1 - PERCAKAPAN SEUSAI HUJAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Sebaiknya lo balik sekarang."

Kalimat itu terucap dengan tenang dan tanpa beban seolah mengutarakannya tidak memerlukan pemikiran yang matang. Sesal tidak pernah menghampiri meski kata-kata singkat tersebut dengan gamblang mengusir seseorang. Kepastian akan pertemuan mereka selanjutnya pun menjadi kabur karena pintu diskusi telah ditutup rapat.

Pria yang masih duduk di tepi tempat tidur dengan rambut yang masih tampak rapi hanya mampu diam sebelum beranjak ke kamar mandi.

Lengan Nico terulur demi meraih rokok yang tergeletak di atas nakas. Ketika menyadari tidak ada gulungan tembakau yang tersisa, dia mengembuskan napas kesal seraya mengalihkan pandangan ke keranjang sampah yang berada di dekat pintu masuk. Bunyi menggerisik terdengar saat tangannya meremas bungkus kosong yang kemudian dia arahkan ke tempat sampah layaknya pemain basket yang berusaha memasukkan bola ke dalam keranjang. Begitu tembakannya meleset, Nico mengumpat pelan.

Membuka laci untuk mengambil rokok yang masih penuh, dia segera menjepitkan satu batang di antara bibir dan menyalakannya. Belum genap isapan ketiga, pria yang tadi dengan lantang diusirnya keluar dari kamar mandi dan mulai mengenakan kaus yang teronggok pada sandaran kursi.

"Sori gue ngerusak kemeja mahal lo," ucap Nico sembari menyaksikan pria di depannya mengamati kancing kemeja yang lepas di beberapa tempat.

Pria itu hanya mengedikkan bahu sambil ber-ah pelan. "Bukan pertama kalinya kamu ngerusak kemejaku, Nico," ucapnya tanpa bisa menyembunyikan senyum. Dia lantas melipat kemeja biru muda berlengan panjang tersebut dan menyampirkannya di pergelangan tangan. "Aku bisa ke Pinus dan memperbaikinya di sana sebelum pulang."

"Lo bukannya bisa buang dan bikin yang baru?"

"Bisa saja, tapi sayang. Aku suka kemeja ini."

Nico menegakkan tubuh, mengabaikan abu rokok yang menodai permukaan selimut cokelat mudanya. "Lo mau balik ke Pinus jam segini?"

"Aku nggak bisa pulang dengan kancing lepas seperti ini. Lagipula aku nggak bawa baju ganti karena sebenernya nggak ada rencana ke sini. It's your fault," candanya.

Nico menurunkan kaki hingga telapaknya menyentuh ubin. Tubuhnya menggigil saat menyadari tidak ada satu kain pun yang menutupi kulitnya. Namun rokok di tangannya jauh lebih penting daripada meraih pakaian demi mengurangi dingin. "Alasan macem apa yang bakal lo kasih ke Sandra?"

Pria yang mulai memasang ikat pinggang tersebut menjawab tanpa menatap Nico, "Belum nemu. I'll think about it on the way home. Nggak ngaruh juga alasan seperti apa yang akan dia dengar."

Setelah sabuknya dengan sempurna terpasang, pria itu menghampiri Nico yang telah mengalihkan pandangan pada pohon mangga di luar kamarnya yang tidak pernah lagi berbuah.

"Aku nggak perlu pulang dan berbohong kalau kamu ngasih izin buat nginep," tuduhnya tanpa aling-aling.

Nico memilih untuk menikmati rokoknya sebelum memberi balasan, "Mau seribu kali pun lo minta, jawaban gue bakal tetep sama."

"Apakah sikap kamu akan berubah jika aku dan Sandra bercerai?" Kali ini keseriusan tampak jelas pada wajahnya.

Nico segera bangkit dari tempat tidur saat tangan lelaki itu berusaha menyentuh pundaknya. Meraih asbak dari atas meja kerja, Nico sengaja menghindar dari sentuhan Raja yang belakangan terasa terlalu sentimental. Membiarkan angin malam yang masih membawa sisa hujan menubruk tubuh telanjangnya, Nico berjalan menuju jendela dan membukanya semakin lebar.

"Lo pikir kalau status lo jadi duda, keputusan gue bakal berubah? Asal lo tahu, gue nggak pernah ngasih izin siapa pun nginep di rumah kecuali adik dan sahabat-sahabat deket gue. Dari awal gue udah jelasin ke lo apa aja yang bakal lo dapet dari gue."

Raja mengembuskan napas berat sebelum mengarahkan kakinya untuk mendekati Nico. Beberapa berkas yang berserakan di ujung meja dia singkirkan sebelum menyandarkan pantatnya di sana. Ditatapnya Nico sambil menyilangkan lengan. "Apa yang bisa membuat kamu berubah pikiran jika bukan perceraianku dengan Sandra? Kamu tahu—"

"Raja, lo nggak perlu ngulang kalimat yang udah gue denger puluhan kali. Gue belum lupa," tukas Nico dengan ketegasan yang sulit dibantah. "Perceraian lo cuma akan ngaruh ke lo, Sandra, dan Nina. Mau lo masih bujang atau janda, pengaruhnya nol buat gue." Nico dengan sengaja menyeret nama putri semata wayang Raja demi memperjelas sesuatu yang telah dia ungkapkan berkali-kali setiap kali bahasan ini mengemuka. "Gue yakin lo bukan pria goblok yang harus diingetin terus soal persetujuan kita di awal. Bagian mana yang lo masih nggak ngerti, huh? Apa perlu gue bikin perjanjian di atas meterai dan gue tempel di pintu kamar supaya lo bisa baca tiap kali ke sini? "

"Perceraianku dan Sandra berarti aku nggak perlu lagi ngarang-ngarang alasan buat Sandra dan Nina setiap kali kita abis ketemu atau tiap aku pulang larut. Aku nggak keberatan kita tinggal berdua kalau itu yang kamu mau."

Dengan satu isapan panjang, Nico meletakkan asbak yang masih dipegangnya ke kusen jendela dan dengan satu gerakan tidak rela, dia mematikan rokoknya. Gulungan tembakau itu tidak lagi mampu menenangkan dirinya. "Gue bisa nurutin kemauan lo itu asalkan lo rela ninggalin kehidupan lo sepenuhnya, nanggalin nama dan semua atribut yang lo punya, mending nggak usah ngebahas sesuatu yang mustahil. Lo nggak bakal bisa ninggalin Pinus atau semua kenyamanan yang selama ini lo dapet. Cuma ini yang bisa kita punya dan mau nggak mau, lo harus terima. Nggak usah nuntut sesuatu yang ujungnya cuma bikin lo sakit hati dan kecewa." Nico lantas menatap Raja. "Gue masih nggak ngerti kenapa lo musti ngarang alasan ke Sandra sementara dia dengan terang-terangan bilang ke lo dia udah selingkuh. Apa gunanya lo bohong?" Nico menggeleng heran, seolah menjawab pertanyaannya sendiri.

"Sikap kamu pasti nggak akan seperti ini jika situasi kita berbeda."

Nico mengerutkan kening. "Berbeda? Berbeda kayak apa? Lo nggak usah berandai-andai, Raja. Nggak ada gunanya ngomongin sesuatu yang nggak bisa lo ubah."

"Kita nggak harus tinggal di Indonesia kalau urusan perceraianku dengan Sandra selesai."

Malam ini logika Raja sepertinya tumpul karena setiap kalimat yang diucapkan laki-laki itu sungguh menimbulkan resah dalam diri Nico. Baginya Raja bukanlah pria yang empat bulan lalu mulai menjadi rutinitas baru dalam kehidupannya. Raja yang di awal begitu pragmatis dan menanggapi semua aturan yang mereka setujui tanpa banyak bertanya, berubah menjadi lebih protektif. Dia pun lebih sering membahas hal-hal yang sebelumnya tidak ada dalam percakapan mereka.

"Lo nyadar nggak ucapan lo itu bukan cuma mimpi yang ketinggian, tapi tololnya nggak ketulungan dan sangat nggak punya landasan?"

"Karena aku punya Pinus?" sanggah Raja sembari menelengkan kepala agar bisa lebih jelas menatap Nico, mengabaikan maksud kalimat yang bagi sebagian orang akan dianggap sebagai hinaan. "Asal kamu tahu, Pinus nggak lagi jadi prioritasku sekarang. I need to do something that makes me happy instead of pleasing everyone."

Nico tergelak. Tawanya jelas bentuk lain dari sebuah ejekan. "Lo pengen bohongin siapa dengan kalimat barusan? Gue atau diri lo sendiri?" balas Nico. "Karena kalau lo bermaksud bohongin diri lo sendiri, lo gagal total, apalagi buat ngeyakinin gue. Pinus itu hidup lo, cinta lo ada di sana, bahkan lebih dari rasa cinta lo ke siapa pun. Lo bakal menderita. Lo nggak bakal mampu bertahan tanpa Pinus. Lo bakal mati pelan-pelan." Nico mengambil napas sebelum melanjutkan ucapannya, "Dan gue nggak bisa ninggalin Indonesia. Gue lebih baik menderita di sini daripada harus tinggal nyaman di negara orang sementara temen-temen gue harus hidup dalam ketakutan dan dipersekusi cuma karena mereka jadi diri sendiri. Gue punya perang di sini, Raja, dan gue nggak akan ke mana-mana sebelum perang gue ngehasilin sesuatu. Gue pikir lo tahu itu."

Tatapan yang diberikan Nico seolah ingin menantang pandangan pria yang tampilannya sungguh berbanding terbalik dengan dirinya soal kebahagiaan yang begitu sederhana. Meninggalkan Indonesia sama halnya dengan menjadi pengecut. Nico jelas tidak ingin menjalani hidup sebagai seorang pecundang yang lari demi menyelamatkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain.

Rajalah yang akhirnya mengakhiri kontes saling tatap itu dengan menundukkan wajah. Dia lantas membasahi tenggorokan sebelum berkata, "Aku nggak paham kenapa kamu ingin hidup dalam ketidakpastian ketika ada jalan keluar yang bisa kamu pilih. Berjuang buat temen-temen kamu bisa dilakukan dari mana saja. Kamu sepertinya lupa bahwa keselamatan kamu juga penting. Kalau terjadi apa-apa dengan kamu, bagaimana kamu bisa tetap memperjuangkan hak-hak mereka?"

"Gue males kalau harus nyeramahin lo soal sejarah komunitas kami yang sejak peristiwa Stonewall masih juga belum bisa ngedapetin hak yang pantas. Di Indonesia, perang itu jauh lebih besar karena orang-orang sini banyak yang nganggep homoseksualitas sebagai penyakit. Kalau gue harus mati di sini demi sesuatu yang gue yakini benar, gue nggak akan keberatan. Bukan perjuangan namanya kalau nggak ada korban."

"Jadi kekhawatiranku nggak berarti buat kamu?"

Pertanyaan itu justru memicu sesuatu dalam diri Nico yang berusaha ditahannya. Dengan satu helaan napas, rahangnya mengeras sebelum dia menumpahkan kekesalan yang semenjak tadi dia tahan. "Siapa yang minta lo khawatir sama gue?" tanya Nico dengan nada yang biasanya mampu membuat takut siapa pun yang mendengarnya. "Gue nggak butuh dikhawatirin siapa pun termasuk lo. Lagian lo bukan siapa-siapa gue. Hidup gue jauh lebih bebas tanpa harus mikirin kehawatiran orang lain ke gue. Lo mustinya khawatir soal Nina dan Pinus, nggak susah nyisain porsi pikiran lo buat gue. We're no more than just a fuck buddy, Raja."

Seperti kehabisan kata-kata, Raja hanya mampu menelan ludah. "Kamu tahu aku saya—"

"Raja, lo harus berhenti bersikap kayak anak kemarin sore yang nganggep hubungan kita—kalau apa yang kita jalani bisa disebut sebagai sebuah hubungan—adalah sumber kebahagiaan lo. It's not," potong Nico. "Dengan kehidupan penikahan lo yang amburadul, lo harusnya sadar apa yang kita jalani ini nggak bisa ngasih lo jaminan apa-apa. Gue nggak bisa bersikap sentimental buat sesuatu yang bahkan nggak punya arti apa pun."

"Jadi yang kita jalani selama ini sepenuhnya tidak berarti apa-apa bagi kamu?"

Nico sudah bersiap beranjak dari tepi jendela—demi menghindarkan dirinya untuk menjawab pertanyaan itu—tetapi kalimat yang meluncur dari mulut Raja menahan langkahnya.

"Aku tahu kamu benci tiap kali aku bicara tentang perasaan, tapi yang kita jalani ini adalah sesuatu, Nico. Yang kita punya sekarang punya arti." Pandangan Raja yang sebelumnya terpaku pada tempat tidur yang menjadi panggung persetubuhan mereka tiga jam sebelumnya berpindah ke Nico. "Aku tahu kamu nggak pernah peduli dengan kata-kata manis, tapi bukan berarti aku takut mengatakannya. Terserah jika kamu nganggep apa yang aku bilang sentimental, murahan, atau bahkan corny, tapi aku ingin kamu ingat bahwa seseorang pernah mengatakan ini dengan sepenuh hati." Raja terdiam sesaat sebelum berujar, "I care for you, Nicolas Mahendra, with every part of my heart. Banyak orang yang nggak suka dengan apa yang kalian lakukan, yang berarti bahaya yang selalu ngikutin kamu. Aku nggak bisa berhenti khawatir setiap hari atau tiap kalian melakukan protes. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, Nico. Aku mau suatu saat kamu sadar ada seseorang yang khawatir dan peduli sama kamu. Dan saat itu tiba, aku mau kamu menemuiku dan bilang bahwa kamu membutuhkanku, Nico. You can't ask me to stop worrying about you no matter how hard you try."

Nico memang tidak pernah mampu memahami alasan manusia harus mengungkapkan perasaan untuk mempertegas sesuatu yang tidak terlihat. Cinta dan berbagai ungkapan sejenis lain, bagi Nico ada bukan untuk dibicarakan, tetapi dirasakan. Menjadikannya bahan obrolan hanyalah merendahkan arti yang sesungguhnya. Sekalipun gerah melihat sentimentalitas yang ditujukan untuknya, ketulusan yang menguar dari Raja terlalu kuat untuk dia abaikan. Ada banyak yang bisa dikatakannya kepada Raja, tetapi Nico memilih untuk mengunci bibir.

Saat kesunyian yang timbul dari ucapannya terasa menjauhkan jarak di antara hati mereka, Raja menghela napas sebelum bertanya, "Persiapan buat besok udah selesai?"

Nico mengangguk. Kelegaan yang dia rasakan terlampau luar biasa hingga dia mengungkapkannya lewat seulas senyum tipis. Pergantian topik ini jauh lebih membuatnya tahu harus mengucapkan apa.

"Asalkan komplotan bajingan itu nggak ikut campur, gue yakin nggak akan ada kekacauan," ujar Nico. "Kalau mereka punya otak, harusnya nggak perlu dateng besok kalau tujuannya cuma cari ribut."

"Be careful."

Nico memejamkan mata sesaat setelah pesan Raja mencapai telinganya. Dia memberikan sebuah anggukan.

Raja dan rasa khawatirnya yang bikin gue muak!

"Lo nggak usah takut gue bakal kenapa-kenapa. Gue dua tahun lagi udah 30 tahun, nggak penting lo khawatir sama gue kayak anak kecil."

Tanpa bisa menghindar, Raja memutus jarak di antara mereka. Berdiri dengan gagah di depannya, tubuh Nico menegak saat menyadari tangan Raja bersandar di pundaknya. "Aku nggak mau denger kabar kamu ada di rumah sakit. Nggak peduli seberapa kecil luka yang kamu alami," ujar Raja sebelum mendaratkan kecupan lembut pada kening Nico.

"Lo nggak usah berlebihan. Nggak akan ada yang masuk rumah sakit karena nggak akan ada ricuh," balas Nico sambil berusaha lepas dari intimasi yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Namun cengkeraman Raja begitu kuat pada kedua pundaknya.

Nico sudah berpuluh-puluh kali ikut aksi protes dan hanya sekali badannya carut-marut. Itu pun disebabkan oleh sekelompok manusia yang merasa kuasa menimbang dosa orang lain.

"Gue cuma sekali masuk rumah sakit dan gue masih hidup sampai sekarang."

Raja tersenyum sekalipun terlihat dipaksakan. "Then promise me you'll be careful." Raja lantas menyandarkan pelipis pada tembok agar bisa memandang Nico lebih leluasa dan memastikan pria di hadapannya tidak menghindar. "Aku serius, Nico. Mereka nggak akan tinggal diam sebelum menumpas habis kalian."

"Kalau terjadi sesuatu besok, gue yakin banyak pihak yang bakal ada di sisi kami. Aksi kami murni atas alasan kemanusiaan, nggak akan ada tuntutan apa-apa. Jika mereka nyerang kami seperti waktu itu, nama mereka yang akan semakin tercoreng." Ada keyakinan dan keangkuhan dalam kalimat Nico yang tidak bisa disamarkan.

"Kabari aku begitu semuanya selesai."

"Oke," balas Nico singkat sambil beranjak dari hadapan Raja untuk meraih kaus dan celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. "Lo sebaiknya balik sekarang sebelum ngantuk di jalan."

Raja mengangguk. "Besok aku ceritain ke kamu apa yang aku dengar. Aku ada appointment dengan dua pejabat dan mulut mereka terlalu sayang kalau nggak ngomongin aksi kalian."

Tawa yang meluncur dari Nico bukanlah tawa geli melainkan tawa ejekan bercampur jijik. Meski tidak tahu siapa klien yang dimaksud Raja—karena jelas Raja melindungi identitas pelanggannya—Nico tidak sabar mendengar cerita yang dijanjikan Raja. Pria itu akan dengan sukarela mengungkapkan dengan detail apa yang mampir di telinganya jika kebetulan klien yang dia temui merupakan orang yang punya posisi penting dalam dewan. Informasi yang didengar Nico memang tidak punya signifikansi dalam perjuangannya, tapi setidaknya mampu memberi informasi kecil tentang cara pandang segelintir orang dari pemerintahan.

"Aku pulang dulu."

"Kalau lo ngantuk, tinggal aja mobil lo di Pinus," ucap Nico sambil sedikit merapikan kasur agar bisa ditidurinya dengan nyaman.

Meraih kunci mobil yang tersimpan di saku celana, Raja mengangguk. "Kamu juga langsung tidur setelah aku pulang."

Nico tidak perlu mengutarakan niat untuk terjaga demi menyempurnakan pidato yang akan disuarakannya besok. Maka anggukanlah yang dia berikan atas permintaan itu.

Membiarkan Raja mengecup pundaknya, Nico menyaksikan pria itu keluar dari kamar. Dia memang tidak pernah ingin mengantar Raja sampai ke pintu karena praktek itu terlalu kolot dan menguatkan kesan patriarki dalam kamusnya. Begitu mendengar pintu depan yang dibuka dan ditutup sepelan mungkin sebelum mesin mobil Raja yang meninggalkan halaman rumahnya terdengar jelas, Nico mengembuskan napas lega dan terduduk di tepi tempat tidur.

Pandangan Nico tertumbuk pada notebook yang tadi dia letakan di atas nakas. Lengannya terulur mengambil benda itu lantas membuka halaman yang telah dia tandai. Dibacanya kembali tulisan yang selama seminggu ini menguras pikiran. Begitu melihat beberapa kata yang tidak pas, dia segera mengambil pulpen dan mencoretnya.

***

Karena udah mau Lebaran, saya posting bab duanya sekarang ya?

Oh ya, semua yang ada di cerita ini adalah fiksi. Kesamaan dalam nama, peristiwa, atau tempat adalah kebetulan semata.

So, what do you think about Nico so far? :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro