Hari Tersial

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Lia LadyAmerta (Romance) - Lailatul park___kana (Adventure)

* * *

"Mati dimakan singa aja sana! Jadi cowok nyebelin banget!"

Perkataan Hujan kemarin sore kembali berdengung di telinga Awan. Pun, wajahnya yang memerah dengan mata tajam terus muncul dalam benak. Well, bila dipikir-pikir, wajah kesal Hujan sangatlah imut.

Awan menggeleng, lantas membatin, "Imut apanya? Orang mirip sama Mak Lampir.” Ia acak rambut frustasi, lalu menghembuskan napas panjang. Tampaknya, benar-benar ada yang aneh dengan dirinya. Mengapa pula—dari kemarin—pikiran perihal Hujan tak kunjung hilang? Awan tak suka. Sungguh. Karena hal itu membuat kegiatan yang ia lakukan menjadi kacau.

Awan kembali melangkah. Matanya tak henti menatap koridor yang sepi. Hanya terlihat satu-dua siswa serta petugas kebersihan. Apa dia datang terlalu pagi? Awan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul setengah enam. Tidak terlalu pagi. Namun, mengapa para siswa belum berdatangan, ya?

Awan mengedik tak acuh. "Tunggu! Itu bukannya Hujan, ya?" Awan berhenti berjalan, lantas memundurkan langkah dan menatap jendela—memastikan penglihatan. Matanya menyipit, sedang satu tangannya di letakkan pada kaca. “Apa yang dia lakuin?”

Di balik jendela, terlihat seorang gadis dengan rambut panjang terurai berjalan menuju meja paling depan. Gadis itu membawa amplop merah muda dalam dekapan. Langkahnya terlihat ragu, sedang wajahnya tampak pucat.

Adegan selanjutnya membuat Awan tercengang; gadis itu meletakkan benda yang Awan yakini sebagai surat cinta di laci siswa paling ambis—Langit. Apa-apaan itu? Awan tidak akan membiarkan kegiatan yang dilakukan oleh Hujan berjalan mulus. Seperti yang biasa ia lakukan hari-hari lalu. Lihat saja apa yang bisa Awan lakukan hari ini.

Ia menarik satu sudut bibir setelah mendapat ide menarik, lantas berlari dan masuk ke dalam kelas. Ia tepuk pundak Hujan keras, membuat si empu terlonjak kaget. “L–lo ... ngapain di sini pagi-pagi?!” Hujan bertanya dengan mata membulat, lantas menyembunyikan amplop merah muda—yang sempat ditaruh dalam laci—di belakang tubuh.

“Gue? Bukannya lo sendiri yang nyuruh gue ke sini pagi-pagi?” Awan menjawab ketus. Tak lama, senyum konyol terbit di wajahnya. “Lo mau nyatain rasa cinta lo ke si anak ambis?”

Pertanyaan Awan membuat pipi Hujan merona. Ia salah tingkah. Pun, bingung untuk menjawab apa. “Engga—”

“Mending gak usah ngelakuin hal kayak gitu. Percaya sama gue ....” Awan menjeda ucapannya, lalu memegang pundak Hujan seraya menatap matanya dengan raut serius. “Lo gak bakal diterima.”

“T–tapi—”

“Karena cuman gue yang tulus cinta sama lo. Meskipun tubuh lo tepos kek triplek dan wajah lo yang terlalu biasa aja, gue tetep cinta lo, kok.” Awan berkata dengan nada menyebalkan dan diakhiri dengan senyuman lebar. “Jadi, mau nikah sama gue? Tenang aja, entar anak-anak kita bakal mewarisi ketampanan gue. Dijamin good looking.”

Hujan menendang kaki Awan keras, membuat si pemuda melepas cengkeraman pada pundak Hujan dan meringis kesakitan.

“Mati dimakan ikan paus aja sana! Gak sudi gue nikah sama cowok modelan kayak lo!” Hujan berteriak kesal. “Dan satu lagi, gue gak ada niatan buat nembak Langit, ya! Ini tuh cuma ....”

“Cuma apa?”

“Ini cuma, cuma surat biasa,” sahut hujan.

Setelah mengatakan hal tersebut, Hujan pergi dan berniat untuk bolos hari ini. Setelah sampai di pintu gerbang, ia berniat untuk pergi ke bukit belakang sekolah.

“Bolos aja kali, ya? Kesal sama malu juga kalau ketemu sama Awan. Hahhhh, kenapa juga harus ketahuan,” gumamnya dalam hati.

Setelah berhasil melarikan diri, Hujan mulai pergi berjalan menyusuri jalan setapak. Didepan pintu masuk, terdapat peringatan hati hati tanah longsor dan beberapa hewan buas. Hujan yang terlanjur kesal dan malu tidak mengindahkan peringatan yang ia temui, berjalan dengan tidak tau arah.

Karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri, hujan tidak sadar bahwa ia sudah ada di tengah bukit. Papan petunjuk jalan juga sudah tidak ada, dan sekarang perutnya sudah mulai lapar. Dia ingat bahwa tadi pagi ia melewatkan sarapan untuk bisa datang lebih awal, tentu saja sebelum Langit mengacaukan semuanya.

“Laparrr.”

“Di sini apa tidak ada buah-buahan yang bisa dimakan, ya?” gumamnya.

Setelah berjalan beberapa saat, tidak sengaja matanya melihat beberapa pohon Elderberry liar. Tanpa berpikir panjang hujan langsung melahap dan memakan buah itu. Saat buah elderberry masuk ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah, mulailah terasa rasa yang sangat asam.

“Asemmmm.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro