Skopós; Utopia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: Dhikayo (Science Fiction) & tibs_rhm (Romance)

Homo Sapiens telah membentuk peradaban sejak tiga ratus ribu tahun lalu. Di antara semua peradaban yang dibangun di atas permukaan bumi, beberapa masih dapat ditemukan, sedangkan sebagian lainnya terkubur menjadi misteri yang tak pernah diketahui.

Selama berabad-abad aku menunggu hari ketika manusia mencapai puncak kejayaan. Menunggu saat kedamaian dan kesetaraan yang diimpikan semua makhluk hidup akhirnya terwujud. Namun, itu hanya anganku saja. Keinginan yang tak akan pernah dapat kulihat secara nyata. Manusia adalah makhluk rakus yang bodoh. Yang mencintai harta, status, dan kemakmuran sendiri. Sebagai akibatnya, perang berkecamuk hampir di tiap periode peradaban.

Aku sebagai salah satu teknologi kuno yang diciptakan oleh manusia sampai merasa muak. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berhibernasi dalam penantian panjang mencari utopia yang menjadi satu-satunya misiku.

Setelah sekian lama terlelap—yang mungkin sudah puluhan abad lamanya, aku terbangun lagi. Kali ini, kegelapanlah yang menyelimutiku. Seratus persen tubuhku telah terkubur di kedalaman bumi.

“Ergo Ein Vastia: Volme ax Excelutê.”

Mataku menampilkan hologram yang membuatku dapat melihat keadaan sekitar dengan jelas. Tubuhku hanya berada di celah sempit antara berbatuan, membuatku jelas sangat kesulitan bergerak. Namun, bukan teknologi mutakhir namanya jika tidak dapat lepas dari keadaan darurat.

Aku mengarahkan tangan ke atas. Ujung tanganku sempurna sudah berubah menjadi bor. Dengan mengebor secara vertikal, aku akhirnya berhasil menembus lapisan kerak bumi untuk menghirup udara seperti sebelumnya.

Aku muncul di salah satu padang rumput yang sepi. Pepohonan tampak jarang. Beberapa bangunan terlihat dicat putih. Jauh di tempatku berdiri, bangunan-bangunan dari kayu dengan desain aneh membuatku penasaran. Aku bergegas mengganti tanganku kembali ke mode normal dan menuju ke arah perumahan itu.

Namun, baru beberapa langkah berjalan, seseorang memanggilku.

“Makhluk apa kau ini?” tanyanya. Aku kurang mengerti apa arti ucapan itu sehingga terpaksa menggunakan penerjemah otomatis.

Bahasa yang digunakannya disebut sebagai Bahasa Belanda. Sekarang Februari 1927. Bandung, Hindia Belanda. Nama Pria di hadapanku ini Soekarno. Perawakannya tampak seperti orang hebat, pintar, dan berwibawa.

Aku mendekatinya. “Apa maksudmu?” tanyaku, menggunakan penerjemah otomatis agar ia mengerti.

Pria itu melambaikan tangannya tegas. “Maksudku, bagaimana kau bisa keluar begitu saja dari tanah? Kau ini orang super atau robot? Jangan-jangan kau orang dari bangsa Atlantis?”

Aku menggeleng. “Aku hanya manusia biasa.” Aku menjulurkan tangan. Pemuda ini tampak bisa diperdaya. Dapat membantuku mewujudkan utopia. “Aku rasa kita bisa menjadi teman. Kebetulan aku juga sedang mengusahakan kemerdekaan.”

Pria di hadapanku tampak ragu, namun ia segera menjabat tanganku pula. Setelah itu, muncul keheningan di antara kami. Namun, segera kandas ketika ia berkata, “kau punya tangan yang dingin.”

“Karena aku selalu berjuang setiap hari untuk mengusir penjajah-penjajah itu,” berusaha membuatnya yakin.

Pria bernama Soekarno itu tersenyum lebar. Tepat sebelum senyuman itu berakhir, aku mengaktifkan tentakel di punggungku yang tersusun atas ikatan partikel-partikel nano, mengancamnya dengan salah satu dari puluhan tentakel yang kumiliki.

“Sebelum itu, kau harus berjanji untuk menyembunyikan identitasku. Dengan begitu, aku akan membantumu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsamu ini.”

Ia diam seribu bahasa.

Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya Soekarno berkata, "Baiklah. Aku akan menyembunyikan identitasmu."

Sejak saat itu, kami akhirnya berteman dekat. Teman yang sama-sama saling membutuhkan.

Aku banyak belajar darinya, terutama soal wanita. Suatu malam saat kami sedang berada di Bengkulu, Hasan Din yang merupakan Ayah dari Fatmawati, menitipkan putrinya pada Soekarno untuk mendapatkan bimbingan. Jelas saja, hal itu adalah sebuah penghargaan baginya karena Hasan Din merupakan tokoh Muhammadiyah, salah satu organisasi besar islam.

Waktu terus berlalu. Yang ku tau, hubungan antara Soekarno dan Fatmawati tidak lebih dari sekedar hubungan Ayah dan anak.

Namun, semuanya mulai berubah saat Ratna Juami–putri angkat Soekarno pindah ke Jawa untuk bersekolah dan Inggid menemaninya.

Selama itu, Fatmawatilah yang menemani Soekarno.

Sampai suatu waktu, Soekarno datang kepadaku dan berkata "Istriku sudah mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, penuh vitalitas, dan memasuki usia terbaik di puncak kehidupan. Aku menginginkan anak. Istriku tidak dapat memberikannya padaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal seperti itu." (Sumber: Kompas.com)

Aku cukup terkejut mendengar penuturannya.

"Lalu apakah Fatmawati bersedia?"

Aku melihat betapa putus asanya Sang Plokamator ini. Soekarno menunduk dan berkata, "Ia tidak mau di poligami. Begitupun dengan Inggit."

"Lalu bagaimana?"

"Aku akan menceraikan Inggit."

Aku hanya bisa tersenyum dan mendukung keputusannya. Biar bagaimanapun, Soekarno menginginkan keturunan. Aku yakin, sebelum membuat pilihan, ia sudah memikirkannya matang-matang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro