Witch Next Door

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Icha iluvplumtea (Romance) - Meyrum Rum97_ (HTM)

* * *

Alex terbangun ketika musik meledak di telinganya. Sambil menggerutu ia meraih ponsel dan mematikan alarm paginya. Terduduk, disorientasi, remaja enam belas tahun itu menggaruk-garuk kepalanya.

Meski hari Minggu, Alex sengaja menyalakan alarm agar ia bisa lari pagi. Membuat tubuhnya lebih bugar sambil menikmati pemandangan.

Alex menoleh, langit masih gelap. Baru ia menyadari bahwa jendelanya terbuka. Keningnya berkerut. Biasanya ia menutupnya. Apa semalam ia lupa?

Menyingkirkan selimut, Alex turun dari tempat tidurnya. Menghampiri jendela yang terbuka-sambil menggaruk perut ratanya. Semakin dekat, ia mendengar suara orang menyapu.

Siapa yang sudah bangun di rumah ini kemudian menyapu? Apa ibunya? Atau jangan-jangan ....

Mata Alex melebar, tangannya mengcengkeram kusen jendela; menyaksikan pemandangan yang ada di hadapannya. Sebuah sapu sedang menari-nari di halaman rumahnya. Hampir saja ia berteriak.

Melompati jendela, Alex berlari mendekati pagar yang membatasi rumahnya dengan tetangga sebelah. Mengabaikan sepenuhnya sapu yang sedang menari-nari.

"Anelle!" Alex meneriakkan nama tetangganya yang juga teman sekelasnya di akademi.

Jendela di lantai dua rumah sebelah terbuka. Sebuah kepala muncul. Gadis berambut panjang dan bermata kucing.

"Merindukanku?" goda gadis itu.

Alex menunjuk sapu. "Singkirkan itu dari halaman rumahku."

Anelle memutar kedua bola matanya. "Itu hanya sapu. Tidak perlu panik." Gadis itu sudah berada di atas genting.

Alex berkacak pinggang, menengadah. "Jangan meninggalkan barang di halaman rumah orang. Menganggu saja."

"Kurasa suaramu yang akan lebih mengganggu." Anelle membuat gerakan membersihkan telinganya. Tidak ada niat untuk mengambil sapunya, manual ataupun dengan sihir.

Ya, sihir. Tetangga Alex adalah seorang penyihir. Sapu yang sedang menari-nari di halaman rumahnya adalah sapu terbang.

"Singkirkan itu atau aku akan mematahkannya."

Anelle mencibir. "Uh, aku takut." Namun tak urung ia menjentikkan jarinya. Seketika sapu yang sedang menari terbang mendekatinya dengan posisi siap dinaiki.

Anelle duduk dengan anggun, posisi menyamping dan meluncur turun. Melayang di sebelah Alex.

"Kau mau joging bukan? Kutemani."

Alex memicingkan matanya. "Tidak perlu."

"Tidak perlu malu-malu."

"Aku sama sekali-"

Dengan jentikan jarinya Anelle sudah mengganti pakaian mereka dengan pakaian olah raga.

"Sama-sama," ujar gadis itu ketika Alex tak kunjung mengucapkan terima kasih.

Alex mengembuskan napas kesal. Setelah enam bulan tinggal di lingkungan itu, ia sudah tidak kaget dengan kelakuan Anelle ataupun tetangganya yang lain. Meski harus ia akui, ketika pertama kali menempati rumah peninggalan neneknya itu, ia hampir kena serangan jantung.

"Ayo cepat lari, Pemalas."

Alex membawa kakinya ke jalan utama. Berlari pelan ke arah utara. Langit mulai berwarna ungu. Udara yang dingin menerpa wajahnya. Aroma daun di musim gugur menyapa hidungnya.

Alex melirik ke arah Anelle yang meluncur dengan sapu di sebelahnya. "Gunakan kakimu."

"Apa kau sedang bicara kepadaku?"

"Naik sapu tidak sama dengan berjoging."

Anelle memainkan jemarinya; kukunya dicat dengan kuteks hitam. "Aku tidak bilang aku ingin joging. Siapa tahu kau akan pingsan lagi setelah bertemu Mr. Tayler."

Alex tersenyum masam. Tentu saja, siapa yang tidak akan pingsan bertemu dengan werewolf? Bahkan jika itu adalah werewolf baik hati yang menghuni rumah di ujung jalan.

"Jadi Kakak akan melindungimu."

"Siapa yang kau panggil Kakak?" Jika melihat dari wajah, Anelle mirip remaja pada umumnya. "Apa kau benar-benar enam belas tahun?"

"Jangan mengungkit topik soal usia seorang perempuan. Tidak sopan."

Alex tidak membahas lebih lanjut.

Anelle mendesah. "Matahari terbit. Indah bukan? Hei, akhir pekan depan akan ada festival menyambut musim dingin di kota sebelah. Mau ke sana?"

"Apa kau akan mengubahku jadi kelinci jika aku menolak?"

"Mungkin. Katak lebih bagus."

Alex mendengkus. "Baiklah aku akan pergi denganmu. Bisakah kau tidak meninggalkan sapumu lagi di halaman rumahku?"

"Soal itu kita lihat saja nanti. Kau perlu alasan untuk memanggilku, 'kan? Aku duluan." Anelle mengedipkan matanya sebelum akhirnya memutar balik sapunya. teleportasi kembali ke kamarnya.

"Huft! Anelle benar-benar menyebalkan," gerutu Alex begitu berada di kamarnya.

Segera Alex mandi, kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi di dalam. Tidak besar tetapi cukup untuk remaja sepertinya.

Setelah mandi dia segera keluar. Perutnya sedang meminta untuk diisi, sejak tadi malam Alex tidak memasukkan satu makanan pun ke dalam mulutnya.

Kenapa sepi sekali hari ini, Kemana papa dan mama juga kak Wilhem? batin Alex

"Halo! Selamat pagi semuanya. Ma, pa, kak! Kalian ada di mana." teriak Alex nyaring.

Kruukk!

Bunyi perut Alex terdengar nyaring.

"Uhh! Sepertinya aku harus makan dulu, setelah itu baru mencari tau kemana semuanya orang pergi," ucap Alex sambil melangkahkan kakinya ke ruang makan.

****

Dalam sebuah ruangan, sepuluh orang sedang duduk dalam diam dengan pikirannya masing-masing. Jika Alex ada di sana dia akan mengenal beberapa orang, empat diantaranya adalah orang terdekatnya.

"Lima bulan dari sekarang bulan purnama merah akan segera tiba, dan itu tepat pada hari ulang tahun Alex yang ke tujuh belas," tutur seorang wanita cantik yang tak lain adalah ibunya Alex.

Mendengarkan ucapan Miranda, semua yang ada di ruangan itu saling memandang. Hanya melalui tatapan mereka saling mengerti satu sama lain.

"Kita semua tahu siapa Alex sebenarnya," lanjut Miranda.

"Ma, apa sebaiknya kita memberitahu hal ini pada Alex," kata Wilhelm sedikit cemas.

"Tidak. Untuk saat ini Alex tidak boleh mengetahui rahasia tentang dirinya." orang yang berbicara adalah Anelle sahabat Alex. Jangan tertipu dengan penampilannya yang sepertinya anak remaja belasan tahun, sejatinya tidak ada yang tahu pasti berapa umurnya.

"Tapi."

"Tidak ada tapi! Apakah kau ingin gadis kecil itu berada dalam bahaya?" Sarkas Anelle lagi.

Wilhelm hanya menundukkan kepalanya, tidak menjawab. Dia tahu bukan saatnya untuk egois, hanya saja hatinya terus khawatir akan saudara perempuannya.

"Alex lahir pada tahun lunar tepat pada peristiwa Moonred blody. Saat itu adalah waktu perang antara dewa dan setan terjadi."

"Kehidupan dan kematian saling berkaitan begitu pun dengan kelahiran. Di satu sisi kelahiran Alex ditakdirkan untuk menjadi penyelamat dunia, dan di sisi yang berlawanan kelahirannya ke dunia ini berkaitan erat dengan Lucifer dewa segala dewa Setan diseluruh muka bumi," tutur seorang pria tua berambut perak dengan nada yang berat.

Bukan tanpa alasan. Hari ini mereka berkumpul di sini adalah membahas kedatangan Lucifer suatu saat nanti.

Lucifer adalah legenda menakutkan sepanjang sejarah kehidupan manusia dari berbagai ras yang ada di muka bumi.

****

"Aku sangat kenyang," ucap Alex mengusap perutnya.

Setelah membereskan peralatan makannya segera berkeliling menjelajahi seluruh penjuru rumah mencari orang-orang.

"Kemana mereka pergi? Aneh! Tidak biasanya mereka tidak memberitahuku," Alex berbicara pada dirinya sendiri.

Prang!

Alex tak sengaja menyenggol vas bunga hingga menyebabkannya pecah berkeping-keping.

"Aaww!" ucap Alex pelan saat tangan terluka ketika hendak membersihkan pecahan beling.

Di dalam sebuah istana seorang pria tampan yang sedang tertidur membuka matanya. Pupil ungu dengan tepi perak mengerjap, dia merasakan sakit yang tumpul di ujung jari telunjuknya.

Senyum indah terkembang di bibirnya.

"Kurasa aku tidak perlu menunggu sampai bulan purnama merah," ucap pria itu dengan suara magnetik disertai kekejaman yang terlihat di matanya.

"Wahai dunia, tunggu kedatanganku. Aku, Lucifer."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro