Who is That?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Fantasia Austeen_kaulia (HTM) - Alvaoir Alvaoir (Fantasi)

* * *

Pagi ini, Lexi terpaksa datang lebih awal karena harus mengerjakan tugas presentasi. Gadis itu memeluk tubuhnya erat, menyesal karena tidak mengenakan hoodie seperti biasa. Lagi pula, Lexi juga tidak tahu kalau sekolahnya akan sedingin ini di pagi hari.

Koridor lantai satu masih sepi, mungkin karena hari masih pagi. Tadinya, gadis itu akan pergi ke kantin untuk membeli sekaleng kopi dingin dan roti untuk mengganjal perut. Namun, keinginan itu urung saat dia mengingat tugas presentasi yang masih belum rampung. Lantas, tanpa membuang waktu itu, Lexi pun bergegas untuk menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.

Saat Lexi hampir masuk ke dalam kelas, langkahnya terhenti saat melihat seseorang di dalam kelas. Gadis itu memilih untuk berhenti melangkah, mengamati seseorang yang sibuk meletakkan sesuatu di bawah laci paling depan dari jendela kelas.

Tidak lama kemudian, sosok itu berlari keluar kelas dengan terburu-buru. Beruntungnya, dia berbelok ke kanan, sehingga tidak perlu berpapasan dengan Lexi yang sejak tadi mengawasinya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu melangkah masuk ke dalam kelasnya. Matanya memperhatikan sekeliling kelasnya, memastikan bahwa tidak ada yang mencurigakan. Lalu, tatapan Lexi berhenti tepat di meja paling depan—yang bersentuhan langsung dengan meja guru. Sepertinya, seseorang tadi meletakkan sesuatu di bawah laci meja itu. Entah untuk alasan apa.

"Itu mejanya Liam, 'kan?"

"Ada apa dengan mejaku?"

Lexi refleks berbalik saat ada suara yang menyahutinya. Gadis itu terkejut saat melihat seorang pemuda tinggi yang menatapnya dingin.

"Liam?" tanya Lexi memastikan. "Sejak kapan kamu ada di sini?" 

Pemuda itu—Liam—menatap Lexi dengan datar. "Belum lama. Tadi, kamu bilang apa soal mejaku?"

"Ah, itu ... tidak ada apa-apa, kok," kata Lexi sambil tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong, Liam baru sampai, 'kan? Apa tadi bertemu dengan seseorang di tangga?"

"Seseorang?" Lexi mengangguk cepat. "Tidak ada. Kupikir hanya kita berdua yang berada di lantai ini."

Lexi tidak lagi menjawab. Pikirnya, dia benar-benar melihat ada orang lain di kelas ini. Walau tidak terlihat dengan jelas, Lexi yakin ada seseorang yang sempat masuk ke kelas ini sebelum mereka.

Tiba-tiba saja, Lexi menatap Liam yang kebetulan juga menatapnya. Gadis itu kembali berpikir, bahwa tidak mungkin jika Liam memiliki musuh di luar sana. Dia itu anak ambis, tipe-tipe orang yang akan menghabiskan sisa waktunya hanya untuk belajar. Yah, Lexi memang tidak tahu dan tidak peduli juga, sih. Namun, mendadak gadis itu menjadi penasaran dengan isi laci Liam.

"Ada yang ingin kamu katakan?"

Lexi menggigit bibirnya. Sebenarnya, dia ingin mengatakan jika ada seseorang yang meletakkan sesuatu di laci meja Liam. Namun, gadis itu terlalu bingung untuk menyampaikannya.

"Istirahat nanti, mau makan siang denganku tidak?"

Sesaat setelah Lexi merampungkan kalimatnya, dia memejamkan mata karena malu. Liam, si ambisius mana mungkin mau mengiyakan ajakan basa-basi seperti itu. Lagi pula, pemuda itu pasti akan lebih memilih buku-bukunya daripada apa pun.

"Boleh. Mau makan di mana?"

"Eh?" Lexi terkejut. Namun sebisa mungkin, dia menetralkan ekspresinya. "Di mana, ya? Aku juga tidak tahu."

"Mau di taman belakang sekolah? Sepertinya di sana tidak terlalu banyak orang."

Lexi menatap Liam yang sedang memperhatikan kelas. Kelihatannya, pemuda itu juga sedang mencari sesuatu.

"Hm, boleh."

Liam hanya mengangguk singkat, kemudian melangkah menuju mejanya. Sementara itu, Lexi hanya diam sambil memperhatikan pemuda itu. Tak lama kemudian, teman-teman mereka yang lain pun mulai berdatangan.

Lexi melirik sekilas pada Liam disela mereka berjalan menuju taman belakang sekolah. Lexi memandang Liam lekat, menelisik dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Liam hanya tampak bagai murid sekolah pada umumnya, dengan celana abu-abu dan kemeja putih klasik khas Indonesia. Ia terkadang memakai jaket atau hoodie lalu menutupi kepalanya dengan topi sekolah.

Namun, hari ini penampilan Liam cukup berbeda dari yang biasanya. Kerah bajunya sedikit terbuka, dengan bercak kemerahan di kerah dan lengan baju. Kuku anak itu juga terlihat lebih panjang dari yang manusia normal punya.

Suara langkah kaki di belakangnya berhenti, tak ada bunyi tapak kaki yang saling bersahutan lagi. Lexi memutar badannya untuk menoleh kebelakang, menemukan Liam yang sedang menatapnya dari belakang dengan senyum miring yang sangat tipis. Begitu tipis hingga jika tak Lexi perhatikan dengan baik, ia tak akan melihatnya.

Liam memejamkan matanya sebentar sembari menaruh kedua tangan disaku celana lalu bertanya singkat, "Ada apa?" Lexi hanya memberi ekspresi tak mengerti, kibasan angin menerbangkan helaian rambutnya untuk menari bersama hembusan alur angin.

"Ada apa?" Lexi mengulang ucapan Liam, masih dengan raut tak mengerti. "Maksudmu?" Lexi tak paham, Liam masih setia menatapnya seolah menunggu penjelasan.

"Berhenti berpura-pura, aku tahu ada yang ingin kau katakan padaku." Lexi kesulitan meneguk ludahnya sendiri, peluh mulai menggenang didahi dan pelipisnya dan keringat dingin timbul dipunggungnya. "Benar, bukan?" tanya Liam memastikan.

Setelah beberapa detik berlalu, Lexi memberanikan diri untuk bersuara. "Ada ... Seseorang yang menaruh sesuatu dilaci mejamu."

Raut kecewa terukir diwajah Liam. "Apaan, aku pikir hal yang penting." Liam lalu memutar arah dan melangkah kembali menuju arah yang berlawanan dari taman belakang sekolah. Namun, langkahnya kembali berhenti. Ia memutar kepala menoleh pada Lexi yang memandangnya dengan ekspresi takut.

"Apa kau, melihat benda didalam laciku selain yang ditaruh orang asing itu?"

Bulu kuduk Lexi semakin meremang, mengingat benda yang ia temukan dilaci milik Liam. Sebuah benda lunak yang penuh dengan cairan kental berwarna merah itu menghantui pikirannya. Melihat raut takut itu, senyum miring terbit diwajah Liam. Ia menikmati bagaimana Lexi begitu ketakutan untuk bersuara.

Namun, raut wajah yang awalnya ketakutan itu berubah dengan drastis. Menjadi tatapan yang percaya diri dan seolah telah menangkap pelaku. "Kau itu," ia memotong ucapannya, menahan Liam dengan rasa penasarannya.

"Vampir, bukan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro