Teman Berdarah Biru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: jhounebam (Teenfict) & ohnurfaa_ (Fantasy)

Suwardi mengambil posisi duduk rapi di hadapan ayahnya yang sedang menyeruput kopi. Sebenarnya ia tidak takut, tapi hanya merasa berdebar-debar saja setelah beberapa menit lalu ayahnya meminta untuk berbicara empat mata dengannya.

“Suwardi, kau ini anak yang cerdas. Jadi, Bapak sudah mendaftarkan mu di Europeesche Lagere School. Besok, kau sudah bisa masuk sekolah,” ungkap ayah Suwardi dengan senyuman.

“Yang benar, Pak? Saya bisa sekolah?” Suwardi menanggapi omongan ayahnya dengan melompat-lompat kegirangan. Akhirnya, Suwardi bisa menempuh pendidikan formal. Disamping kebenaran bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan, Suwardi memang sudah lama ingin belajar banyak ilmu.

Suwardi terhitung sebagai anak yang cerdas, ia pandai mengaji, membaca, dan juga melantunkan tembang serta puisi Jawa. Rasa keingintahuannya yang tinggi juga merupakan faktor bagaimana Suwardi terkenal pintar di kalangan orang sekitarnya.

“Pak, saya mau keluar dulu sebentar,” kata Suwardi cepat dan langsung berlari keluar rumah.

“Nak, kau mau ke—” ayah Suwardi tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena melihat anaknya yang sudah berlari jauh. Ia merasa tenang-tenang saja karena ia percaya pada Suwardi bahwa anak itu pasti akan pulang kembali sebelum malam.

Suwardi berlari cukup jauh untuk menemui teman-temannya di kampung. Setelah sampai, ia menemui dua orang temannya yang sedang bermain bola sepak.

“Fajar! Adi!” seru Suwardi sambil melambaikan tangan dengan senyuman.

“Ada apa kau kesini jauh-jauh?” tanya Adi yang menghimpit bola sepak di tangan kanannya.

“Saya membawa kabar baik. Bapak saya mendaftarkan saya di Europeesche Lagere School,” ujar Suwardi dengan senyum sumringah.

“Wah, selamat,” balas keduanya hampir bersamaan. Namun tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan memanggil nama Adi.
“Ah, sepertinya saya harus pergi membantu Ibu dulu. Sampai jumpa lain waktu,” pamit Adi yang langsung berlari terbirit-birit.

“Nasib kau beruntung. Bisa sekolah dan menimba ilmu. Tapi saya dan yang lain tidak bisa sekolah karena kami bukan keturunan bangsawan,” keluh Fajar. Suwardi yang mendengar itu langsung merasa kabar yang dibawanya bukanlah kabar baik. Ia merasa tidak enak.

“Sebenarnya saya pun juga bingung, mengapa pemerintah harus membeda-bedakan golongan untuk menimba ilmu? Padahal kita semua sama saja,” balas Suwardi lesu, nada bicaranya sudah tidak semangat seperti tadi.

“Suwardi, kalau kau akan sekolah, kau tidak bisa bermain lagi dengan kita. Kau akan berteman dengan orang-orang kulit putih itu. Bisakah kau menetap bersama kami saja di sini? Saya tidak mau kehilangan teman sepertimu.”

Mendengar perkataan Fajar, Suwardi langsung merasa bimbang. Ia menatap Fajar dengan iba.
Keinginannya untuk bersekolah sangatlah tinggi, tapi ia tidak enak hati untuk meninggalkan temannya seperti ini.

Setiap langkah kakinya yang berpijak menuju rumah, pikirannya keluar merenungi kata-kata Fajar. Menimbang antara dua keinginan yang bertolak belakang. Apabila Ayahnya tahu, pasti ia akan marah besar kepada Suwardi yang menyia-nyiakan kesempatan besar sebagai pemilik darah biru.

"Hai!"

"Astaghfirullah." Suwardi terkejut hampir terjungkal ke belakang mendapati seorang anak laki-laki yang terlihat lebih tua darinya tiba-tiba berada di hadapannya.
Rasa waspadanya meningkatkan membuat Suwardi ingin berlari dengan cepat untuk sampai rumah. Hari sebentar lagi gelap.

"Aku bukan orang yang berbahaya."

Ia mencoba melewati orang itu tanpa berkata.

"Aku hanya ingin membantumu, kau bingung dengan sekolahmu, bukan?"

Mata Suwardi membesar, mengapa ia tahu tentang itu. "Langit akan gelap. Saya akan pulang sebelum Bapak mencari."

Langkah kaki Suwardi berhenti seketika, baru satu langkah. Anak laki-laki itu mendahului Suwardi kembali berdiri di hadapannya. "Sekarang sudah pagi."

Suwardi menatap anak itu takut-takut, menatap langit yang baru saja akan gelap menjadi terang seketika. Otaknya bergerak dengan cepat memberikan aba-aba untuk meninggalkan tempat itu.

"Jangan takut, ini hanya manipulasi. Tidak benar-benar nyata."

"Apa yang kau lakukan? Mengapa saya tidak bisa berlari."

Rambutnya yang hitam legam dengan kulit sawo matang itu tersenyum. Menampakkan sudut matanya yang ikut melengkung. "Aku hanya ingin membantu."

Suwardi menggerakkan kepalanya dan mengatur nafasnya mencoba tenang. Menahan sesuatu yang ingin jatuh dari kelopak matanya.

"Kau tidak perlu bingung. Terima saja kesempatan untuk bersekolah di Europeesche Lagere School. Aku juga siswa di sana."

"Kau sebenarnya siapa? Mengapa tadi kau bisa mengubah langit. Itu tidak ada dalam buku yang pernah aku baca."

Tidak tahu apa yang lucu, ia menahan tawa dengan tangan kanannya. "Aku temanmu. Itu memang tidak ada dalam buku. Semua yang aku pelajari ada di ELC."

Laki-laki itu kemudian mendekatkan dirinya pada Suwardi, mencoba membisikkan sesuatu pada telinganya. "Mungkin kau tidak tahu. Tapi di sekolah itu ada sekolah sihir khusus darah biru. Karena itu, sebaiknya kau ikut ke sana. Kalau kau bisa menguasai semua ilmu di sana. Bukankah semua rakyat kita bisa bersekolah nantinya."

Anak kecil polos yang terkenal pintar itu hanya mangut-mangut antara percaya dan tidak. Namun, kalimat terakhir dari perkataan laki-laki asing itu ada benarnya. Entah apa yang dimaksud dengan sekolah sihir khusus darah biru. Setidaknya, ia harus mengambil kesempatan untuk membuat kesempatan kepada yang lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro