Nyanyian Kematian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: Sky_1125 (Romance) & Dhikayo (Science Fiction)

"Rachel ditemukan dalam keadaan mati mengenaskan. Di sini kita sudah tidak aman, Swarga. Kita harus segera tinggalkan kontrakan ini." Aku menatap kekasihku dengan netra penuh keyakinan. Sorot mata ketakutan ini tak kusembunyikan barang sebentar. Aku ketakutan. Tanganku bergetar tak karuan.

"Kenapa kamu begitu yakin kita ada dalam ancaman, Alensky?"

Aku mendesah kasar, kecemasan membuncah meluluhlantakkan ketenangan yang kubangun susah payah.

"Setelah Jolie, Rachel korbannya. Mereka saudara kembar. Kita berempat begitu dekat. Setelah ini, bisa jadi kau targetnya. Atau malah aku!" ucapku dengan suara bergetar.

Aku meraup wajah dengan kedua telapak tangan. Ada adrenalin yang terpacu saat kata demi kata terucap dari bibirku. Sandiwara yang kuciptakan begitu sempurna. Layaknya aku profesional dalam berdrama.

"Kita pergi sekarang, Swarga. Kita tak punya banyak waktu. Atau nyawa kita melayang." Kutarik tangan Swarga. Bahkan tak ada barang apa pun kubawa. Kami pergi dengan tangan hampa. Setidaknya ada sesuatu dalam genggaman yang siap kunikmati nyanyiannya malam ini.

Swarga mengikuti langkahku, bergegas memasuki kendaraan umum. Dalam hati aku bertanya, dengan cara apa aku akan menunjukkan cinta pada Swarga?

Kubawa pria itu berjalan menyusuri lorong-lorong  gang sempit, kemudian kuarahkan pada sebuah gedung tua. Aku mengaduh, limbung. Kakiku tersandung dan lututku terluka.

Swarga mengulurkan telapak tangan, kusambut hangat dengan senyuman, sekaligus satu tikaman. Tikaman penuh penghayatan sebagai bahasa cinta untuknya. Lalu kudambakan nyanyian kematian yang dilolongkan Swarga, kekasihku tersayang.

Blessshhh....

Pisau lipat yang telah kusiapkan ini, juga kugunakan menguliti tubuh si jalang Rachel dan Jolie. Kini benda itu menancap di perut Swarga. Aku sakit hati. Duo laknat itu, mereka saudara kembar yang telah merebut cinta Swarga hingga tak lagi utuh untukku.

Setimpal, bukan?!

Matikah dia? Jangan! Aku masih ingin bermain-main. Ingin kusatukan jiwanya denganku. Dengan cara ajaib yang mungkin tak akan pernah kau pikirkan.

I love you so much, My Heaven.

Swarga perlahan menjemput nyanyian kematiannya. Mulutnya terbuka lebar, matanya membelalak bak melihat malaikat maut. Air liur merembes keluar dari bibir halusnya itu. Oh, lihatlah, Swargaku tidak lagi indah. Ia jelek, menyedihkan, dan menjijikkan. Namun entah mengapa cahaya di pupil matanya tetaplah setampan Swarga yang senantiasa kudambakan.

“Kau benar-benar melakukannya, Jalang. Aku bahkan tidak yakin apakah ada kewarasan di otakmu itu.”

Aku berbalik. Mendapati sosok pria tua di sana.

“Kamu mau jadi seperti Swarga juga, Profesor? Kalau iya, maaf saja, aku tidak bisa memperlakukanmu selembut ini. Cinta tulusku hanya untuk Swarga. Ah, tapi kalau tidak keberatan aku bisa menunjukkan sedikit rasa sayang dengan mencungkil matamu menggunakan garpu.”

Tawaku tak tertahankan. Lengkingan suaraku menggema di seluruh ruangan. Tertawa, tersenyum, menangis bahagia. Ah, betapa indahnya. Betapa eloknya kehidupan ketika tahu impian yang selama ini aku kubur akan menjadi kenyataan.

Profesor di depanku mengangkat bahu santai. Ekspresinya yang datar sedikit membosankan. Lebih parahnya lagi, raut wajah tak ramah itu menular pada bawahan-bawahan yang mengikut di belakangnya.

“Kami sudah menyiapkan semuanya. Jaringanku juga memastikan kalau polisi tidak akan bisa mengendus kejahatanmu. Ini memang hanya percobaan tapi kau tetap harus membayar selama percobaan ini berlangsung. Jika tidak, kami akan memisahkan kalian berdua. Mematikan paksa server yang akan kalian gunakan.”

Aku meninggalkan sosok Swarga begitu saja. Perlahan, aku mendekat pada si profesor brengsek itu. Aku sengaja memutar-mutar pisau di tangan kanan layaknya pembunuh profesional di dalam film-film.

“Kau meragukanku? Menurutmu untuk apa aku membunuh manusia selama ini dan menjual organ-organ mereka secara ilegal?”

Aku menyeringai licik. D

“Semua tabunganku ada pada Sastov. Kau silakan jalankan tugasmu dan minta bayaran padanya. Kalau dia macam-macam, kau tinggal ancam dia. Keluarganya kusekap di belakang bukit dekat sungai. Tenang saja, mereka tidak bisa kabur, tidak bisa melawan, tidak bisa membahayakan siapa pun. Pada dasarnya mereka sudah mati,” bisikku tepat di telinganya.

Profesor di hadapanku menghela napas berat. Bau mulutnya sedikit menyengat sehingga aku secara refleks menjauh beberapa langkah.

“Kau tidak takut pada apa pun selain bau mulut?”

Aku meregangkan otot-otot tubuhku sambil menepis udara sekitar dengan telapak tangan. “Bau bisa saja membunuhku.”

“Baiklah, ikuti aku. Kita mulai percobaannya,” ucapnya.

Aku diam beberapa saat, lalu mengangguk. Dua orang yang sejak tadi ikut bersamanya mengangkat tubuh Swarga dan memborgol tanganku. Aku hanya bisa berkedip beberapa kali, kemudian pasrah.

“Apa aku sebegitu mengerikannya sampai harus diborgol?”

Profesor itu terus berjalan. Sementara anak buahnya terus menodongku dengan senjata api.

“Aku tidak ingin membahayakan siapa pun. Sebelum memulai proses transfer ingatan ke dalam server kau harus dibius. Jika dalam keadaan normal kau pasti akan membunuh kami semua. Karena itulah—“

Kata-katanya belum selesai dan  aku seketika terlelap.

Mataku terbuka di tempat yang serba gelap. Hanya ada setitik cahaya jauh di hadapanku. Aku mengerjap, tersandung benda tak kasat mata, kemudian tersungkur. Namun, aku tak merasakan sakit yang berarti. Seketika aku sadar bahwa percobaan telah berhasil. 

Aku berlari kencang hingga menembus titik cahaya di depanku. Mataku langsung disambut silau. Kini, di hadapanku terhampar padang rumput hijau nan memesona. Diselingi bunga-bunga warna-warni. Awan-awan putih menghiasi langit cerah. Burung-burung beterbangan bebas pula.

Aku memerhatikan lebih banyak hal, namun satu-satunya yang menarik perhatianku hanya sosok pria di ujung padang. Ia tampak memandangi langit, membelakangiku. Di tangannya yang terkulai, ia menggenggam sepucuk bunga mawar.

Aku berlari. “Swarga,” panggilku dengan suara lantang, menyalurkan segenap kebahagiaan di sana.

“Apa yang kaulakukan?”

Aku menarik tangannya yang dingin, kemudian beralih menatap wajah datarnya. Di ujung ekor matanya mengalir air mata tanpa henti. Ia lalu beralih menatapku alih-alih terus memandangi langit.

“Ini di mana?” tanyanya.

Aku menggeleng, lalu mengangguk, lalu menggeleng lagi. “Mungkin surga.”

Swarga bergeming. Dengan sebelah tangannya, ia melepaskan tangan satunya lagi dari genggamanku. Lalu, ia terduduk lemas di padang rumput tak bertuan.

“Tidak...” ucapnya lirih, “ini neraka.”

Dan aku hanya bisa tertawa penuh kemenangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro