3 - MURAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Acara kita buat Jacinda tempo hari masih jadi berita di beberapa media internasional, termasuk Advocate (1). Kolom yang lo tulis di The Rainbow juga masih sering dikutip."

Nico mengangguk setuju menanggapi ucapan Cakra, salah satu 'staf' yang memang ingin ditemuinya di markas. "Media di negara kita emang nggak pernah peduli sama hal beginian meski itu tindakan kriminal. Yang ada malah jadiin seksualitas Jacinda sebagai fokus, bukan apa yang terjadi pada korban. Gue nggak tahu harus seneng atau miris bahwa media luar justru lebih perhatian daripada media kita sendiri."

Cakra mengangguk meski wajahnya menunjukkan dia sedang menimbang sesuatu. "Gue nggak mau ngerusak suasana hati lo, Nic, tapi lo perlu baca ini," ucap Cakra sambil menyodorkan satu eksemplar surat kabar yang dikeluarkannya dari dalam tas.

"Berita apa?"

"Yang pasti lo belum tahu, karena kalau udah, lo bakal ngajak kami semua ketemuan dan nggak akan setenang ini."

Nico menyambar surat kabar yang sudah terbuka pada satu halaman dan matanya langsung beredar mencari tajuk berita yang menurut Cakra punya potensi merusak suasana hatinya. Begitu menemukan judul yang sengaja dilingkari Cakra dengan pulpen, ekspresi wajah Nico langsung berubah dan cengkeramannya pada surat kabar menjadi semakin erat.

Dua Pemuda yang Diduga Pasangan Sejenis Mendapatkan Hukuman Cambuk di Aceh

Nico membaca berita itu dengan perasaan geram. Meski sudah menduga isi tulisan tersebut tanpa harus membaca hingga selesai, Nico tidak ingin melewatkan satu paragraf pun.

Begitu matanya mencapai kalimat terakhir, Nico melempar koran itu ke atas meja. Dia tidak peduli jika tindakannya mengakibatkan Cakra sedikit melonjak kaget. Selain perlakuan terhadap dua pria tersebut yang menurutnya tidak manusiawi—terlepas dari hukum yang berlaku di sana—kegeraman Nico lebih didasari oleh fakta bahwa dia tidak mampu melakukan apa-apa. Dia tidak bisa begitu saja pergi ke Aceh untuk mengajukan protes terhadap hukum syariah yang ada di sana. Otaknya berputar mencari cara untuk melakukan sesuatu tanpa harus membahayakan keselamatannya dan orang-orang di sekitarnya.

Mengepalkan tangan demi menahan marah yang tidak bisa dilampiaskannya, Nico memandang Cakra dan bertanya, "Ada berapa media kita yang ngelaporin ini?"

"Gue sempet cek beberapa media elektronik yang cukup kredibel dan tajuk yang mereka punya nggak kalah ngeri dari yang lo baca. Beberapa media lain jauh lebih netral, terutama yang berbahasa Inggris dan pro-LGBTQ. Gue nggak baca satu-satu karena takut kegoda buat baca komentar-komentarnya. Buat media cetak, gue nggak sempet cek satu-satu, jadi nggak tahu ada berapa. Gue rasa nggak jauh beda sama edisi elektroniknya."

"Alan udah ngewanti-wanti gue supaya nggak baca komentar setiap ada berita begini."

Cakra tertawa kecil. "Dia khawatir lo bakal lepas kendali kayak kasus yang sempet rame di Instagram dulu."

Nico mengangguk, teringat satu insiden di mana dia terlibat adu argumen dengan beberapa akun di Instagram satu setengah tahun lalu karena laporan tentang LGBTQ yang sangat dinilainya hanya berlandaskan asumsi dan pengetahuan yang keliru. "Cak, lo mau nggak ngelakuin sesuatu buat gue?" tanyanya begitu sebuah ide terlintas.

"Apaan?"

"Cari tahu nama dua cowok di Aceh itu dan kasih gue kontaknya kalau lo bisa dapetin. Nggak perlu nomor telepon kalau emang nggak bisa. Apa aja asal gue bisa hubungin mereka."

Kening Cakra mengerut bersamaan dengan tubuhnya yang menegak. "Lo mau ngapain?"

Nico menerawang sesaat sebelum kembali menatap Cakra. "Kalau memungkinkan dan mereka mau, gue pengen ngungsiin mereka keluar dari Aceh."

Cakra tertegun. Mungkin tidak menyangka Nico memiliki ide seperti itu. "Lo pasti nggak serius," balasnya dengan nada bercanda.

"Sejak kapan gue becanda soal beginian, Cak? Seenggaknya gue bisa nyoba. Terlepas hasilnya bakal seperti apa, itu urusan belakangan. Gue pengen ngasih mereka pilihan karena saat ini mereka jelas nggak punya. Gue ngeri ngebayangin perlakuan yang mereka dapet setelah ini. Mereka pasti malu dan itu bisa bikin mereka jadi depresi."

Penjelasan Nico justru membuat Cakra semakin terlihat bingung. "Lebih baik lo pikir lagi, Nic. Lagian lo mau ngungsiin mereka ke mana?" tanyanya.

"Gue belum tahu, tapi Bali jadi pilihan pertama. Gue mungkin nggak bisa nuntut buat ngubah hukum di sana, tapi gue seenggaknya bisa ngasih dua orang harapan, itu juga kalau mereka mau."

"Duit siapa?"

Nico memangku tangan sementara pandangannya fokus pada meja yang biasa ditempati Alan. Dia belum berpikir sejauh itu, tetapi dia tidak ingin Cakra tahu permintaannya tadi adalah keputusan impulsif. "Temen-temen deket kita pasti bisa bantu dan kita tahu banyak orang yang akan peduli. Misalkan nggak ada yang mau bantu, gue nggak keberatan pake tabungan gue sendiri. Gue nggak akan mikirin itu sekarang. Yang penting, lo dapet kontak mereka, nanti biar gue yang ngurus setelah dari situ."

"Jangan jadi kebiasaan, Nic," ujar Cakra sembari menulis sesuatu di notesnya.

"Kebiasaan mana yang lo maksud?" Nico terdengar defensif mendengar ucapan Cakra.

"Lo nggak bisa nolong semua gay yang ada di Indonesia setiap terjadi sesuatu sama mereka. Dan lo nggak bisa selamanya pakai duit lo buat mereka. Gue tahu maksud lo baik, tapi lo juga musti sadar, lo punya kebutuhan sendiri. Bukan cuma perkara duit, Nic, tapi juga mental lo. Gue takut lo bakal frustasi kalau terjadi sesuatu yang nggak lo pengen. Gue jelas nggak mau lo kenapa-kenapa dan nelantarin diri lo demi nolongin orang lain."

"Gue cuma ngelakuin apa yang gue bisa karena keputusan tetep ada di mereka." Nico mengambil surat kabar yang tadi dilemparnya dan dengan sekuat tenaga, merobak bagian yang membuat darahnya mendidih. Begitu dia meremas kertas itu hingga menyerupai bola, Nico memainkannya sambil menerawang. "Lo pasti inget Tama. Bisa nggak lo bayangin kekalutan dia begitu keluarganya tahu dia gay dan dia diusir dari rumah? Gue nggak bisa biarin dia keliaran di jalan. Yang gue lakuin cuma ngasih apa yang dia butuh, dan lo liat, sekarang dia bisa ngelanjutin kuliahnya lagi. Dan itu bikin gue bahagia, Cak, karena gue ngerasa berguna buat orang lain."

"Tapi bukan berarti mereka otomatis jadi tanggung jawab lo."

"Pemerintah kita nggak punya program buat nampung mereka yang diusir dari rumah karena seksualitas, Cak. Selama gue mampu, gue bakal bantu. Yang gue keluarin cuma duit dan gue nggak butuh banget duit banyak-banyak di tabungan," balas Nico kemudian melemparkan bola kertas di tangannya ke tempat sampah.

"Berita ini perlu kita masukin ke buletin bulan depan?" Cakra jelas berusaha mengalihkan obrolan mereka. Mungkin dia tidak ingin memancing emosi Nico semakin dalam.

"Yep! Sekalipun mungkin udah banyak yang tahu, nggak ada salahnya kita taruh buat ngingetin bahwa kejadian barbar kayak gini masih ada di Indonesia. Kalau bisa, lo cari berita yang positif supaya edisi bulan depan nggak terlalu depresi. Lo bisa kan wawancara ... siapa tuh, yang dapet beasiswa ke Jerman terus ngaku dia gay dan jadi viral?"

"Terra?"

Nico mengangguk. "Gue janjian ketemu sama Valo nanti buat ngasih tahu tampilan kayak apa yang gue mau buat bulan depan. Nanti gue usahain cari berita lain."

"Lo perlu apa lagi dari gue?" tanya Cakra sambil memasukkan notes ke dalam tasnya sembari bersiap pergi.

"Itu aja dulu. Ntar gue kasih tahu kalau ada yang kelupaan."

Begitu dia menyilangkan tas dan berniat membuka pintu, Cakra kembali menatap Nico. "Lo pikirin deh ucapan gue, Nic, oke?"

Nico berdecak, jelas tidak ingin membahas keputusan yang sudah diambilnya. "Udah, lo balik aja sono."

Begitu Cakra meninggalkan ruangan kecil yang menjadi markas BERANDA—buletin berisi informasi yang berhubungan dengan homoseksual di Indonesia—Nico menaikkan kakinya ke atas meja. Mengedarkan pandangan ke ruangan berukuran 5x5 meter yang sudah lebih dari dua tahun ditempatinya, Nico memutar otak bagaimana mendapatkan uang jika dua pria Aceh yang mendapatkan hukum cambuk itu menerima tawaran darinya.

Ketukan pada pintu ruangan kecilnya membuat Nico mengumpat dalam hati saking kagetnya. Setelah mempersilakan siapa pun yang berada di balik pintu untuk masuk, Nico mengalihkan pandangan.

"Nic, lo belum makan siang, kan?"

Melihat Janus, semua umpatan yang ingin dilontarkan Nico dia telan lagi. "Kenapa? Lo mau traktir?"

"Lila bawain lo bekal," ucap Janus sambil mengacungkan tas kanvas yang berisi kotak makan siang.

Senyum Nico mengembang dan tanpa menunggu lama, dia segera bangkit dari kursi untuk menghampiri Janus.

"Istri lo perhatian banget sama gue," balas Nico sambil meraih tas dari tangan Janus. "Mau makan di tempat biasa?"

Janus mengangguk. "Karena lo bakal ngomel nggak bisa ngerokok kalau kita makan di sini."

"That's my boy," ujar Nico sambil menepuk pundak Janus.

***

"Lo masih sering ngisi kolom nggak sih?"

Nico mengangguk. "Masihlah. Mau makan dari mana gue kalau nggak ngisi kolom dan nulis artikel? Cuma itu penghasilan gue. Gue juga masih rajin ngirim tulisan ke media luar meski nggak selalu dimuat."

"Gue pengen banget bisa kayak lo, Nic. Kerja semau lo dan bisa dari mana aja. Penghasilan lo pasti lumayan kalau lo sampai ogah kerja kantoran. Apalagi nama lo udah cukup dikenal di komunitas LGBTQ."

Nico hampir tersedak saat dia berusaha tertawa, lupa sedang mengunyah makanan. "Gue nggak akan ngoreksi opini lo, tapi gue aminin aja. Yang penting gue nggak ngelakuin hal ilegal, Jan."

"Ada berapa kolom sih yang rajin lo isi?"

Nico terlihat menimbang untuk menjawab pertanyaan itu sesederhana mungkin. "Yang rutin cuma The Rainbow. Ada dua atau tiga lagi yang bulanan."

"Materi buat BERANDA bulan depan gimana?"

"Secara garis besar, gue udah tahu apa yang gue mau," jawab Nico sambil menyuapkan telur bumbu balado yang membuatnya mengecap beberapa kali karena campuran pedas dan gurih memuaskan kerinduan Nico akan masakan rumah. Dia sama sekali belum menyinggung kejadian di Aceh dan rencana yang diutarakannya ke Cakra karena malas jika tanggapan Janus tidak jauh berbeda dengan Cakra.

"Tampang lo nggak kayak biasanya. Cakra bawa berita apa?"

"Berita biasa."

"Ada penganiayaan lagi?" Janus tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran. "Kok gue nggak tahu beritanya?"

Nico menghabiskan sisa makan siangnya dalam sekali suap. Begitu lidahnya mengecap rasa terakhir dalam masakan Lila, dia menatap Janus. "Ada dua cowok di Aceh yang kena cambuk karena diduga pacaran."

Janus terdiam sesaat sebelum dia menggeleng heran. "Gue nggak tahu harus sedih atau gregetan. Nggak heran lo keliatan lemes gitu."

Nico tersenyum kecut. "Dan yang gue benci, gue nggak bisa protes di sana atau nuntut pemerintah setempat buat ngehapus hukuman kayak gitu."

"Kalau ada yang bisa gue bantu, lo ngomong aja."

"Thanks."

Sejak mengenal Janus, apalagi setelah dia menempati satu ruangan di sebuah ruko yang disewa pria itu sebagai usaha digital printing, Nico merasa keberuntungan belum menjauhinya. Semua yang telah dilakukan Janus untuknya dan teman-temannya lebih dari yang dibayangkan Nico. Janus menyewakan ruangan di mana Nico bisa membahas BERANDA dan juga aksi-aksi protes dengan teman-teman satu komunitas dengan leluasa. Pria itu juga menghindarkan Nico dari gunjingan warga karena ruko yang disewa Janus sangat sempurna sebagai kamuflase. Terlebih lagi ketika Janus memperkenalkan Lila yang langsung menganggapnya seperti adik, Nico semakin merasa bahwa dia tidak pernah sendiri.

"Lila ke mana?" tanya Nico begitu dia memasukkan kotak makan kosongnya ke dalam tas, berusaha mengalihkan pembicaraan karena membahas apa yang terjadi di Aceh hanya membuat suasana hatinya memburuk.

"Ntar juga dia mampir. Nggak usah kaget kalau dia bawa sesuatu soalnya dia heboh pas tadi nyiapin ini buat lo."

"Andaikan dia bukan bini lo, pasti gue kira dia suka sama gue."

Mereka berdua tertawa, terlebih Janus. "Dia kasian lo nggak ada yang ngurusin. Lila bilang, kalau lo punya cowok, pasti bakal keurus dikit."

Nico mendengus keras. "Emangnya kalau gue punya cowok, dia bakal ngurusin gue? Nggak jamin. Ngapain juga gue punya cowok kalau bini lo aja peduli banget sama gue?"

"Sialan, lo!" seru Janus sambil meninju lengan Nico.

***

Nico langsung bangkit dari kursi begitu melihat Valo menghampiri mejanya. Nico sebetulnya enggan bertemu di salah satu kafe yang lokasinya berada di dalam mal. Namun itulah satu-satunya lokasi terdekat dari tempat kerja Valo hingga dia tidak punya pilihan. Berada di dalam bangunan yang penuh dengan konsumerisme membuatnya ingat dengan pria yang tidak lagi bisa disebutnya sebagai ayah.

Setelah mereka saling berpelukan dan bertukar sapa, Nico langsung mengomentari penampilan Valo, "Ini pertama kalinya gue liat lo rapi begini. Biasanya juga cuma pake kaos dan celana pendek."

Valo tergelak. "Salah siapa ngajak ketemuan pas weekday, jadi aku pasti begini tampilannya. Apalagi aku nggak sempet pulang buat ganti baju." Dia kemudian mengeluarkan laptop dan menyalakannya setelah duduk. "Kamu cuma mau bahas soal konsep, kan?"

Nico mengangguk. "Gue mau BERANDA bulan depan agak gloomy karena banyak berita yang nggak nyenengin."

Valo mengerutkan dahi. "Apakah ada berita selain Jacinda yang aku nggak tahu?"

"Ada pencambukan lagi di Aceh." Nico merasa tidak perlu menjelaskan siapa yang menjadi korban. "Gue pengen nuansanya sendu, tapi jangan terlalu muram."

"Aku bisa pake warna-warna gelap selain abu-abu." Valo mengarahkan laptopnya agar bisa mereka lihat berdua. "Warna-warna kayak gini?" tanyanya sambil menunjuk deretan warna gelap yang bagi Nico terlihat sama saja di matanya.

"Lo lebih tahu mana yang pantes atau nggak, Val. Gue yakin lo bisa bikin tampilan BERANDA seperti yang gue pengen."

Valo mengamati Nico yang terlihat tidak bersemangat. "Mood kamu lagi jelek, ya?"

Nico mendesah pelan. "Gue nggak bisa ngapa-ngapain kalau kejadiannya udah di Aceh."

"Memangnya ada kewajiban buat kamu melakukan sesuatu?"

Pertanyaan itu seperti memancing emosi yang ditahan Nico sesiangan ini. Dia memandang sinis Valo sebelum mengeluarkan tawa mengejek. "Gue tahu lo punya pendidikan dan pekerjaan mentereng, Val, dan gue juga tahu lo bukan orang goblok. Lo mungkin bisa nyembunyiin seksualitas di balik semua yang lo punya karena lo punya imej buat dijaga. Gue emang nggak bisa ngubah hukum di sana atau protes dengan bilang nyambuk orang karena sesuatu yang nggak mereka pilih itu barbar, tapi bukan berarti gue bakal diem aja. Lo mungkin bisa nggak ngelakuin apa-apa, tapi gue nggak bisa."

"Kok jadi ngelantur ke mana-mana?" protes Valo yang terlihat tidak terima dengan tuduhan Nico. "I simply asked you a question."

"Buat lo, apa yang gue lakuin selama ini mungkin sia-sia. Lo mungkin nganggep gue manusia paling goblok karena ngebuang kesempatan buat jadi budak korporasi kayak lo. But you know what? Gue lebih milih jadi kayak gini daripada harus pura-pura di depan banyak orang dan hidup nyaman, tapi tiap hari diliputi cemas. Nyadar atau nggak, hidup lo bergantung sama persepsi orang soal lo. Lo terlalu takut bahwa imej yang selama ada di kepala orang tentang lo bakal rusak kalau lo coming out." Nico mengambil napas, tidak peduli jika Valo mulai merasa tidak nyaman dengan ucapannya. "Gue nggak pernah berhenti ngebayangin lo jujur soal seksualitas lo di depan banyak orang, Val. Gue ngebayangin lo jadi role model buat mereka yang masih bingung sama seksualitasnya. Lo juga bisa ngasih bukti bahwa gay juga bisa punya prestasi dan kerjaan mentereng kayak lo. Lo nggak tahu betapa pentingnya itu buat komunitas LGBTQ di sini. They will know that your sexuality doesn't define your intelligence or your ability to get a good position. Tapi lo terlalu takut kehilangan semua yang lo bangun selama ini dengan ngebohongin banyak orang. You build your life on lies, Val, and you get too comfortable with it."

"You haven't changed, have you? Kamu masih ngeliat mereka yang belum coming out sebagai pecundang dan penakut. Justru karena aku nggak ngumumin ke semua orang tentang seksualitasku, aku bisa ngasih kontribusi yang lebih punya arti. Kamu dapet apa selama ini protes di jalan? You can do so much better than this, Nic."

"Lo lupain aja kita pernah ngobrol dan ketemu hari ini," tukas Nico sambil mengeluarkan satu lembar 50 ribuan untuk kopi yang dinikmatinya selama menunggu Valo dan meletakkannya di atas meja. "Pikiran lo udah kemakan sama duit dan imej sampai lo lupa bahwa kalau lo mati, lo nggak bakal bawa duit ke kuburan. Gue nggak paham kenapa lo mau orang nginget topeng yang lo pasang daripada siapa lo sebenernya."

Dengan kalimat itu, Nico beranjak meninggalkan Valo.

Dia tidak peduli jika ucapannya kali ini menyakiti Valo. Satu yang tidak bisa Nico toleransi adalah kebohongan, terlebih jika kebohongan itu untuk menutupi sesuatu yang bukan pilihan. Baginya lebih baik menjadi diri sendiri dan terasing daripada mendapatkan banyak pujian dan nama dari topeng yang dikenakan.


(1) Media LGBTQ yang paling terkenal di Amerika, didirikan tahun 1967.



***

Dear all,

Maafkan saya yang nggak bisa menuhin janji buat update ini seminggu sekali, huhuhu. Saya beneran struggling dengan cerita ini. Kalau cerita lain saya bisa dapet satu bab dalam sekali duduk, buat cerita ini bisa berkali-kali duduk buat menyelesaikan satu bab. Selain itu, cerita lain saya bisa nyelesain satu bab dalam sehari, buat ini bahkan bisa nyampe seminggu buat ngelarin satu bab, hiks. Mungkin temanya yang berat atau saya yang emang saya aja yang kurang bisa fokus.

Rencananya saya pengen ngikutin ini di Wattys 2018, tapi salah satu persyaratannya harus udah ada 5 bab, sedangkan Wattys 2018 ditutup minggu depan. Jadi saya usahain ada satu atau dua bab lagi yang akan saya unggah sebelum pendaftaran ditutup. Saya sih nggak berharap apa-apa selain buat seru-seruan karena pemenang Wattys Indonesia juga jarang yang bertema gay. Semoga tingkat kemalasan saya bisa dikurangi minggu ini. Ganbatte!

Jujur, saya agak was-was karena cerita ini sangat dekat dengan kondisi LGBTQ di sini. Nggak tahu kenapa, saya ngerasa cerita ini akan jadi cerita yang sangat soul fulfilling buat saya. Karena kalau saya bisa ngelarin cerita ini, saya bakal ngerasa lega luar biasa. Setelah 4 tahun dipendam, akhirnya keluar juga.

Anyway, I hope you enjoyed this part and let me know what you think. Meanwhile, have a great week, everyone

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro