Pagi Hari Yang Tak Biasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Pine Macaroncrunch (Historical) - Galatumn Wilis Galatumn (Action)

* * *

Sudah satu bulan aku terjebak di tubuh seorang putri bangsawan bergelar Duke. Namanya Amore Freiya. Awalnya, kukira aku akan masuk surga setelah meregang nyawa di sebuah wilayah yang terkena tsunami. Aku memang datang dari Jakarta sebagai relawan ke wilayah di Indonesia yang tertimpa bencana alam minggu lalu.
Saat sedang memberikan pertolongan pertama di sebuah tenda yang sudah di sediakan pihak PMI, aku malah terkena serangan jantung lalu mati.

Setelah dilanda kecemasan dan panik yang berlebih, diriku mulai terbiasa untuk menjalani kehidupan baru sebagai putri Duke. Gaun-gaun berenda yang jadul, dekorasi istana ala Inggris di tahun 1913, hingga makanan mewah yang tidak pernah kutemui, seakan memenuhi indra penglihatanku sekarang.

Pagi ini, seperti biasa aku bangun saat seorang pelayan mengetuk pintu kamarku. Setelah membersihkan diri dan menghabiskan sepiring sarapan bersama anggota keluarga lainnya, aku duduk di halaman istana, ditemani secangkir teh dan kue-kue lezat.

Di halaman depan istana yang luas, memang terdapat paviliun yang luas. Di sana tersedia sebuah meja bundar dengan beberapa kursi berbantal yang empuk.

Sejak menjadi bangsawan, kegiatan ini secara rutin kulakukan setiap pagi. Sebelum memulai jadwal yang pastinya padat, aku memutuskan untuk membuat tubuh dan pikiranku rileks.

Semuanya berlangsung biasa saja. Normal layaknya pagi di hari-hari sebelumnya. Hingga sesuatu melaju dengan sangat kencang di depanku, lalu menabrak tembok pembatas halaman dengan wilayah luar istana ini.

"Apa itu, Dyane?" tanyaku pada pelayan pribadi yang berdiri di belakang.

"Jangan bergerak, tuan putri. Biarkan ksatria yang memeriksanya." Dyane menjawab, segera menghentikanku yang amat penasaran dengan benda apa yang melesat tadi.

Seorang pria berpakaian seragam khas prajurit, menghampiriku sambil membawa sesuatu yang cukup janggal.

"Apa yang kau bawa?" tanyaku

"Entah apa namanya ini, yang mulia. Bentuknya ... Aneh."

Dia benar-benar tidak bercanda. Nyatanya, ksatria keluargaku memang tengah membawa sebuah benda. Aku tahu apa itu. Sapu, begitulah orang-orang menyebutnya. Hanya saja, mungkin bentuknya aneh di zaman ini sehingga tidak ada yang tahu.

-+-

“ Apa ada seseorang yang kamu temui bersama benda ini?” tanyaku dengan nada tenang, sedikit menoleh dan tersenyum pada ksatria itu—Ia tampak kaget.

Merupakan hal yang jarang seorang Amore Freiya terlihat tersenyum. Dari yang aku dengar, ia mulai jarang tersenyum semenjak kematian sang Ibu dan harus menghadapi ibu tirinya setahun kemudian.

Jadi, wajar saja ksatria itu kaget dengan seranganku tiba-tiba. Aku ingat sekali Dyane juga seperti itu awalnya, namun setelah beberapa kali, akhirnya ia terbiasa dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.

“Maafkan saya, tuan putri. Hanya benda ini yang saya temukan berada di atas tanah,” ujar kesatria itu pada akhirnya. “Apa perlu saya cari tahu?”

Aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng. Tidak bagus rasanya jika aku harus memaksanya mencari tahu sesuatu yang belum diketahui pada saat ini.

Toh, aku tahu benda itu, kan?

Jadi, karena tidak ingin menimbulkan masalah yang tidak perlu, aku meminta sapu tersebut disimpan di penyimpanan dekat dapur dan melanjutkan sisa hari dengan kegiatan bangsawanku.

Semua itu berubah beberapa hari setelah ditemukan sapu itu. Malam ini, aku bermimpi sedang berada di bawah tenda PMI itu. Tepat beberapa menit sebelum aku terkena serangan jantung.

Rasanya sangat aneh karena tubuhku melakukan persis yang aku lakukan sebelumnya. Namun kali ini mataku menatap seseorang yang sebelumnya tidak ada di sana.

Seorang nenek-nenek yang sedang duduk tidak jauh dariku yang sedang menatapku iba.

Harusnya kamu yang mengambil sapuku, cuk!

Begitulah ucapannya jika kulihat dari gerak bibirnya. Belum sempat kumencerna perkataan itu, seperti sebelumnya, aku merasakan perasaan amat nyeri di dadaku dan semua menjadi gelap.

Saat terbangun kembali, Dyane sedang berada di atasku—sepertinya berusaha membangunkanku dengan gerakan tergesa-gesa. Dapat kulihat wajahnya begitu merah dengan tangannya yang memegang pedang berlumuran darah.

Aku kaget melihatnya dan segera terduduk. “Kenapa, Dyane! Ada apa ini?” tanyaku yang menyadari bahwa di sekitarku berada sudah dihiasi warna merah. “Apa hari sudah pagi?”

Dyane menggeleng. Ia terus saja menarik tubuhku untuk mendekati dinding sebelah meja riasku—yang kutahu itu adalah jalan rahasia. “Tuan putri, ada serangan dari kerajaan sebelah. Mereka menyerang para bangsawan dari negeri kita malam ini! Mereka sedang mencari seorang putri yang katanya datang dari masa dep—”

Perkataan Dyane terputus saat sebuah pedang menembus perutnya dari belakang. Aku yang tidak siap melihat itu berteriak histeris dan berusaha menolongnya. Namun sia-sia karena penyerang itu langsung menangkap lengan tanganku yang memberontak.

Air mataku mulai mengalir karena merasa tidak berdaya dengan genggaman kuat penyerang itu. Mungkin juga menangis saat melihat Dyane yang ambruk dan kesakitan itu—orang yang begitu dekat denganku dan sering kujahili itu.

Tenagaku sudah habis saat penyerang itu terus menarikku kembali ke dalam kamarku. Aku hampir saya menyerah jika saja ksatria yang kemarin membantu memungut sapu itu menebas tanpa ampun si penyerang yang berada di depanku.

Saking kuatnya tebasan itu, cipratan darahnya mengenai wajah dan gaun tidurku.

“Tuan putri!” ucap ksatria itu khawatir dan memeriksa keadaanku. “Anda tidak terluka, kan?”

Aku menggeleng-geleng, “Dyane yang terluka.”

Ksatria itu mengangguk dan melihat pintu jalan rahasiaku terbuka, di sana ia juga menemukan tubuh Dyane yang masih tergeliat kesakitan. “Sebaiknya kita segera pergi dari jalan rahasia itu, tuan putri. Ksatria lain tadi sudah memastikan area belakang bersih dari para penyerang.”

“Jangan tinggalkan Dyane, “ kataku serius dan segera dibalas anggukan olehnya.

Dengan cepat aku dan ksatria itu beranjak ke jalan rahasia tadi. Menutup pintunya dan aku membantu Dyane yang kesakitan untuk berjalan.

Ksatria itu terus waspada berjalan di depan kami. Sesekali ia memeriksa keadaan kami sambil tersenyum menguatkan.

“Bagaimana tadi kamu ke tempatku, ksatria?” tanyaku pelan, melihat kobaran api yang besar tadi pastinya penyerang yang menyerang kami berjumlah banyak, kan?

“Sebenarnya saja juga tidak mengerti, tuan putri,” jawabnya setelah ada jeda diam. “Tapi setiap saya tebaskan pedang ini, semua yang menghalangi saya akan dengan sangat mudah saya habisi.”

Mendengar jawabannya itu entah mengapa membuatku merinding. Pikiranku segera mengingat nenek-nenek yang ada di mimpiku itu. Aku baru ingat, temanku yang sangat menyukai cerita penyihir, kala itu memberiku salah satu informasi mengenai sapu.

Jika kamu menemukan sapu tergeletak di tanah atau lantai, ambillah untuk keberuntungan.

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro