Bab XXIII - Women's Spontaneous

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

She's wild and recklass in the best way possible.

Dari bangku nomor dua di belakang, aku menatap mereka berdua. Duduk kaku paling depan dengan pandangan terlempar ke depan lapangan. Beberapa barisan bangku telah terisi penuh. Sorak-sorai dari penonton terdengar gegap gempita. Suara nyanyian dialunkan, teriakan untuk pendukung mereka juga ikut berbaur, dan suara musik pemukul terdengar semakin terasa gempitanya di dalam lapangan GBK ini.

Namun, karena hal itu membuatku harus dengan fokus menajamkan pendengar dan pandanganku. Apalagi jarak di antara kami ini lumayan bisa kuanggap cukup jauh.

Suara gemuruh dari pengisi suara terdengar. Sepertinya pertandingan akan dimulai. Dari baris barat, aku memang bisa dengan mudah melihat lapangan dari arah manapun. Pemain saat ini tengah berbaris, berkumpul melingkar satu sama lain. Menyanyikan salah satu lagu Indonesia.

Pemandangan yang menurutku cukup mengasyikan. Seakan ini memang baru-baru kuketahui selama hidupku. Kami, termasuk penonton, semuanya berdiri, menyanyikan lagu kebangsaan kami.

Sampai detik berikutnya, aku merasakan getaran di ponselku. Dalam posisi berdiri dan masih menyenandungkan lagu Indonesia Raya, aku menerima panggilan itu dengan salah satu tangan menyumpal tekinga kiriku.

"Echa, loe mau tahu nggak kenapa gue ngasihin loe tiket bola, daripada tiket yang lainnya?" Suara ini kemudian muncul, terdengar kurang jelas, karena berbaur dengan teriakan penonton.

"Nggak denger." jawabku keras dan berganti kemudian suara penonton kembali hening. Aku menatap ke sekitar, ternyata mereka telah duduk di tempat masing-masing.

"Loe tahu kenapa gue kasih tiket itu ke loe?" Reza kembali bersuara.

Aku mengedikkan bahu dan duduk kembali, tanpa sekalipun melepas tatapanku kepada dua orang itu.

Seakan Reza menjadi seorang cenayang, atau mungkin dia tidak sama sekali menuntut jawabanku, dia menjawab dengan sendiri. "Karena tiket yang gue kasih itu punya bahasa Universal dalam menghadapi masalah."

Aku menatap tiket yang mengalung di pergelangan tanganku. Apanya yang Universal?

Dia tertawa di dalam ponselku. "Bukan tiket yang gue kasih, Echa. Bahasa gue tadi itu implisit. Nggak paham, ya?"

Yang lebih nggak paham, loe kenapa bisa jadi Cenayang?

"Loe ganti profesi jadi cenayang, Za?" Aku bertanya langsung.

Dia malah semakin tergelak. Menarik kedua bola mataku berputar jengah.

"Oke. Oke." Dia menyudahi tawanya, tetapi masih terdengar tawa kecil yang disertai batuk kecil. Dia terdengar mengatur nafas, memilih mendiamkan suasana.

Setelah diam yang cukup lama dari dalam ponselku, Reza kembali menyahut, "Pertandingan sudah mulai, Cha?"

Aku mengangguk dan menjawab, "Sudah, barusan. Kenapa?"

"Mereka sedang apa?" Reza balik bertanya, tidak memedulikan keingintahuanku.

"Diem-dieman. Kenapa sih?" sungutku mulai kesal.

"Satu pendukung, Cha?"

Aku mengatur nafas, menetralkan emosi karena Reza sejak tadi bertanya, tanpa menjawab rasa penasaranku.

"Pendukung apa?" tanyaku kemudian, mengikuti permainannya.

"Mereka dukung Persija atau Arema, Cha?"

"Gue aja nggak tahu Persija mana, Arema mana." keluhku kesal, masih menatap ke depan, mengawasi mereka berdua.

"Tempat yang loe duduki sekarang ini pendukungnya Persija." jawab Reza. "Sekarang, lihat mereka berdua. Bersorak sama atau berlainan selisih?"

Aku mengerutkan keningku. Suara gegap gempita kembali terdengar, salah satu pendukung mereka nampak berhasil menjebolkan gawang. Dua orang di depan telah berdiri dengan tangan terangkat ke atas.

Reza bersuara, "Persija menang, Cha. 1-0. Lihat mereka."

Sejak tadi aku menatap mereka. Sejak tadi punggung mereka terdiam tanpa kata. Milyaran kata di Indonesia bahkan tidak mereka gunakan sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, saat salah satu pemain menjebolkan gawang, satu kata itu berubah dengan teriakan kebahagian yang begitu puas dari mereka berdua.

"Bahasa Universal itu bukan English. Sepak Bola adalah bahasa yang paling universal. Dan sepak bola itu permainan yang masuk akal, masuk di akal buat orang yang dibutakan dengan emosi."

I've learned that soccer is truly universal. No matter where I go, that's what kids are playing. That's what people are talking about. (BILL GATES)

Aku bergeming diam. Dua sudut bibirku tiba-tiba terangkat ke atas melihat senyuman Agaz yang menyembulkan lesung pipi yang begitu dalam.

"So? Berhasil, bukan?" Reza kembali bersuara. "Gue tutup, ya? Good luck, sweatheart."

Kali ini, aku mengalihkan tatapanku dari dua orang itu. Beralih menatap ponsel yang hanya meninggalkan nama Afrezal di layar.

Layar ponselku tiba-tiba bergetar lagi. Bukan Afrezal, tetapi sosok nama pria yang tadi kulihat tengah tersenyum bahagia.

Agaza Putra dengan profile photo di samping namanya ada di dalam ponselku.

Tatapanku beralih ke depan. Pria itu memang tengah meneleponku. Punggungnya nampak berulang kali bergerak ke atas dan bawah. Wajahnya terlihat begitu gusar ketika melihat layar ponselnya yang sama sekali tidak kutanggapi.

Getaran ponselku kembali bersuara. Bahkan, kembali terdengar suara sorak gembira dari kemenangan kubu kami. Teriakan itu begitu gamang dan memekik nyaring di kedua telingaku. Mereka berdiri dari bangku, memukul beberapa alat dan menyuarakan lagu kemenangan mereka.

GBK tengah gegap gempita. GBK memiliki pemenang baru di Piala Presiden. GBK mencetak rekor terbaru, menyatukan seseorang dalam beda prinsip. Orang yang seharusnya memiliki seikat darah.

Dan di sana, pria bernama Caturangga menatap Agaz. Air muka itu terlihat jelas penuh penyesalan. Entah apa yang mereka katakan, sebab suara pendukung persija masih bersorak-sorai dalam kegembiraan. Namun Agaz tersenyum, Caturangga juga tersenyum.

Dan aku tersenyum.

Perasaan berpusar itu telah diterima oleh satu inti.

Aku menarik kakiku keluar dari barisan bangku. Menuruni tangga yang dipenuhi beberapa pendukung persija yang berteriak nyaring, mengalun nada kemenangan, dan mengibarkan kain yang kuyakini itu bendera Persija.

Pintu Barat A itu telah terbuka. Aku melangkahkan kakiku, bersamaan dengan getaran ponsel di tanganku. Mataku menangkap nama Agaz kembali tertangkap oleh kedua mataku. Lima missed call. Dan beberapa pesan yang nampak saling sahut di layar beranda.

"Echa. Kamu di mana?"

"Echa? Kamu ke kamar mandi atau lagi ke mana?!"

"Jangan bercanda!"

"Echa please..."

"Ping"

"Echa, i know this is your plan! Echa!"

"Please, Echa, kamu di mana?"

"Echa. Aku khawatir."

Aku membuka pesan itu. Jemariku mengetuk cepat.

"I am okay."

Aku mematikan ponselku setelah mengirim tiga kata itu ke nomor ponselnya. Melangkah menjauh dari Gelora Bung Karno dengan perasaan megah tak terkendalikan. Seakan semua sisa ketakutan dan kemunafikkanku dulu, menguar bersama sorak sorai para supporter Persija.

Bahkan di luar, aku bisa Melihat beberapa supporter saling berpelukan, melingkar memenuhi jalan dengan teriakan nyaring menyuarakan Persija. Beberapa patroli juga tengah siaga di samping GBK. Aku masih tersenyum melewati sorak sorai para supporter yang meraih kemenangan.

So do i, boys.

####

Ibu menatapku dengan kerutan di keningnya. Mata yang serupa denganku terlihat enggan mengalihkan berang sedetik pun. Seakan berada di ruangan penyelidikan, perempuan berperan sebagai jaksa ini berjalan ke sana kemari. Sesekali menghentikan langkahnya, membungkuk setengah dengan wajah mendekat kepadaku.

"Sejak kapan kamu suka sepak bola?" Dia melirik pakaian yang tengah kukenakan. Telunjuknya tertuju pada logo di samping kananku."Sok tahu banget soal bola." Ibu menggelengkan kepalanya, kemudian kembali menegak.

"Ini logo persija lah, Buk. Echa kan lagi berjiwa nasionalis." Aku tersenyum.

Ibu melirikku dengan tajam."Oh ya? Tahu nggak persija itu apa?"

Mampus!

Ibu kali ini yang tersenyum penuh kemenangan. "Kamu lagi ngerencanain apa, Echa?"

Aku menatap ke sekitar. Agak ragu mengatakan dengan jujur apa yang telah terjadi barusan.

"Oke oke. Nggak usah dijawab." Ibu kemudian duduk di sampingku. Tangan kirinya menjulur ke kepalaku. Dia mengelusnya lembut. "Ibu nggak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi, sejak kamu balik tadi, Ibu bisa ngelihat you did a great job, Echa." Tangan itu beralih nenepuk pahaku. "Ibu dulu memang marah sama kamu. Ibu tahu ibu salah. Ibu tahu ibu ini rada aneh malah membela anak lain, bukan anak sendiri. Tetapi, ibu yang lebih aneh itu, membela anak yang salah, menuduh anak yang nggak salah."

Aku memiringkan tubuhku. Satu buliran air mata jatuh di pipiku.

Ibu menarik wajahku, mengusap dengan kedua tangannya lalu berkata, "Ojok nangis, sayang. Ibu ora seneng lihat anak e nangis, nggeh? Mau seneng, saiki yo mosok nangis."

Aku menggeleng, menahan tangis yang mulai menyeruak keluar.

"Echa udah nanggalin ego. Echa udah siap kehilangan dia. Karena-" Aku menghentikkan laju kalimatku, tertahan oleh senggukan tangis ini. "karena Echa nggak mau Agaz suka sama orang yang nyakitin dia dulu." Dan seketika, aku menangis dengan gemetar di sekujur tubuhku.

Ibu menarikku masuk ke dalam dekapannya, membuat wajahku tenggelam di bahu kanannya. Dan juga hal ini memmbuat tangisanku terendam oleh elusan tangan Ibu dan bahu kanan miliknya.

Dalam suasana seperti ini, ibu bergumam, "Semua nggak ada yang nggak baik, sayang." Dia pun mencium ubun kepalaku. "bahkan sesakit apapun, kamu bukan orang yang hadir pada kesalahan dulu."

Aku menarik wajahku. Suaraku terdengar sumbang. "Echa salah buk."

Ibu menggeleng, mengusap pipiku dengan kedua jempolnya. "Kalau memang kamu salah, ndhuk, lalu kenapa semua orang sukses di dunia belajar dari kesalahan? Kenapa kamu nggak seperti mereka?"

Aku berpikir sama, Buk.

Ibu mengusap rahangku, daguku, kepalaku dan kedua pipiku, memberiku getaran hangat dan binar semangat ke dalam tubuhku. "Kesalahan itu sebagai tolak ukur, bukan jadi penolak keberhasilan."

Aku kembali memeluknya. "Terima kasih, Buk."

"Untuk ini?"

Aku menarik kepalaku dari dekapan Ibu. Kepalaku menggeleng. "Dari menjadikanku sebagai Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgi seganteng itu."

Ibu tergelak.

Dan aku bisa tersenyum lagi.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro