2 - LILIN-LILIN KECIL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kita di sini karena Jacinda. Kita menyalakan lilin-lilin ini untuk Jacinda. Kita menangis untuk Jacinda. Dan kita akan memastikan Jacinda tidak pergi sia-sia." Nico menelan ludah, menyapukan pandangan pada puluhan orang yang membentuk setengah lingkaran di hadapannya. Yang terlihat olehnya adalah manusia-manusia yang sedang berduka dan peduli atas kepergian Jacinda. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak mengenal pemilik nama itu secara personal, tetapi keberadaan mereka di sini menunjukkan bahwa ada yang lebih penting dari sekadar nama. Telinganya menangkap isakan di antara deru kendaraan yang lalu lalang sementara pandangannya masih belum beranjak dari foto Jacinda yang diterangi lilin-lilin yang telah nyalakan begitu acara ini dimulai. Meski angin berembus cukup kencang, api yang mulai mengikis lilin-lilin putih tersebut masih bertahan. Alam seolah menyetujui aksi Nico dan kawan-kawan untuk mengenang Jacinda. Nico menarik napas sebelum melanjutkan barisan kalimat yang sudah dirangkainya seminggu ini, "Kita memang belum tahu dengan jelas siapa otak di balik kematian Jacinda, tapi satu yang kita tahu, mereka tanpa bersalah mengambil nyawa orang lain demi menunjukkan kepada kita mereka tidak pantas disebut manusia. Bahkan menyamakan perilaku mereka dengan binatang pun rasanya masih terlalu agung. Kita semua harus memastikan kasus Jacinda tidak akan menguap seperti banyak kasus serupa yang menimpa komunitas kita sebelumnya. Jika kasus ini tidak terselesaikan, akan ada kasus-kasus lain karena menganggap tragedi yang menimpa pada Jacinda dianggap sebagai sebuah kebenaran untuk. Cukup Jacinda yang jadi korban atas kebencian yang membabi-buta dan melupakan bahwa manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lain sekalipun mereka berbeda." Nico melipat kertas di tangannya sebelum kembali berujar, "Mari kita hening sejenak untuk mengenang Jacinda."

Setelah acara mengheningkan cipta selesai, Nico menutup ungkapan berkabungnya dengan ucapan terima kasih sebelum bergabung dengan yang lain. Beberapa orang menepuk pundak Nico seraya membanjirinya dengan ucapan terima kasih karena telah memprakarsai acara ini. Nico hanya menanggapinya dengan senyum tipis dan menegaskan bahwa mengawal kasus Jacinda lebih penting dari apa pun. Meskipun lega menyelimuti setiap sudut hati dan pikirannya, tetap ada marah yang sulit dia singkirkan. Pandangan Nico beberapa kali dikaburkan oleh geram yang masih bercokol di dalam hatinya sejak mendengar penganiayaan yang menimpa Jacinda lebih dari seminggu lalu.

"Semuanya aman?" tanya Nico begitu dia berada di samping Alan yang masih menekuri ponsel. Saat melihat dua kru media yang terlihat sedang meliput, dia menyenggol lengan Alan. "Lo udah ngomong ke mereka?"

Alan mengangguk tanpa mengangkat muka. "Cuma bilang supaya mereka tetep respek karena acara malam ini nggak punya agenda apa-apa selain mengenang Jacinda. Mereka sebenernya pengen wawancara lu, tapi gue bilang lu nggak mau diwawancara. Gue tahu lu bakal kehilangan kendali." Dia lantas mengarahkan layar ponselnya ke arah Nico. "Coba lu baca."

Nico langsung membaca deretan komentar yang ditinggalkan beberapa netizen pada foto yang diunggah Alan beberapa menit lalu soal aksi malam ini. "Gimana sosmed yang lain?" selidiknya setelah membaca komentar-komentar positif yang ditinggalkan di Instagram. Dia cukup yakin manusia mana pun yang punya hati nurani akan mengirimkan dukungan mereka melalui sosial media.

"Di Twitter juga sama. Gue belum buka Facebook karena komentar-komentar di sana pasti bikin gue emosi. Mungkin kita nggak usah posting apa-apa lagi di sana, percuma. Ahli ceramah tiba-tiba bermunculan tiap ada berita yang ngebahas komunitas LGBTQ, apalagi Jacinda yang seorang transgender. Those people can be extremely cruel."

Nico mengangguk. Meski mendapat laporan bagus, matanya masih menyorotkan kecemasan yang mati-matian dia sembunyikan. Dia lantas mengalihkan pikiran dengan mengambil rokok yang sedari tadi masih bersegel di saku celananya.

"Lu keliatan resah," ujar Alan setelah melihat Nico mengisap gulungan tembakau dengan sedikit ketergesa-gesaan.

Alih-alih menanggapi Alan, Nico justru celingukan mencari tong sampah. Dia tidak bisa menikmati setiap isapan rokoknya sekarang. Dengan sedikit terburu-buru, dia berjalan cepat menuju tong sampah tanpa peduli jika rokok di tangannya bisa dibilang masih utuh.

"Shit!" umpatnya ketika rokok yang akan dibuangnya meleset masuk tong sampah akibat tangannya yang gemetar.

Alan yang menyaksikan Nico dari tempat mereka berdiri sebelumnya hanya mampu mengerutkan kening sebelum menghampiri Nico. "Lu kenapa gemeter gitu?"

Nico mengusap mukanya dengan telapak tangan sebelum menatap Alan. Keringat dingin mulai membasahi bagian belakang kaus hitamnya. "Gue tahu akan ada kejadian serupa, Lan. Nggak mungkin ini bakal jadi satu-satunya. Those bastards will not stop here."

Alan cuma diam karena kekhawatiran sahabatnya yang tiba-tiba muncul. "Mau gue anterin balik?" tawarnya.

"Lo aja yang gue anter pulang," sergah Nico dengan ketegasan yang susah dibantah.

Kening Alan mengerut. "Lu kesambet apaan?"

"Gue nggak mau siapa pun yang gue kenal jadi korban selanjutnya."

Alan menarik napas dalam sebelum mengembuskannya keras. "Dan lu pikir gue mau lu kenapa-kenapa? Nggak usah segitu sinisnya sama tawaran gue." Alan berdecak. "Wajar lu ngerasa gitu, tapi lu berlebihan. Yang penting sekarang adalah Jacinda. Gue pengen lu nggak usah mikir macem-macem. Kita urusin Jacinda dulu baru mikirin yang lain."

Nico berniat menyanggah Alan, tetapi gelengan Alan membuat Nico hanya memalingkan wajah. Tangannya masih gemetar sementara orang-orang masih bergantian mengungkapkan bela sungkawa mereka dengan berbagai macam cara. Tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya, dia memilih duduk di sisi trotoar.

"Lu belum makan?"

Nico menggeleng.

"Gue temenin lu makan abis ini," ucap Alan diiringi decakan mengetahui kebiasaan sahabatnya yang sering sengaja lupa makan.

***

"Lu udah ngabarin Raja?"

Menyendok nasi gorengnya, Nico menikmati rasa pedas bercampur manis dan gurih memenuhi rongga mulutnya. Suapan terakhir itu dikunyahnya perlahan seolah tidak ingin lekas menandaskannya. Begitu selesai, dia melirik Alan yang hanya memesan satu gelas es teh tawar sebelum menggeleng.

"Ntar kalau nyampe rumah. Dia palingan udah balik dari Pinus."

"Lu beneran nggak peduli dia khawatir sama lu?"

Nico menyobek tisu gulung di depannya untuk mengusap bibir. Setelah menandaskan sisa es jeruknya, Nico memandang Alan yang tampak masih menanti jawabannya. "Sejak kapan gue peduli orang lain khawatir sama gue atau nggak? Kalau itu berlaku buat semua orang yang gue kenal, kenapa gue musti bikin pengecualian buat Raja? Gue nggak butuh dikhawatirin. Lo juga, nggak usah khawatirin gue. Gue bisa jaga diri."

Alan mendengus. "Gue kadang bingung apa yang bikin lu antipati begini sama perhatian orang, bahkan temen lu sendiri yang udah kenal lu tahunan. Pasti ada yang lu sembunyiin."

Nico mengeluarkan tawa renyah. "Lo bener. Ada yang gue sembunyiin. Lo nggak tahu kan gue punya timbunan emas?"

Menyadari pertanyaannya ditanggapi dengan candaan, Alan cuma bisa menghabiskan es teh tawarnya tanpa sedikit pun kepedulian untuk menatap Nico.

"Lo udah tahu apa yang perlu lo tahu. Yang nggak perlu lo tahu, gue nggak akan cerita karena nggak ada gunanya. Buang-buang informasi."

"Seserius apa lu sama Raja?"

"Lo mau jawaban versi gue atau dia? Karena versi kami beda jauh. Atau lo mau bikin versi lo sendiri?"

Alan hanya berdecak keras hingga beberapa orang yang sama-sama duduk di tenda pinggir jalan itu mendongak.

Nico mengembuskan napas sebelum menjawab pertanyaan Alan. "Raja is just a man to fuck when I want it, or when he needs it. Sama kayak cowok-cowok yang pernah dateng ke hidup gue. We're just fuck buddy. Itu versi gue. Sementara Raja nganggep yang kami jalani selama ini itu serius dan dia pengen ngasih label. Same old story, just different dick. Gue cuma ngelindungin diri sendiri supaya bisa ngelanjutin hidup kalau dia tiba-tiba pergi. And I can assure you that he will leave just like any other guys."

Nico mulai menyesali keputusannya menceritakan tentang Raja ke Alan. Sahabatnya itu seperti tidak pernah berhenti merecokinya dengan pertanyaan tentang Raja. Bahasan tentang Raja adalah hal terakhir yang diinginkan Nico malam ini.

"Dengan bersikap cuek begini?"

"Lo punya alternatif buat nggak sakit ati? Lagian dari dulu gue selalu cuek dengan persoalan seperti ini. Ini bukan sesuatu yang baru. Love is a nonsense, Lan, especially Eros. Lu tahu kan Eros itu apa? Orang-orang cuma jatuh sama konsep cinta itu sendiri. Mereka pikir udah tahu ngerasain cinta, tapi buat gue mereka ini narsisnya nggak ketulungan. Kenapa? Karena jatuh cinta sama konsep yang mereka bangun sendiri." Nico menggeleng lantas mengelurkan satu batang rokok dan menyalakannya. "Lo pikir gue bakal berubah karena Raja? Kalau iya, berarti jangan ngaku lo sahabat gue."

"Lu beneran nggak pengen jatuh cinta?"

"Gue nggak punya konsep apa-apa soal cinta, kenapa gue harus jatuh sama konsep yang nggak ada? Jatuh cinta bikin gue needy dan gue paling benci harus bergantung sama satu orang, apalagi soal perasaan. Thankyouverymuch."

Alan terlihat berpikir sebelum dia berkata, "Dan itu alasan lu belum juga bawa dia ke markas?"

Nico mengepulkan asap rokoknya dengan santai, menunggu Alan sadar bahwa pertanyaan yang baru diajukannya terdengar dangkal. Namun Alan rupanya tidak paham. Seusai mengetukkan abu rokok di atas piring kotornya, Nico tersenyum kecut. "Dia nggak pernah minta dan nggak cukup penting buat dibawa ke sana."

"Is he still in a closet?" tebak Alan.

"Istilah itu nggak pas." Ketika melihat Alan menelengkan kepala dengan alis berkerut, Nico terpaksa menambahi kalimatnya, "Gue nggak tahu dia PLU atau nggak. And to be honest, I don't give a damn. We fucked, we got orgasm, and then he left, back to his family. Buat gue itu yang paling utama."

"Lu nggak penasaran?"

Nico berdecak keras sembari mengeluarkan dompet dan membayar makanannya malam ini. Dia memandang Alan sembari menunggu kembalian dan berkata, "Why should I care about his sexual orientation when all I ever want from him is his dick?"

Menyadari usahanya untuk mendapatkan jawaban dari Nico tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, Alan lantas beranjak dari bangku. "Lu masih mau nganterin gue balik?"

Nico mengangguk. "Demi keselamatan lo."

***

Nico langsung membanting tubuh di atas sofa begitu memasuki rumah. Dia bahkan terlalu malas menekan sakelar untuk menyalakan lampu apalagi melepas sepatu. Mengusap wajahnya yang letih, Nico kembali dibayangi pikiran yang tadi teralihkan oleh campur tangan Alan.

Menarik napas panjang, dia menegakkan tubuh.

Dalam pikirannya berkelebat berbagai kemungkinan yang justru tidak boleh dia bayangakan. Untuk saat ini, Jacinda memang masih hangat dibahas di media. Kasusnya bahkan mencapai beberapa media internasional. Namun seperti banyak kasus lain yang bahkan lebih parah, jaminan kasus ini akan diusut tuntas sama sekali jauh dari harapan. Bukan itu saja yang membuatnya gelisah, tetapi keyakinan bahwa penganiayaan serupa akan terjadi lagi. Tragedi yang menimpa Jacinda—dipukuli, ditendang, dilepas wignya, ditelanjangi, dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan hingga meninggal akibat pendarahan internal—bisa saja memicu siapa saja untuk melakukan hal serupa. Penganiayaan terhadap transgender, waria, atau bagian lain dari komunitas LGBTQ bisa dianggap sebagai pekerjaan mulia demi membasmi penyakit sosial dari tanah Indonesia.

Nico memejamkan mata sembari memijit pelipis pelan dengan harapan ketakutannya akan lenyap. Suara klakson mobil membuatnya mengumpat keras sebelum dia beranjak dari sofa, bersiap memaki siapa saja yang mengagetkannya. Alih-alih menyiapkan berbagai macam kata-kata kotor, senyumnya mengembang lebar saat mengetahui dari balik siapa yang bertandang ke rumah.

Dengan cepat, dia membuka pintu dan sedikit berlari menghampiri sosok yang baru turun dari mobil. Tanpa ragu, dia merentangkan lengan lebar-lebar sebelum tubuh yang begitu dirindukannya berada dalam pelukan. Dia mendekap erat tubuh semampai itu tanpa memedulikan pelukannya yang terlampau erat.

"Astaga! Lo bau banget, Mas," ujar wanita yang tingginya hanya beberapa senti lebih pendek dari Nico itu sambil menjepit hidung dan pura-pura terhuyung setelah dia melepaskan diri dari pelukan Nico. "Pasti belum mandi," tuduhnya.

"Belum sempet. Gue baru balik."

Eli dengan manja menggandeng lengan kakaknya masuk ke rumah, melupakan bau badan yang baru saja dia protes. "Balik dari mana, sih?"

"Lo nggak baca berita?"

"Boro-boro ngikutin berita di sini, Mas. Kita ngobrol berapa kali selama gue di New York? Kerjaan di sana udah nggak manusiawi. Kalau nggak ditarik buat balik di sini, bisa-bisa gue pindah ke sana beneran."

"Asik dong. Lo kan selalu pengen tinggal di New York."

"Ogah. Mahal gilak!"

"Mahal tapi tetep beli sepatu," ujar Nico sambil melirik sepatu Eli yang jelas-jelas baru. Dia hafal betul kebiasaan adiknya membawa beberapa pasang sepatu tiap kali bertugas ke LN. Harga setiap pasangnya pun cukup untuk membiayai hidup Nico selama berbulan-bulan.

Eli meringis. "Women and shoes are inseparable, Mas. Udah nggak usah protes."

Nico berniat mengajak Eli duduk di ruang tamu karena dari semua sudut di rumahnya, hanya ruangan itu yang lumayan bersih. Namun Eli menolak. Dia justru mengeratkan gandengan dan mengarahkan langkah mereka ke dapur.

"Astaga, Mas. Itu piring dari kapan masih belum juga dicuci?" Pertanyaan horor itu diajukan Eli begitu melihat bukan hanya tempat cucian yang penuh oleh piring dan gelas, tetapi beberapa bungkus mi instan juga dibiarkan berserakan.

"Nggak inget. Besok gue bersihin."

"Besok di kamus lo tuh minggu depan. Nanti gue suruh Bik Min ke sini buat bersih-bersih. Lo itu hopeless banget hidup sendirian, Mas."

"Emang di Boston dulu gue hidup sama siapa? Apa-apa sendiri."

"Roommate lo sama joroknya, kali. Ujung-ujungnya tetep nyewa housekeeper. Gue tuh tahu banget tabiat jorok lo."

Setelah mengambil satu botol air minum dari kulkas dan menuangkannya, kakak-adik itu duduk berhadapan di dapur yang bisa saja terlihat mengilap andai saja dengan rutin dibersihkan.

"Nggak usah nyuruh siapa-siapa ke sini buat bersih-bersih. Gue bakal bersihin kalau kepepet." Nico menyisir rambut ikalnya yang terasa lepek sebelum menyilangkan lengan. "Lo balik kapan? Kok nggak ngasih kabar?"

"Baru mendarat jam delapan tadi dan begitu nyampe rumah, gue makan dan ngobrol sebentar sama Mama sebelum ke sini. Kalau ngasih kabar duluan, gue takut Mas Nico lagi sibuk, jadi langsung dateng aja."

"Tumben dikasih izin."

Mau tidak mau, Nico tersenyum. "Ada apa sampai lo harus ke sini malem-malem? Lo pasti capek."

Sikap Eli yang tadi ceria langsung berubah menjadi canggung. Melihat itu, Nico langsung mencondongkan tubuh agar bisa melihat reaksi Eli saat dia mengungkapkan dugannya.

"Jangan minta gue dateng ke rumah, El. Anything but that."

Eli menggigit bibir bawahnya. "Papa lagi nggak di rumah, Mas. Gue pengen kita makan malem bertiga. It's been way too long."

"Papa pasti tahu tanpa lo bilang apa-apa."

"Please, Mas?"

Nico menyambar gelas di hadapannya dan langsung meneguknya habis. Dia benci mengecewakan adiknya, tetapi ada banyak hal yang tidak bisa dia kompromikan—meski sejenak—dan salah satunya adalah apa yang baru Eli minta.

"Gue mau kalau kita makan di mana aja asal nggak di rumah," tegas Nico. "Gue nggak bisa ke sana, El."

"Mas ... Papa nggak akan ada di rumah."

Jika yang sedang berusaha mengubah prinsipnya ini bukan Eli, bentakannya pasti langsung terdengar. Tetapi dia hanya menggeleng. "Mau dia ada di Kutub Utara sekalipun, gue nggak bisa."

"Jadi Mas Nico nggak akan ngehargain usaha gue ke sini?"

Nico mengembuskan napas. Berdebat dengan sang adik yang profesinya lekat dengan dunia hukum memang tidak pernah gampang, tapi Nico enggan mengalah. "Apa bedanya makan di luar dan makan di rumah, El? Judulnya makan, bukan arisan."

Eli diam sesaat. "Mama sempet nyinggung ngajakin lo dinner pas gue di New York dan minta gue yang ngomong ke lo. Siapa lagi yang bisa ngajakin lo selain gue? Do it for her and for me. Gue tahu lo nggak pernah mau hubungin Mama karena Papa, dan gue hargai keputusan lo karena yang lo lakuin juga supaya Mama baik-baik aja. Lo bisa keluar dari rumah dan ngebuang nama Witeja, tapi lo selalu punya soft spot buat Mama, Mas. Lo nggak bisa bohong soal itu." Eli mengamati kakaknya. "You're her only son, Mas. Wajar Mama kangen. Ibu mana sih yang kuat nggak ngeliat anaknya selama tujuh tahun?"

Meski mudah mengiyakan ajakan itu demi adiknya, tetapi Nico masih sekuat tenaga mencari berbagai alasan untuk berkata tidak.

"My condition or not at all, Eli. Kalau lo maksa gue dateng ke rumah, gue nggak mau semua tembok yang ada di rumah itu ngejek gue karena ngelanggar sumpah yang gue bikin, atau ngingetin lagi setiap kalimat yang dia bilang saat itu. Kalau lo maksa gue ke rumah, lo nggak usah dateng ke sini lagi."

Nico benci mengultimatum adik satu-satunya, tetapi dia akan mengatakan apa saja demi menghindarkan diri untuk melangkah masuk ke bangunan yang sudah tidak dianggapnya rumah itu.

Mengetukkan jarinya ke dinding gelas, pandangan Eli masih belum beranjak dari sosok Nico. "Lo mau makan di mana? Biar gue yang reservasi."

Meski kekalahan dalam pandangan Eli hanyalah agar bahasan mereka selesai, Nico berusaha tidak menunjukkan kelegaannya. Ancaman Nico bukan hal yang baru, tetapi Eli selalu mengalah jika Nico sudah menggunakannya sebagai senjata pamungkas.

"Lo tahu kakak lo ini gembel. Nggak usah di tempat yang mewah daripada malu-maluin lo sama Mama. Lo nggak bisa samain gue sama kolega-kolega lo."

"Lo kapan bisa, Mas? Minggu depan? Gue masih ada beberapa kerjaan minggu ini dan kayaknya bakal sibuk." Eli sengaja mengabaikan ucapan Nico soal tampilannya.

"Kapan aja gue bisa."

"Ya udah, gue aja deh yang tentuin. Nunggu jawaban lo pasti terserah. Nggak berubah juga sejak dulu. Heran gue."

Mendegar rentetan protes itu, Nico hanya bisa tersenyum.

"Mas Nico pake blazer yang waktu itu kita pesen di Pinus, ya? Gue nggak pernah liat Mas Nico pake itu lagi, padahal lo keliatan ganteng banget."

Mendengar Eli mengucapkan Pinus, pikiran Nico langsung menuju Raja. Gue belum ngabarin kalau gue baik-baik aja. Nico menelan ludah sebelum mengangguk. "Gue nggak janji, tapi lo bisa pegang kata-kata gue kalau gue nggak akan malu-maluin lo dan Mama."

Senyum Eli melebar. Setelah menandaskan isi gelasnya, dia beranjak dari kursi dan mengitari meja. Tampangnya berubah menjadi serius. "Lo jangan pernah ngerasa nggak punya siapa-siapa, Mas. Gue selalu ada buat lo. If you need anything, just ask me. Lo kakak gue satu-satunya dan gue nggak mau kehilangan lo karena alasan apa pun." Eli kemudian mengecup pipi Nico sebelum pamit. "Nanti gue kabarin lagi soal tempatnya." Pantat Nico masih melekat di atas kursi, tidak peduli jika sikapnya yang tidak mengantar Eli ke pintu dianggap kasar. "Oleh-olehnya dari New York lupa! Ntar gue bawa, deh," ujar Eli sambil melangkah melewati pintu depan.

Nico hanya tersenyum saat melihat. "Apa sih yang belum gue punya dari New York?"

Eli menghentikan langkah sebelum membalikkan badan, keningnya mengerut sebelum menanggapi pertanyaan asal tersebut, "The name. You can't buy it, Mas, it stays there. Udah ah, daaah!"

Pandangan Nico terpaku pada bayangan mobil adiknya sampai dia mendengar bunyi klakson dan sesaat kemudian, rumah yang dihuninya kembali sepi.

Dengan segera, Nico meraih ponselnya. Begitu membuka surel, dia langsung mengetik kalimat singkat.

Gue udah di rumah. Safe and sound.

***

Dear readers,

Maafkan saya ya, update-nya lama. Saya struggle banget buat nulis beberapa minggu belakangan dan digabung dengan rasa males, maka jadilah saya nggak update berminggu-minggu. This one is quite long, though, jadi semoga puas. Dan semoga setelah ini bisa rutin seminggu sekali. Once again, I apologize for abandoning this story for weeks.

Pas nulis bab ini, saya ngerasa semakin dapet nyawanya Nico. Cara pandang dia, sinismenya, dan gengsinya, saya ngerasain banget dia di bab ini. Pas awal dulu, saya nggak ngebayangin Nico seperti ini, tapi saya malah lebih suka dengan Nico yang sekarang. In a way, saya tahu akan belajar dari dia, seperti yang saya alami saat nulis Massimo dan Tirta. Kedengerannya aneh kalau penulis belajar dari karakter yang diciptakannya, tetapi buat saya, Nico akan jadi karakter seperti itu. Let's wait and see.

Semoga kalian bisa semakin mengenal Nico dan kehidupannya dengan bab ini. And have a great Saturday night!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro