Dream

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Lia LadyAmerta (Romance) - Alvaoir Alvaoir (Fantasi)

* * *

"Aku pasti sedang bermimpi!" Sagita, gadis berseragam putih-abu, menendang kerikil yang ditemuinya di jalan setapak. "Mana mungkin aku berpindah ke masa lalu, bukan?" Ia menggerutu, tak menghiraukan tatapan aneh dari warga yang berpapasan dengannya.

"Tapi ...." Sagita menghentikan langkah, kemudian mendongak, membiarkan cahaya mentari menyirami wajah kusutnya. "Jika ini mimpi, kenapa aku tak kunjung terbangun? Sudah tiga hari aku berjalan tak tentu arah dengan perut keroncongan. Jika begini terus, aku bisa mati kelaparan."

Sagita mengedarkan pandang, menatap satu-dua wanita—dengan pakaian aneh—berbincang. Mereka mengenakan gaun yang memperlihatkan korset yang dipotong di bawah payudara dan diakhiri dengan bentuk U tumpul di pinggang depan, berleher tinggi terbuka dengan kerah acak-acakan, berlengan lebar, dan terdapat sulaman emas pada beberapa bagian serta bawah rok yang diberi renda.

Menyiksa.

Satu kata yang dapat Sagita keluarkan bila diminta untuk mengenakan gaun tersebut. Lagi, ia menghela napas panjang. "Aku ada di mana? Lalu, aku berada di abad berapa?" Sagita tetap melontarkan tanya, meskipun tahu tidak akan mendapat jawaban apa pun.

"Aku ingin pulang, Tuhan. Aku berjanji tidak akan membantah perkataan ibu lagi jika bisa kembali." Sagita melanjutkan perjalanan dengan gontai. Kepalanya tertunduk lesu, menatap jalanan dengan pikiran bercabang.

Sekonyong-konyong, seorang pria awal dua puluhan muncul di hadapan Sagita, membuat gadis itu terkejut dan menabrak tubuhnya. Mereka berdua terjatuh dengan bokong yang mendarat terlebih dahulu. Si lelaki meringis seraya memegang punggung.

Sagita panik, terlebih ketika melihat alat musik yang dibawa pria itu terpental di tanah dan rusak. Kenapa pula pria itu harus muncul secara mendadak?

"Tolong maafkan saya, Tuan! Saya tidak sengaja." Sagita berujar panik. Ia berdiri, setelahnya menyodorkan tangan, hendak membantu. Lalu, tanpa disengaja matanya bersitatap dengan netra sebiru lautan si pemuda yang membuatnya terpesona selama beberapa saat.

Sagita terpaku selama beberapa detik, ia membatu. Seolah raganya membeku, pikirannya kosong seketika. Hingga suara yang cukup berat membangunkannya.

"Hei?" sang laki-laki menggapai uluran tangan Sagita lalu membersihkan baju dibagian belakangnya dari debu dan tanah kotor. Laki-laki itu bersimpuh dengan salah satu lutut, mengambil serpihan kayu yang pecah menjadi beberapa bagian.

"Anu, kau tak apa-apa, Tuan?" tanya Sagita memulai pembicaraan dengan canggung. Sang laki-laki tak menjawab, ia memberi wajah tak senang dan berbalik.

"Lain waktu, berhati-hatilah jika berjalan. Kau beruntung orang yang kau tabrak adalah aku, bukan bangsawan lain," tegur laki-laki itu sopan. Ia mengumpulkan seluruh kepingan dari benda yang bagi Sagita berbentuk seperti Biola tetapi memiliki corak yang aneh. Seingat Sagita, Biola terbuat dengan bahan kayu sejenis kayu cemara. Namun, yang ada ditangan sang laki-laki adalah biola yang terlihat dibuat dengan logam atau besi. "Siapa namamu?" lanjut laki-laki itu bertanya.

"Sagita," jawab Sagita segera. Alis sang laki-laki berkerut heran, mengamati Sagita dari ujung kaki hingga pucuk kepala. "Anda sendiri?"

"Andonios." Lelaki itu menghembuskan napas malas sebelum bersuara kembali, "Mendengar namamu, kau bukan dari kerajaan ini, bukan?" tebak Andonios yang membuat peluh Sagita membanjiri pelipis wajahnya. "Apa kau budak?" tanya Andonios setalah melihat-lihat pakaian yang dikenakan Sagita. Pakaian putih dengan lambang didada yang sudah kusam dan kotor, rok abu-abu yang tercabik diujung lutut serta pasang sepatu kumal.

"Aku ini malaikat, tahu!" Sagita berseru dengan niat bercanda. Hanya ingin menghidupkan suasana karena ia lapar, tetapi Andonios menganggapnya secara serius.

"Malaikat itu ... Sejenis seperti peri, ya?" tanya Andonios menerka-nerka. "Apa kau bisa memperbaiki biolaku seperti yang para peri Gnome lakukan?"

Belum sempat Andonios kembali bersuara, eksistensi gadis itu tiba-tiba saja menghilang dari pandangannya. "Sagita?" ia menoleh kesana kemari, mencari keberadaan sang gadis. Namun, layaknya debu yang menghilang kapan saja, gadis itu tak kunjung kembali.

"Aduh!" Sagita menjerit saat bokongnya menghantam lantai dengan cukup keras. Suara derit pintu mengalihkan atensinya, ia mendongak pada pintu bercat coklat itu.

"Sagita? Ibu sudah mencarimu sejak tadi, kau tidak akan makan malam?" Sagita kebingungan, ia menyadari dirinya sedang berada dikamarnya. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Andonios. "Kau darimana saja hingga bajumu sekotor itu?" tanya Ibunya khawatir.

"Hanya mimpi, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro