Fella dan Buku Milik Eshan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Diva Ariviani divarvni_ (Teenfiction) - Fielsya Fielsya (Romance)

* * *

Setelah mengantar pesanan kue ke kantin, Fella berjalan menuju kelas. Udara pagi ini sangat dingin. Semalam hujan turun begitu deras dan subuh tadi sempat gerimis meskipun hanya sebentar. Angin yang berembus cukup kencang membuat gadis berumur tujuh belas tahun itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Suasana sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa anak saja yang sudah berangkat.

Fella memang selalu datang lebih pagi dari pada teman-temannya. Jadi tidak heran jika mendapati kelas yang masih sepi dan lampu yang masih menyala. Bahkan pernah beberapa kali dia datang, tetapi pintu masih dikunci. Namun, kali ini baru saja melewati satu jendela kelas, langkahnya terhenti ketika mendengar suara kursi bergeser dari dalam kelas. Fella mengernyit. Siapa yang sudah berangkat mendahuluinya? Tumben sekali.

Lewat kaca jendela yang berada di bagian belakang pojok kelas, Fella mencoba mengintip. Kedua matanya menyipit ketika mendapati seorang perempuan berseragam sekolah tengah memasukkan sebuah benda—yang entah apa itu—ke dalam laci.

"Eh? Dia bukan penunggu kelas ini, kan?" gumamnya pelan. "Bukannya itu meja Eshan. Ngapain dia?"

Fella langsung menunduk saat perempuan itu menolehkan wajahnya ke seluruh penjuru ruangan. Seakan memastikan tidak ada orang yang melihat keberadaannya.

Merasa sesuatu hal tidak baik baru saja terjadi, Fella langsung pergi dari sana sambil menunduk dan bersembunyi di balik tembok. Dia sedikit mengintip untuk melihat siapa sebenarnya perempuan itu.

Meisha. Tidak salah lagi. Saat kelas sepuluh dulu, mereka pernah berada di satu kegiatan ekstrakurikuler yang sama, yaitu teater. Hanya saja sekarang keduanya sudah keluar dengan alasan yang berbeda.

Setelah kepergian Meisha, dengan rasa penasaran yang menggebu Fella sedikit berlari untuk masuk ke dalam kelas. Dia berjalan menuju meja milik Eshan dan mengecek apa yang Meisha letakkan di dalam laci tersebut.

Sebuah buku. Fella harus menutup mulut saking terkejutnya melihat buku tulis yang sangat sudah beralih tempat ke tangan kanannya. Itu adalah buku rangkuman pelajaran milik Eshan. Kabar buruknya, kondisi buku itu sama sekali tidak terselamatkan. Semua halaman bukunya sobek dan bahkan ada beberapa halaman yang hilang.

Kenapa Meisha melakukan hal sejahat ini? Apakah mereka berdua memiliki hubungan yang buruk?

"Ngapain kamu?"

Suara itu membuat jantung Meisha seakan merosot ke perut. Dia hapal sekali suara itu. Ya, siapa lagi jika bukan suara Eshan. Cowok yang namanya sudah lebih dari satu tahun tertulis di buku diarinya.

Eshan juga sering sekali disebut oleh teman-teman sekelasnya dengan sebutan 'si ambis'. Tidak heran dia mendapat julukan itu. Orang-orang selalu melihat dirinya dengan pandangan cowok yang gila belajar. Dan sejujurnya, sebagai pengagum rahasia Eshan, Fella mengakui hal itu.

"Itu bukannya—"

"Apa?" Fella langsung berbalik dan menyembunyikan buku itu di belakang punggungnya. Dia tersenyum canggung.

"Itu buku punyaku, ya?"

"Enggak. Ini punyaku, kok. Emm, aku lupa ada yang ketinggalan di kantin. Eh, hari ini kamu piket kelas, kan. Jangan lupa di sapu yang bersih, ya," ucap Fella tanpa melepaskan pandangannya dari Eshan dan berjalan mundur. Setelahnya perempuan itu langsung berlari ke luar kelas.

Bodohnya dia. Jadwal piket Eshan, kan, kemarin. Sama seperti dirinya.

* * *

Sesampainya di rumah, Fella mengecek buku rangkuman milik Eshan tersebut. Dia menghela napas dan sedikit kesal oleh tindakan Meisha. Padahal, buku ini sangat penting bagi Eshan.

"Apa aku tulis ulang aja, ya, buat dia?"

Ide yang bagus. Pasti hanya memakan waktu paling lama satu minggu.

"Satu minggu?" gumam Fella tak yakin. Dia memperhatikan jari-jemari tangannya sendiri.

"Oke, gak masalah. Ini demi mas crush."

Dengan senyuman manis yang tercetak di bibir, Fella mengambil pena sekaligus buku miliknya yang masih kosong dan mulai menulis.

Satu minggu berlalu, Fella pun berhasil menyelesaikan salinan catatan untuk Eshan. Keesokan harinya, seperti biasa Fella berangkat lebih pagi, tetapi tujuannya berbeda.

Dengan guratan garis bibir yang terangkat sempurna membentuk setengah lingkaran, Fella melangkah dengan pasti menuju kelas. Dia yakin kalau saat ini Eshan pasti sudah berada di sana.

Matanya menelisik ke arah samping, memperhatikan deretan antar kelas yang dipisah oleh sekat dinding dengan cat berwarna krem. Hingga saat dirinya sampai di depan kelas, langkah kakinya langsung berhenti kala seseorang yang sejak lama dia pikirkan, sedang duduk sambil membaca buku seorang diri di dalam sana.

Fella lantas memindahkan posisi tasnya ke depan. Membuka ritsleting tasnya dan mengeluarkan buku catatan yang sudah disiapkannya untuk Eshan.

Gadis itu menggenggam erat buku tersebut setelah membagul lagi tasnya ke punggung. Sempat beberapa kali dirinya menghela napas dengan kasar untuk menetralkan perasaannya yang tak menentu karena Eshan.

Setelah itu, Fella kembali melangkah sambil memperhatikan gerakan kakinya. Alhasil, dia pun menabrak seseorang karena kelalaian matanya.

“Sorry, sorry, nggak sengaja,” ucap Fella merasa bersalah. Sedetik kemudian, matanya membulat sempurna saat mendapati sepatu orang yang dia tabrak, sangat familier.

Pelan-pelan kepalanya terangkat, hingga keempat mata mereka saling bertemu di satu titik. “E-Eshan,” sapa Fella gugup.

Sungguh, hatinya tak menentu, debaran jantungnya pun kian terasa kencang. Genggamannya pada buku itu pun makin kuat.

“Ngapain kamu di situ?” Suara yang sedikit serak itu memecahkan imajinasi Fella yang saat itu tengah berkhayal kalau dirinya dan Eshan sedang berdansa di sebuah aula kerajaan di negeri dongeng.

“A-anu ... ini.” Fella menyerahkan buku itu kepada Eshan dengan kepala menunduk.

Eshan menerimanya dengan kedua tangan, setelah itu membuka buku tersebut, mencari tahu isinya.

“Buku catatan?” tanya Eshan memastikan.

Fella hanya mengangguk. “Untuk kamu. Aku tahu, kamu pasti butuh banget catatan ini.”

Eshan mengangkat bibirnya ke atas hingga membentuk bulan sabit dan menampakkan dua lesung pipi yang tercetak jelas dan simetris di masing-masing pipi.

“Makasih, ya,” ucap pemuda itu yang kemudian beranjak keluar dari kelas itu. Namun, langkahnya seketika terhenti, dan berbalik badan. “Oh ya, nanti malam aku jemput jam 7, ya. See you.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro