Mak Comblang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Lailatul park___kana (Adventure) - Lia LadyAmerta (Romance)

* * *

Pagi yang cerah, matahari matahari bersinar dengan terangnya. Sebelumnya perkenalkan nama saya Rajendra Pratomo bisa dipanggil Jeje atau Rajendra, sekarang saya duduk di kelas XI IPA1 SMA B yang berada di atas gunung. Akses untuk ke sana pertama-tama kita harus jalan kaki sekitar 2 km, lalu dilanjutkan menyeberangi sungai, dan bagian yang paling saya sukai yaitu berjalan di pinggir-pinggir jurang dan memanjat.

Kami berangkat ke sekolah secara berkelompok, saya dan dua teman lainnya, yaitu Ray dan Rain, didampingi oleh seorang guru yaitu pak botak.

"Hei, Bodoh! Perhatikan langkahmu, aku tidak akan menolongmu kalau kau terjatuh,” seru Rai memperingatkan Rain yang main-main.

"Iya, cerewet.”

"Sudahlah, kalian jangan ribut di sini, kita sudah hampir sampai di sekolah, ributnya dilanjutkan nanti disekolah saja,” ucap pak guru botak.

Setelah menempuh perjalanan hampir 1 ½ jam, akhirnya sampailah kami di pintu gerbang sekolah yang lebih mirip seperti penjara ketimbang sekolah.

"Sudahlah, aku duluan, ya, ke kelas,” ucapku kepada kedua temanku.

Saat hampir sampai kelas, tidak sengaja aku melihat seseorang yang sedang memasukkan sesuatu ke bawah laci si anak ambis.

"Hei, apa yang kau lakukan?” tanyaku seraya berjalan masuk, membuat si gadis berlesung pipi tersentak kaget. Dia Raina, satu-satunya siswa perempuan yang cukup dekat denganku belakangan ini.

“Ti–tidak ada,” jawabnya terbata. Aku semakin dibuat penasaran ketika melihat responnya yang seperti ini. Oh, apa mungkin ... Raina akan menyatakan sesuatu—kupikir perasaannya—pada si Anak Ambis?

“Apa yang kau sembunyikan di belakang tubuhmu, Raina? Aku yakin melihatmu menyimpan sesuatu, sebuah surat mungkin, di bawah meja Kevin. Jujur saja padaku.” Aku menyandarkan punggung pada meja Kevin, lantas bersiul menggoda.

Memang bukan menjadi hal yang aneh bila para gadis tergila-gila dengan Kevin. Pemuda itu tampan, meskipun masih jauh di bawahku. Bahkan, dengan kacamata bulat besarnya pun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Padahal, aku sungguh berharap dia terlihat cupu seperti para kutu buku.

Selain itu, Kevin memiliki otak encer yang kadang membuatku iri setengah mati. Ia juga  terlahir dari keluarga menengah ke atas. Maka tak heran bila banyak  gadis yang menginginkannya untuk dijadikan pacar. Yeah, seperti Raina contohnya.

“Jika kau jujur, aku akan membantumu. Sungguh.”

Bukan tanpa alasan aku mengatakan itu. Aku yakin Raina akan kesusahan untuk menarik perhatian Kevin. Pemuda itu terlalu beku untuk seukuran anak SMA. Perlu usaha yang besar untuk membuatnya benar-benar melirik seseorang.

Mungkin, dengan bantuanku akan mempermudah jalan Raina. Sedikit informasi, aku cukup dekat dengannya. Jadi, aku tahu beberapa hal tentangnya dan kupikir, ini akan sangat membantu.

“Jadi, ayo jujur dan katakan yang sebenarnya!”

Kulihat wajah Raina memerah. Dia terdiam sejenak sebelum mengangguk ragu. Setelahnya, Raina menceritakan apa-apa yang dia rasa pula alasan mencintai si Anak Ambis. Aku bilang padanya akan membantu Raina sampai jadian dengan Kevin yang disambut anggukan riang. Aku tidak tau atas alasan apa, tapi perasaanku mengatakan bila pertemanan kami—aku dan Raina—semakin erat sejak saat itu.

Suatu pagi, aku meminta Raina untuk datang ke sekolah seraya membawa novel terkenal karya J.K Rowling. Raina menurut. Kebetulan juga anak itu penggemar Harry Potter. Jadi tidak perlu bersusah payah untuk mengeluarkan uang guna membeli novel tersebut.

Dan sesuai dugaanku, Kevin sedikitnya menaruh atensi pada Raina ketika melihat gadis itu membicarakan perihal Harry Potter padaku.

Pernah juga aku meminta Raina untuk pergi ke perpustakaan. Kubilang; aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya. Aku yakin bila rencana kali ini akan semakin mendekatkan keduanya.

Lagi-lagi Raina menurut. Dia datang ke perpustakaan. Lalu, sesuatu yang aku harapkan terjadi; lampu dalam perpustakaan mati. Sedangkan di luar hujan turun lebat diiringi kilatan petir. Mereka berdua terjebak dalam perpustakaan. Aku yang mengunci pintu dari luar. Sengaja, biar mereka bisa mengenal lebih dalam.

Kupikir, mereka juga akan semakin dekat. Apalagi, Kevin memiliki ketakutan berlebih pada petir. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Mungkin, Kevin akan memeluk Raina dengan erat. Lalu, pemuda itu akan menganggap Raina sebagai penyelamat. Setelahnya, mereka akan semakin dekat. Huft, membayangkan itu terjadi membuatku sedikit tidak nyaman, tapi aku juga senang bila tujuan awalku untuk mendekatkan mereka berhasil.

Keesokan harinya, aku menanti cerita Raina. Aku penasaran mengenai apa yang mereka lalui. Sayangnya, Raina bolos sekolah. Katanya, sih, sakit. Jadi, aku harus menahan rasa penasaran ini sampai Raina sekolah.

Dan hari ini, aku benar-benar dibuat terkejut. Jantungku jadi berdetak tidak normal saking terkejutnya. Bagaimana bisa Raina menyatakan perasaannya padaku? Bagaimana mungkin? Apa aku masih bermimpi? Iya! Aku pasti masih berada di alam mimpi.

Kucubit lenganku keras. “Aw,” ringisku. Berarti ini bukan mimpi ..., tapi bagaimana bisa?

“Selama ini aku salah mengartikan perasaanku. Aku hanya kagum pada Kevin. Lagi pula, saat berinteraksi dengannya, aku tidak merasakan apa-apa. Berbeda saat bersamamu, jantungku berdetak lebih kencang. Jadi ..., kau mau menerimaku?” aku Raina. Kulihat wajahnya sudah merah padam kini. Aku tau tidaklah mudah untuk menyatakan cinta. Keberanian Raina patut diapresiasi.

“Aku tidak bisa menolak.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro