Amazing Experience

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Alvaoir Alvaoir (Fantasi) - Lia LadyAmerta (Romance)

* * *

Zola tak bisa berhenti berdecak kagum, kedua tungkainya ia bawa melangkah, melangkah dan terus melangkah tanpa tujuan. Rahangnya terus terbuka, tak kunjung berhenti mengagumi bangunan-bangunan kokoh nan tinggi. Pagar beton yang dicat berwarna krem kekuningan itu bahkan memiliki tinggi 2 kali tubuhnya. 

Sebuah kastil megah berdiri begitu kokoh dihadapannya. Zola sedikit menganga, berkedip beberapa kali. "Sekarang, aku sedang dimasa kerajaan, ya?" tanya Zola dengan suara pelan hampir seperti gumaman. Ia menyisir pandangan, menelisik pada pohon-pohon tinggi yang menjulang tinggi dibelakang.

"Aku menjelajah terlalu jauh dari target koordinat yang seharusnya," lirih Zola lemas. Alisnya berkerut lelah lalu perlahan melangkahkan kedua kakinya menuju gerbang kastil.

Bruk!

Warna hijau muda mencuat dari kedua tangan Zola secara reflek karena ia tak sengaja menabrak seseorang. Salahkan dirinya yang terlalu asik melihat kesana-kemari. Suara kayu yang retak membuat Zola terhenyak, ia segera beranjak dari tanah.

"T-tidak! Klarinet milikku!"  gadis itu terpekik tak percaya. Dengan busana yang terlihat penuh oleh lapisan-lapisan kain yang menyulitkannya bergerak, ia tergopoh-gopoh mengambil pecahan kayu dari benda yang bagi Zola mirip seruling itu.

"Kau! Apa kau tahu betapa sulit dan mahalnya membeli alat musik?" ia menjerit dan menodongkan jari telunjuknya kearah Zola yang hanya memberi ekspresi khawatir. "Melihat bajumu, kau pasti adalah budak rendahan! Bagaimana kau akan membayar ganti rugi, huh?"

"Tunggu sebentar."

Gadis itu terbelalak, menepis tangan Zola yang berusaha menyentuh lengannya. "Jangan sentuh tanganku, dasar rendahan."

Zola tak menghiraukannya, ia memilih untuk menarik lengan sang gadis dan membuka sarung tangan hitam itu. Gadis itu tentu menjerit protes, ia berusaha melepaskan lengannya tetapi Zola mencengkeram dengan sangat kuat.

Seketika, kedua bola mata berwarna biru bagai lautan itu semakin membelalak. Cahaya kebiruan mencuat dari tangan Zola, lalu luka lecet-yang tak ia sadari-pada sikunya berangsur-angsur sembuh oleh cahaya itu.

"K-kau! Penyihir?" gadis itu mengambil serpihan klarinet miliknya dan berusaha untuk berdiri.

"Kau ini siapa?" tanya Zola membuka suara. Sang gadis awalnya ragu, tetapi mulai menjelaskan identitas karena takut akan terjadi apa-apa pada dirinya. Ia pernah mendengar rumor dari kerajaan tetangga, seorang penyihir membunuh puluhan warga hanya karena seseorang pernah mematahkan busur panah milik sang penyihir. Ia tak bisa mengorbankan nyawa.

Setelah beberapa menit sang gadis menjelaskan, Zola mulai paham. Sang gadis bernama, Arisabella. Gadis itu adalah keturunan dari keluarga musik dalam opera kerajaan. Arisabella sedang berencana pergi ke kerajaan lain untuk menemui tunangannya, tetapi malah tertabrak oleh Zola.

"Hah! Aku terlempar terlalu jauh dari tahun yang seharusnya." Zola merengut sebal, menggerutu lalu membaringkan tubuhnya diatas jalanan berbatu. Ya, mereka sedang duduk ditepi jalanan menuju luar kawasan kerajaan.

"Hei, kau penyihir, bukan?" celetuk Arisabella ketika tak ada suara dari Zola. Zola hanya memberi anggukan tak peduli dan bergeming ditempat. "Apa kau... Bisa memperbaiki klarinet milikku? Ayahanda pasti akan marah jika melihat ini."

Zola melirik pada wajah menyesal Arisabella. Ia murung, mengusap sepihan serpihan klarinet yang telah pecah menjadi keping kecil berserakan di tanah. Senyum simpul lalu terbit diwajah Zola.

"Tak bisa."

“Lalu, bagaimana dengan ini? Aku tak memiliki cukup uang untuk membeli klarinet baru. Perlu usaha yang tak sedikit juga untuk mendapatkan klarinet ini. Kau tahu? Klarinet ini dibuat oleh Johan Christoph Denner—pembuat instrumen musik tiup kayu terkenal juga seorang ahli musik dunia. Hal ini yang membuatnya sangat istimewa di mata ayah." Mata Arisabella berkaca-kaca.

"Maafkan aku. Aku tak sengaja. Sungguh.” Ia berujar penuh sesal. Meskipun tahu ucapan maafnya tidak akan memperbaiki apa pun. "T–tunggu! Tadi kau bilang Johan Christoph Denner?"

Arisabella memiringkan kepala. Lantas mengangguk heran. Apa ada yang salah dengan ucapannya?

Ia menatap Zola yang tengah mengusap wajahnya kasar. Pemuda itu tampak frustasi. Entah apa yang berada di pikirannya.

“Abad ke-16, yah? Atau 17, mungkin? Ternyata, mesin waktu itu benar-benar rusak," lanjutnya lesu. “Semoga Theo bisa memperbaiki benda itu secepatnya.”

"Hei, kau!" Zola menunjuk Arisabella, lantas melanjutkan, “Temani aku untuk beberapa hari ke depan!” Ia tak ingin jalan-jalan seorang diri, oke? Itu terlihat menyedihkan.

“Tidak bisa. Aku sudah memiliki janji.” Arisabella berujar takut-takut.

“Jika begitu, aku akan ikut ke mana pun kau pergi.” Zola berujar tak acuh.

“Tidak!” Arisabella melotot garang. Ia tak akan membiarkan Zola bertemu tunangannya. Bagaimana jika nanti Zola menyihir kekasih hatinya? Maka, ia tidak memiliki pilihan lain selain mematuhi keinginan pemuda tersebut. “Baiklah, aku akan menemanimu.”

****

Sudah tiga hari Zola berkeliling kerajaan bersama Arisabella. Selama tiga hari pula Zola dibuat terkesima dengan budaya di sini. Pun hari-hari yang biasanya membosankan berubah menyenangkan berkat gadis itu.

Arisabella banyak bercerita. Dari mulai menceritakan keseruan ketika bermain drama, klarinet, dan masih banyak lagi. Pun, Zola selalu tertarik dengan cerita Arisabella. Entahlah, hanya saja ... terasa menyenangkan ketika gadis itu bercerita dengan mata penuh binar.

Suatu sore, Arisabella mengucapkan janji; dia mengatakan akan membawa Zola ke Gedung Teater—tempat pertunjukan opera berlangsung. Dan benar saja, gadis itu menepati janji besok harinya.

Zola tak henti dibuat kagum ketika mengelilingi ruang teater. Kakinya berhenti melangkah ketika menatap pria paruh baya tak jauh di depannya. Menurut penuturan Arisabella, pria itu merupakan musisi sekaligus guru suara terkenal di kerajaan ini, Emilio de' Cavelieri.

Satu hal yang membuat Zola terkejut adalah fakta, di mana semasa muda, pria itu pernah menjadi anggota Florentine Camerata. Benar-benar luar biasa!

Ia jadi ingat dengan harapan mustahilnya—kembali ke masa lalu untuk bertemu anggota Florentina Camerata. Dan sekarang, keinginan mustahilnya benar-benar terkabul! Sungguh luar biasa! Meskipun sangat disayangkan ia tidak bisa bertemu dengan pendirinya—Count Giovanni de' Bardi—musabab telah wafat.

“Tidak sia-sia aku terlempar ke masa lalu terlalu jauh,” bisik Zola bahagia.

“Kau mengatakan sesuatu?” Arisabella bertanya.

“Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa.” Zola menggeleng. Netranya kembali bergulir menatap Emilio dengan mata berbinar.

“Jangan menatap Guru dengan pandangan itu!” Arisabella memukul lengan Zola pelan, seolah melupakan rasa takut yang sebelumnya sempat bersemayam. “Tatapanmu bagai singa kelaparan yang menatap mangsa.”

“Apa kamu bilang?!”

“Tidak.” Arisabella terkikik geli tatkala menatap wajah kesal Zola. Membuat mata birunya menyipit lucu. Dan entah mengapa, ketika melihatnya, jantung Zola berdetak tidak normal. Apa Zola jatuh cinta saat ini? Tidak! Itu tidak boleh terjadi!

Zola menampar kedua pipi, lalu membatin, _“Sadarlah Zola! Dia sudah memiliki tunangan. Dan lagi, kamu tidak mungkin mencintai perempuan yang umurnya lebih tua dari nenek buyutmu, bukan? Kalian juga hidup di zaman yang berbeda. Jadi, sangat mustahil untuk memilikinya. Ck, mengapa kisah percintaanku selalu berakhir tragis?”_

“Zola!”

Teriakkan seseorang membuat pikiran Zola kembali. Ia menoleh, menatap pemuda berkemeja putih serta berkacamata—Theo—yang berlari ke arahnya. Wajahnya berseri dengan senyum lebar yang tak kunjung luntur. Theo berhenti di hadapan Zola, lantas membungkuk seraya mengatur napas.

Setelahnya, Theo berdiri, lalu mendekatkan bibir pada telinga Zola. “A–aku berhasil membenarkan mesin waktu.”

“Kenapa sangat cepat?” Tentu saja Zola merasa tak senang. Ia tak bisa melihat wajah manis Arisabella lagi bila kembali ke masa depan.

“Tentu saja karena pengetahuanku yang luas serta bantuan tangan ajaibku! Em, cepatlah berpamitan dengan temanmu! Aku akan menunggumu di sini.”

Zola menatap Arisabella, lantas memberi pelukan perpisahan. Tanpa bisa dicegah air matanya luruh. “Selamat tinggal, Arisabella.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro