The Unknown Dark Side

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: jhounebam (Teenfict) & Sky_1125 (Romance)

Di bangku paling belakang, pojok kiri, terdapat seorang anak yang menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya. Zia selalu datang ke sekolah dengan tampilan berantakan. Padahal sebenarnya ia selalu mandi dan menyisir rambut. Namun satu langkah ia keluar dari rumah, Zia langsung menutupi wajahnya dengan rambutnya.

“Hei, Almond Hitam! Cepat belikan aku soda di kantin!” perintah Maverick sambil menggebrak meja Zia.

Zia bangkit berdiri dan pasrah menuju ke kantin. Saat hendak keluar dari pintu kelas, seorang anak perempuan berkata lantang kepada Maverick.

“Bisakah kau berhenti mengganggu Zia?!” Diana menegur laki-laki yang suka membuat keributan itu.

“Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau seharusnya bisa bergaul dengan anak-anak cantik lainnya, tapi kenapa kau malah memilih berteman dengan si Almond Hitam?” Ucapan Maverick disambut tawa teman-teman satu kelas.

Zia yang mendengar itu mengepalkan tangannya. Ia sangat benci ketika Maverick mencetuskan julukan sialan itu. Bahkan sebelum julukan itu ada, ia sangat benci akan tahi lalat yang terlihat jelas di pipi kanannya. Ukurannya yang sebesar kacang almond membuat tahi lalat itu sangat mengganggu.

Zia berjalan cepat keluar kelas agar ia tidak ketahuan menangis lagi. Diana berjalan menyusul Zia. Sesampainya di kantin, Zia membeli soda dan langsung kembali ke kelas.

“Hei, Zia! Tunggu aku!”

“Kau tidak apa-apa?” tanya Diana setelah berhasil menyusul Zia di koridor sekolah.

Zia menundukkan kepalanya makin dalam.

“Kau.. Bisakah nanti kita bertemu di tepi sungai di pinggir kota?” Zia akhirnya bersuara meskipun dengan berbisik.

“Tentu saja! Sungai yang ada penyewaan perahu itu, kan?” balas Diana bersemangat.

“Ya… Kita bertemu di sana jam sembilan malam. Ada yang ingin kusampaikan padamu,” lanjut Zia, ia menundukkan kepalanya makin dalam.

Diana merasa sepertinya Zia akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting dan sepertinya tidak ada orang lain yang bisa Zia ajak untuk bercerita.

***

“Aku ingin bercerita sambil naik perahu. Kau mau?” tawar Zia ragu-ragu.

“Ehm, tentu saja,” jawab Diana berusaha tersenyum.

Zia melepas tali perahu dari batang kayu di dekatnya. Setelah memastikan perahu bisa berfungsi dengan baik, Zia mengajak Diana masuk ke dalam perahu. Setelah keduanya berada di dalam perahu, Zia mendayung perahu perlahan sampai ke tengah sungai. 

“Jadi, kau ingin bercerita apa, Zia?”

Zia berhenti mendayung dan mendongakkan kepalanya. Ia menyibak rambut panjangnya sehingga tahi lalat yang selalu ia sembunyikan terlihat.

“Kau ini memang merasa kasihan kepadaku atau kau mendekatiku karena kau akan dilihat sebagai perempuan cantik yang baik hati?”

“Apa.. maksudmu, Zia?”

“Aku selalu sendirian dan semua orang selalu meledek ku. Sejak Maverick memanggilku dengan julukan sialan itu, kau malah semakin mendekatiku. Aku tidak butuh rasa kasihan darimu. Dan aku tidak akan pernah mau berteman dengan siapapun, termasuk kau!” Setelah berkata seperti itu, Zia langsung mendorong Diana dengan dayung kayu.

Diana langsung tercebur ke dalam sungai yang tidak dangkal itu. Ia berusaha untuk kembali ke dalam perahu, namun Zia mendayung perahu lebih cepat dan meninggalkan Diana di tengah sungai. Gadis malang itu berusaha mengambil napas dan bertahan. Namun sayang, Diana tidak pandai berenang. Suhu dingin air sungai langsung menusuk tulang dan masuk lewat hidung serta mulutnya.

Zia menatap Diana yang berusaha bertahan dengan senyum miring. Ia menikmati pemandangan itu dengan rasa puas. Tiba-tiba ia mengalami kejang. Sampai tiga menit berjalan, tubuh itu mulai tidak banyak bergerak. Kemudian gadis malang itu mengapung sempurna dan tidak bergerak lagi.

Hari berikutnya setelah Diana ditenggelamkan di sungai, Zia berangkat sekolah seperti biasa. Ia menatap bayangan wajahnya di cermin, tersenyum puas. Satu targetnya telah dituntaskan. Siapa berikutnya.

Gadis itu berjalan dengan ekspresi datar, melintasi halaman sekolah meski begitu banyak teman-teman yang mengejeknya. Sebelum berangkat ia telah memiliki janji temu dengan seseorang. Seseorang yang membuatnya merasa semakin hidup. Semakin bergairah dan semakin menggila.

Di perpustakaan kosong mereka bertemu, lalu saling bertukar pikiran.

Mereka memiliki kesamaan, di mana kematian orang lain dianggap sebagai kesenangan. Zia bagaikan seorang malaikat pencabut nyawa.

"Siapa selanjutnya?" ucap Zia setelah mengecup pipi pria di hadapannya. Tersenyum manis, tanpa melakukan penyamaran, Zia sebenarnya gadis sempurna. Tetapi ia lebih suka berperan sebagai malaikat pencabut nyawa.

Bukan tanpa alasan. Bagi Zia semua orang sama, mendekat karena ingin menyakiti, sebagaimana Robert Elocxy. Pria itu menikahi ibunya lalu ia membunuhnya, di depan mata kepala Zia sendiri. Hingga untuk pertama kalinya di usia dua belas tahun, Zia memotong-motong tubuh ayah tirinya itu lalu menguburnya setelah pria itu diracun.

Semua yang mendekat padanya, pasti akan mendapatkan hal yang sama. Kematian. Kecuali dia ... pemuda licik dan juga memiliki kecenderungan yang sama sepertinya. Keduanya seperti dua jiwa rusak yang saling melengkapi, melengkapi dalam versi keji level tinggi.

"Pulaskan dengan benar agar tahi lalat itu tampak nyata dan natural." Pemuda itu mengingatkan seraya mengusap rambut Zia.

"Menurutmu siapa selanjutnya?" Pemuda itu tersenyum, lalu mengusap bibir merah Zia.

"Kita beraksi, sekarang!"

"Aku tidak sabar menanti permainan kita selanjutnya, Zia."

Zia tersenyum. "Aku juga tak sabar melihat cara mereka mati, itu sangat menyenangkan."

"Kau memang tahu seleraku," pemuda itu memuji sambil mengerling seakan gadis itu adalah pemilik sebagian dari  buah pikirannya.

"Mari berburu, Sayang !" ucapnya sambil menampilkan evil smirk.

Setelah percakapan itu, kembali Zia dirundung oleh pemuda sialan bernama Maverick.

"Hei, Almond Hitam. Apa kau tak lelah bersekolah di sini? Aku muak melihat wajahmu!" teriaknya.

"Hentikan, Maverick. Kau sudah keterlaluan!" Anggelica kali ini ambil bagian. Berperan sebagai pahlawan kesiangan. Umpan telah menjerat tawanan. Malaikat maut telah menemukan mangsa baru.

Zia berkedip sambil tersenyum ke arah pemuda yang mengganggunya tersebut, dengan senyum culas seolah berkata, "bagaimana, Maverick, siap menyaksikan pertunjukan berikutnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro