XXII - I Let You To Get Your Happiness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikir sekali lagi, merelakan itu melepaskan. Seyakin itu kamu akan melepaskan dia untuk kedua kali? Tapi, kali ini beda, ya? Kamu membiarkannya dengan kebahagiaan, dan kamu yang memutuskan ide itu. Good Girls

Rumah sederhana yang letaknya paling ujung itu menjadi tempat pemberhentianku. Aku turun dari mobil berwarna putih tulang yang kupesan dari salah satu ojek online setelah keluar dari mobil pria bernama Caturangga.

Beberapa menit saat perjalanan, pikiranku seakan menyangkut pada kejadian di rumah sakit.

Permintaan Nenek dan Kebencian Caturangga.

Dua orang yang berpusar dengan satu titik inti yaitu Agaz. Dan aku masuk dalam pusaran mereka, terseret begitu dalam. Bahkan, perasaan mereka seakan punya satu keterkaitan emosi yang dalam pada inti itu.

So do i.

"Yang namanya keluarga, ya gitu," Anya memberi komentar setelah aku masuk ke dalam kosannya. "ada keterkaitan lah pasti satu sama lain. Kebencian juga pasti ada. Perbedaan apalagi. Tapi, tinggal loe find your problem with your guidelines, sweatheart. Because, problem can guide you to know your life."

Anya selalu punya asumsi hebat!

Anya menatapku, seakan tengah menunggu respons dari asumsinya barusan. Karena terlalu lama menungguku, dia kembali bersuara, "Gue langsung aja, ya, Cha."

Aku mengerutkan keningku.

"Rencana loe apa untuk membuat si Pangaren kembali ke Raja?" Anya menatapku dengan wajah seserius tadi. "kerajaan nggak bakal bertahan, kalau Raja dan Pangeran berselisih, Echa. Anggap, loe melakukan ini demi rakyatnya." Anya melipat kakinya ke atas sofa, mengambil bantal ke dipelukannya, dan kembali melanjutkan, "Rakyat yang gue maksud itu Nenek, saudara Agaz, dan loe. Mungkin, anak loe nanti." Anya tersenyum saat mengucapkan anak pada perbincangan kami.

Aku mendesah lelah sambil menatap layar televisi yang hanya menampilkan warna hitam. "Kadang gue pikir, gue itu sama kayak Caturangga. Sama-sama dibenci, sama-sama punya keegoisan yang berpusat ke Agaz, sama-sama ingin memenangkan ego masing-masing."

"Sweatheart..." desah Anya gemas. "Gue udah ngomong sampai bibir gue tebel kayak di filler dua kali suntikan, tapi loe masih not get it what i said before, heh?"

"Gue ngerti, tapi gue nggak ngerti mulainya darimana?"

"Klise banget loe." Anya meledekku. "loe mulai dari apa yang paling gampang lah."

"Ngomong itu emang gampang, Nya. Prakteknya rada susah." protesku kesal padanya.

Anya memiringkan kepalanya ke kiri, bibirnya juga merapat membentuk segaris senyuman, dan gelengan itu menjadi tambahan perilaku yag dia buat-buat berlebihan, "Gue memang bukan psikiater, tapi gue punya satu asumsi, yang terserah loe mau terima apa gak. It's simple sweatheaet."

Aku bergeming diam. Menyerap apapun yang baru saja terdengar di kedua telingaku, yang mungkin bisa kuserap dalam ke pemikiranku.

"Reza mau ketemu loe." Anya kembali bersuara, tidak dengan topik sama.

Aku langsung menutup mataku, menutup telingaku dan menutup pemikiranku.

"Loe boleh marah sih, tapi Reza juga punya hak-"

"Hak buat ngancurin hidup gue sama Agaz?" sanggahku sebal.

Anya menjulurkan kakinya ke lantai. "Hak buat mencintai seseorang,  sweatheart." Dia menelengkan wajahnya, menjentikkan jemarinya di dahiku. "Jangan asal ceplos. Semua orang di dunia berhak mengapresiasikan cintanya."

"Loe di kubu siapa sih sekarang?" Aku mulai bertanya dengan nada tinggi. "Aku ya, aku. Jangan labil."

Anya menggeleng, mendesah seperti lelah dengan sikapku. "Gue di kubu para pria, Echa. Yang pasti bukan di kubu loe, sweatheart."

Aku menyeringai, "Gue balik. Sebel gue sama loe."

Anya malah tergelak. Bahkan saat kakiku telah beranjak dari sofa, dan mendekati pintu, tidak membuat gelak tawanya berhenti.

Anya ini beda tipis sama orang nggak waras!

"Echa." Aku bergeming diam setelah menarik pagar kontrakan Anya. Pria bertubuh tegap dengan perubahan rambut plontos tengah berdiri di depanku.

"Loe ngapain di sini?!" tanyaku penasaran.

Sejak kapan pria ini punya relationship khusus sama Anya? Atau-

"Ada keperluan sama loe." jawab Reza dengan senyum samar. Aku bisa melihat ada banyak keraguan dari sikapnya.

Hell, Nya.

Aku memiringkan tubuhku menghadap kaca, melirik perempuan yang tengah mengintip di dalam sana.

"Gue mau balik!"

"Gua mau bantu loe!" sergah Reza mencengkram tanganku saat aku mencoba melewatinya. "sebagai permintaan maaf gue."

Aku menelis cengkraman tangannya dan tangan terlipat di dada. "Gue nggak pernah bilang gue punya urusan sama loe, Afrezal!"

Ohh gooood, bahkan nada suaraku nggak bisa turun satu oktaf.

"Kalau gitu izinin gue punya urusan sama loe." sahut Reza keukeuh, tidak memedulikanku yang tengah kebakaran jenggot.

Aku menangkup wajahku, mengusapnya dengan gusar. Kembali menatap wajahnya. "Loe gila!"

"Ini." Dia menyerahkan amplop coklat kepadaku.

Aku menatap amplop di tangannya dengan kening terlipat.

"Something to solve our problem so easily, Cha." jawabnya, kemudian mengedikkan bahu. "Open it."

Aku meragukan sebentar, mencoba menimang. Banyak kemungkinan yang sedang kupikirkan. Mungkin Reza memberiku benda aneh didalam amplo, mungkin Reza lagi nggak waras, atau nungkin amplop ini ada foto aibku.

Mataku kembali menangkap keseriusan dari manik matanya. Menanggalkan keraguanku, aku mengambil amplop itu. Tanganku tsrgesa-gesa membukanya, menyobek dari bawah.

"Seriously? Tiket nonton sepak bola?!" pekikku nyaring, kurang gamang melihat tiga tiket masuk GBK di tanganku.

Reza mengangguk.

Sedangkan aku menggeleng, bertanda gemas dengan pemikiran anehnya ini. "Gue nggak suka bola. Walaupun gue suka, gue nggak mau pergi sama loe."

"Bukan untuk loe dan gue." jawabnya kalem.

"Terus?"

"Buat kalian."

Aku nggak paham!

"Yang jelas!" tukasku sebal. "Gue lagi nggak mau diajak bercanda."

"Media sosial, Echa. Dan, Anya."

Nama terakhir yang disebutkannya membuat kedua mataku membeliak lebar.

"Kalian berdua ada hubungan apa?!" pekikku tertahan.

Reza langsung bersikap kelabakan. Dia terlihat gelissah untuk menjawab pertanyaanku..

I know it. I know it!

"Thanks."  jawabku singkat.

"Gue anter, ya?" saran Reza tiba-tiba.

Aku menatapnya dengan raut tidak enak. Ada ketidaktertarikan dengan saran yang dia ajukan.

"Terakhir kalinya, Echa. Nanti kalau loe nikah sama Agaz, gue nggak bakal bisa silahturahmi ke sana." Dia berkelakar. Tersenyum menggodaku.

Tanpa memedulikan kelakarnya, aku berjalan ke mobil yang dulu pernah kami—

Kakiku berhenti dengan sentakan kesadaran agar aku tidak lagi mendeskripsikan tentang mobil berwarna hitam metallic ini.

Langkah kaki Reza terdengar di belakangku. Aku mengambil duduk di belakang, tidak di samping kemudi. Awalnya, Reza kurang setuju, tetapi setelah aku member kecaman, dia tidak lagi menuntu, dan bergeming diam duduk di depan.

I always win. Because i'm a girl.

Beberapa lagu berputar dari dalam radio. Menyetel lagu-lagu  di tengah Jakarta yang selalu tidak memberi celah untuk bebas menambah kecepatan kendaraan, terdengar sangat mengasyikan.

Ditengah-tengah musik berputar, aku mengambil topik pertanyaan, "Sejak kapan loe sama Anya?"

"Eh?" suara itu terdengar dari mulut Reza yang tengah melihat ke belakang dari kaca tengah mobil.

"Jangan kasih gue kebegoan, ya, Za? Gue tahu banget loa ada apa-apanya sama sohib gue satu ini." selidikku menatap kedua matanya dari kaca tengah mobil.

"Gue belok kiri, kan, Cha? Pagar biru itu, kan?" Dia mengalihkan pembicaraan.

"Dasar laki!" sungutku kesal setelah dia menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku.

Aku membuka pintu mobil. Saat kaki sebelahku telah keluar dari mobil, menggantung lebih tepatnya, Reza menyahut, menarikku kembali menatap ke depan.

Dia memiringkan tubuhnya menghadap ke belakang, "Gue sama Anya itu nggak ada apa-apanya. Gue bukan 'dasar laki' yang gampang suka, gue bukan 'dasar laki' yang gampang bilang cinta. Karena untuk dapetin satu orang aja susah."

"Semua perempuan itu sama juga, Za. Nggak mau dibilang gampangan, dan nggak mau dibilang munak." Reza tidak menyahut, masih sama dengan posisi sebelumnya. Karena itu, aku kembali manambahkan asumsiku. "Loe juga pernah kan berpura-pura jadi perempuan? And i ever asked you."

Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar dari mobil. Kemudian melangkah ke arah depan. Jendela mobil penumpang depan terbuka. Aku melongokkan sebagian tubuhku ke dalam.

"Thank you. Semoga loe juga nemuin yang lebih dari aku." Dia diam. "Gue tahu mungkin kalimat tadi terdengar klise, tapi gue yakin, semua orang memang punya yang namanya partner hidup."

"Semoga loe nemu juga." Dia akhirnya berkata, memberi senyum tidak sesamar tadi. Senyum yang kulihat dari sudut bibir itu begitu tulus.

Aku memundurkan tubuhku, menunggu mobil hitam metallic ini menghilang dari balik tikungan.

Dan dalam hidupku, tikungan itu telah berlalu satu.

######

"Kalau kamu mau, kalau nggak, yaudah." Aku merengek dengan nada yang kubuat-buat terdengar pasrah berdramatis.

Suara di dalam ponselku kembali terdengar, "Berdua?"

Aku menimang. "Ya banyak orang lah, Gaz. Namanya nonton bola."

Dia malah terdengar semakin sebal. "Susah ya ngomong sama kamu?" Dia mendengus, kembali berkata, "Tumben suka bola? Bukannya kamu anti, ya, Cha?"

Gak ada pilihan, Agaza Putra.

Namun, aku menjawab, "Karena aku lagi berjiwa nasionalisme, Agaza Putra. Piala presiden ini 'kan setahun sekali."

Pria di dalam telepon ini tergelak begitu saja. Aku bahkan bisa mendengar tawa agaz diselingin dengan batuk keras.

Sebegitu lucunya atau sebegitu memalukannya aku, heh, Gaz?

Aku langsung mengambil penyelesaian, "Iya atau nggak?"

Dia berdehem sebentar, lalu menjawab, "Oke. Tapi..." Dia menghentikan kalimatnya, menggantung pengecualian yang membuatku penasaran. "Jangan ngerengek bosan kalau aku udah nikmati that games."

Aku tersenyum. Mataku melihat tiga tiket yang ada di atas kasur.

"Gimana?" Agaz berseru, bertanya untuk mendapatkan kesepakatan kami.

"No problem, Agaza Putra. 'Kan aku udah bilang, aku lagi punya jiwa nasionalisme yang tinggi. Jadi mau lihat sepak bola Indonesia lagi main itu kayak gimana." Aku memberi alasan palsu. Karena sebenarnya, aku ingin melihat egoku tertandaskan.

Dua hari kemudian, Agaz menjemputku dengan pakaian bola yang dia favoritkan. Jersey warna merah darah dengan sedikit sentuhan logo di dada kirinya.

"Aku bawa baju kembaran." Agaz tiba-tiba berseru dengan mengulurkan jersey sewarna dengannya.

Aku membeliakan mataku."Jangan gila."

Telunjukku mengibas ke kanan dan ke kiri, memberi tanda aku tidak setuju dengan idenya.

"Nonton bola itu bisa gila. Mangkannya, sekalian aja aku ngajak kamu gila." Agaz masih keukeuh. Bahkan tangannya telah berani melemparkan jersey ini ke wajahku. "Ada syarat lagi, kalau loe nggak ngikutin gue buat pakai ini, ya gue bat–"

"Oke!" sanggahku cepat. Sekali hentakan kaki di lantai, aku kembali ke kamar, mengganti bajuku.

Padahal aku sudah cukup sempurna dengan kemeja putih, vest denim dan celana jins hitam. Rambutku juga telah kubiarkan terikat, menampilkan jenjang leherku. Dan dengan hitungan detik, pria tadi membuatku seperti–

Oh shit, i dont think this is good on my body!

Aku keluar dari kamar. Pria yang duduk di atas sofa langsung berdiri dengan kerutan di keningnya.

"Aku salah ambil size, ya?" sahutnya kalem.

Ibu tiba-tiba keluar dari dapur."Mau ke mana kamu?"

"Pergi." jawabku singkat, sebal dengan pakaianku.

"Loh nak Agaz, lama nggak ketemu." Ibu malah melengos dariku, menyalami Agaz begitu menyadari kehadiran pria ini.

"Bapak nggak ada, Buk?" tanya Agaz berbasa-basi dengan menyapu pandangannya ke sekitar rumahku.

"Lah Bapak kan udah balik dinas. Kamu sih lama nggak ke sini, sampai nggak tahu kabar, 'kan?" Ibu berkelakar tanpa merasa berat hati

Aku hanya menggaruk tengkuk dengan canggung.

Sedangkan Agaz, pria itu hanya terkekeh tidak enak. Dengan cepat, dia mengganti topik. "Saya mau pamit nonton bola, Buk. Boleh?"

"Bolaaa?!!" Ibu melirikku. "Echa mana mau." tukasnya kembali menatap Agaz.

"Echa malah yang ngajak saya, Buk."

Ibu kembali melirikku.

Kali ini dia melirikku dengan lipatan di keningnya. Nampak jelas dia tengah menyelidikiku. Dengan cepat, aku memutuskan kontak fisik ini. Menarik Agaz keluar dari rumah.

Kami masuk di stadion dengan pintu arah Barat A. Agaz duduk di pinggir, sedangkan aku duduk di tengah. Sejak tadi aku duduk tidak tenang, dan malah membuat Agaz menyadari dengan raut heran.

"Kenapa?"

Aku menggeleng dengan raut gusar. Dia kembali menatap ke depan. Sedangkan mataku masih menjelajah setiap orang yang baru masuk dari pintu A.

Dan dia di sana.

"Boleh aku keluar bentar?" tanyaku.

Pria ini menelengkan kepalanya. "Gua anterin, ya?" tawarnya.

Aku menggeleng, "GBK nggak kayak dulu kok, Gaz."

Dia mengangguk. Lalu aku beranjak dari kursi. Bersamaan itu, pria yang sejak tadi kutunggu, menggantikan posisiku.

Samar, tapi pasti, aku bisa mendengar pekikan keterkejutan dari Agaz. "Ayah?!"

Step closer, ya, Gaz.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro