Prahara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: Sky_1125 (Romance) & _Shalsafira_ (Fantasy)

"Aku hanya mencintai Pranacitra, Genduk Duku. Kumohon, jangan biarkan aku berakhir dalam genggaman Tumenggung Wiraguna," ucap Roro Mendut nelangsa.

Dapat kulihat dengan jelas lelehan air mata yang membelah pipinya. Kecantikan yang akhirnya membuat Roro Mendut mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Jujur, aku iba menyaksikan kesedihannya.

Dibesarkan di kampung nelayan pantai utara Jawa, ia tumbuh menjadi gadis yang trengginas dan tak pernah ragu menyuarakan isi pikirannya. Sosoknya dianggap 'nyebal' tatanan di lingkungan istana, sebagaimana perempuan diharuskan bersikap serba halus dan patuh. Namun, ia tak gentar. Baginya, lebih baik menyambut ajal di ujung keris sang Tumenggung daripada dipaksa melayani nafsu panglima tua itu. Dan aku dapat merasakan betapa perjuangannya begitu berat. Ia harus menjadi budak rampasan dan hendak dijadikan selir Tumenggung Wiraguna.

"Aku akan membantumu, Raden Ayu," tuturku. Tak peduli jika aku juga dianggap pemberontak karena keputusan ini, ini hanya sebuah bukti kesetiaan. Aku tak rela putri Adipati Pragolo yang baik hati dengan kecantikan sempurna itu ada dalam genggaman Tumenggung biadab yang telah merebut tanah kelahiran kami. Salahkah jika aku mengambil peran?

"Larilah, Raden Ayu. Aku akan membantumu menerobos benteng Mataram. Demi bumi yang senantiasa kupijak, dan demi langit yang senantiasa memayungiku, aku rela mati demimu. Pergilah. Temui Pranacitra!" ucapku memulai prahara.

Mendengar kalimat meyakinkan dariku, Roro mendut tersenyum sembari mengusap air matanya. Dia berlari untuk menemui kekasihnya pranacitra. Aku menepati apa yang aku ucapkan, membantu Raden Ayu melewati tembok mataram, melindunginya dari marabahaya. Ku dedikasikan hidup ini hanya untuk Ayu seperti aku mengabdi pada tanah kelahiranku yang dirampas.

"Larilah Ayu!" Pekikku.

Kami berhasil keluar dari Mataram dan memutuskan memilih jalan blusukan supaya eksistensi kami tak mencolok. Air muka Ayu terlihat Risau, padahal tidak ada seorangpun yang menguntit kami dibelakang.

"Ada apa Raden Ayu? aku bertanya tak tahan melihat wajah Roro mendut yang gelisah.

Roro mendut menggeleng kemudian tersenyum, senyum yang selalu memancarkan ketenangan. "Tidak, hanya prasangka buruk tak pasti, bukan masalah. Jangan khawatir Genduk Duku."

Aku lekas mengangguk. Sebenarnya aku tak tahu ujung jalan blusukan ini, sementara itu Ayu sudah kelelahan. Namun seekor kuda menghampiri Raden ayu seolah sedang menawarkan bantuan. Roro mendut segera memacu kudanya dan tiba di lokasi dimana Pranacitra berjanji menunggu. Pranacita membawa Roro mendut pergi. Namun sebelum memacu kudanya. Pasukan berkuda sudah lebih dulu mengepung kami bertiga.

"Apa panyuwun kalian!?" Pranacitra menodongkan keris ke arah mereka semua.

"Serahkan gadis itu brengsek! Dia empunya Tumenggung wiraguna!" Salah satu dari mereka angkat suara, balas menodongkan senjata.

"Tidak akan tuan-tuan! Silakan langkahi mayat saya terlebih dulu!" tegas Pranacitra.

"Pergilah Pranacitra! Bawa Raden Ayu pergi, biar aku penuhi janjiku pada Ayu. Aku rela mati demi Ayu!" seruku sambil menarik keris dan memasang posisi kuda-kuda.

Pranacitra terkejut, tetapi ia
menggenggam erat kerisnya sampai buku-buku jarinya memutih. Tak ingin mengorbankan nyawa orang terdekat Ayu yang berjuang sendirian.

"Jangan Genduk Duku!" larang Roro mendut. Namun aku tak mengindahkan, merangsek maju, melawan empat orang utusan Tumenggung Wiraguna.

"Pergilah!"

Denting keris membuat suasana genting. Pranacitra tak bergegas membawa Roro mendut pergi.

"Kuda aku tahu kau bukan sembarang kuda. Tolong bawa Pranacitra dan Raden Ayu pergi," batinku.

Itu memang bukan kuda biasa, mungkin kuda yang diutus dari Khayangan untuk menyelamatkan Raden Ayu dan Pranacitra. Sepasang sayap muncul dari kuda tersebut lantas membawa pasangan itu pergi. Kulihat terakhir kalinya, Ayu meronta-ronta, ia histeris.

Keris menusuk perutku, darah mengucur deras. Aku terlalu lengah untuk bertarung sendiri namun aku telah berjanji pada ayu. "Aku rela mati demi ayu!" Itu adalah kalimat terakhirku. Kupenuhi janjiku itu padamu dan untuk tanah kelahiranku yang dirampas. Karena aku sudah pernha merasakan bagaimana rasanya dipisahkan dan ditinggalkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro