu lenyap dari pandangan, mereka berteriak, menyebut-nyebut, hilang harapan tatkala mengetahui keadaan berbalik. Mereka kalah.

Maka, pada momen nan sempit itu, kuda-kuda memunculkan sayap, terbang, meninggalkan manusia yang tubuhnya tertancap pasak-pasak tajam, berlumuran darah, memuntahkan cairan merah, meleleh dari jasad-jasad yang gemetar dan kejang-kejang.

Aku melihatnya. Mereka membawa berita kemenangan kepada kaum kami.

"Takbir!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro