4 - NOSTALGIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nico hampir saja membatalkan janji makan malamnya dengan Eli. Bukan hanya karena keengganan untuk bertemu Mamanya masih cukup besar, tetapi ketakutan akan peristiwa yang terjadi pada Jacinda akan menimpa teman-temannya yang lain masih belum mampu dia tepis. Dia justru khawatir kekalutan yang memenuhi pikirannya akan merusak makan malam mereka. Namun jika dia mangkir, Eli tidak akan segan menyeretnya dengan paksa ke Pomodoro.

Begitu turun dari taksi—agar tidak membuat blazer yang dipakainya kusut—Nico menelan ludah. Sudah lama dia mati-matian menghindari restoran yang sekarang ada di hadapannya atas nama gengsi. Mushroom creamy pasta khas Pomodoro yang selalu berhasil memanjakan lidahnya, berhasil dia tahan agar dia terhindar dari perasaan sentimental yang pasti menghampiri.

Nico rela menahan keinginan yang muncul setiap melewati restoran yang pernah menjadi favoritnya ini. Menginjakkan kaki di Pomodoro tidak berbeda dengan memasukkan kakinya ke dalam kubangan masa lalu yang telah dia tinggalkan saat menanggalkan nama Witeja.

Restoran ini terlalu banyak menyaksikan tawa dan kebahagiaannya bersama pria yang sekarang dia benci setengah mati. Sebagian besar ulang tahunnya selalu dirayakan di Pomodoro, termasuk saat dia akan bertolak ke Boston untuk melanjutkan kuliah sepuluh tahun lalu, yang merupakan terakhir kali Nico menginjakkan kaki di tempat ini. Berdiri di depan restoran yang menurutnya tidak mengalami perubahan sedikit pun, Nico seperti diingatkan bahwa tahun-tahun yang dia jalani tanpa menjadi bagian dari nama besar Witeja telah mengubah persepsinya tentang bangunan yang didominasi warna hijau tersebut. Bahkan tawaran-tawaran Eli untuk makan di sini selalu dia tolak dengan bermacam alasan.

Dengan gugup, dia merapikan kerah blazer yang sama sekali tidak membuatnya nyaman, dan berjalan pelan menghampiri pintu masuk. Nico sengaja bercukur, merapikan rambut ikalnya agar tidak terlihat awut-awutan, dan memadukan blazer dari Pinus dengan kaus biru tua demi menuruti keinginan Eli. Menarik napas panjang, dia mendekati wanita muda yang sedang berdiri di balik pintu masuk.

Begitu dia menyebut nama Eli, wanita berana Ana tersebut mengembangkan senyum dan meminta Nico mengikutinya.

Nostalgia mulai merayapi kakinya yang menyusuri Pomodoro dan dia berharap kepalan tangannya mampu menghindarkan kenangan-kenangan yang telah terekam di tempat ini meruntuhkan tembok yang susah payah dia bangun.

Jantung Nico berdegup semakin kencang ketika bayangan Eli dan sang Mama mulai tertangkap matanya. Terlebih ketika dua wanita berbeda usia itu mengangkat wajah pada saat yang bersamaan, bulir-bulir keringat semakin derasa mengaliri punggung Nico. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali mengumpat sekeras mungkin dalam hati. Eli jelas terlihat sumingrah. Rambut sebahunya bergoyang dibarengi dengan senyum lebar yang dengan sempurna dia tampilkan.

Nico mengamati mamanya terlihat tanpa ekspresi. Tidak ada senyum, tidak ada gerakan sedikit pun kecuali matanya yang mengerjap beberapa kali. Rambut abu-abunya disanggul sederhana dan dandanannya pun jauh dari kesan menor. Nico yakin tidak ada yang mengira bahwa wanita di akhir 50-an itu adalah istri Alfian Witeja, nama yang tidak pernah absen dari halaman-halaman media bisnis Indonesia. Siapa pun tidak akan percaya bahwa istri seorang pebisnis kelas kakap bernama Citra Witeja tampil sesederhana ini di tempat umum.

Witeja ... nama yang dengan sengaja Nico hapus dari hidup demi menuruti keinginan hati.

"Mas Nico," sapa Eli yang segera bangkit dari kursi dan tanpa canggung langsung memeluk dan mencium kedua pipi kakaknya. "Lo keliatan ganteng banget sih, Mas. Coba tiap hari tampilan lo kayak gini, pasti lo udah ditaksir banyak cowok," puji Eli sambil menyapu blazer Nico.

Nico hanya tersenyum tipis menanggapi pujian adiknya. Lengan Nico ingin menahan Eli lebih lama agar dia bisa mengulur waktu untuk menyapa mamanya, tetapi Eli dengan cerdik membaca niat kakaknya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan Nico dan kembali duduk.

Nico masih tegak berdiri tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.

Ada begitu banyak alternatif yang bisa dia pilih. Dia bisa langsung duduk dan menganggap wanita yang duduk di hadapan Eli itu bukanlah sosok yang sudah tujuh tahun tidak dia jumpai. Atau dia bisa bersikap normal seperti ketika semuanya masih baik-baik saja, menganggap kepergiannya dari rumah bukanlah sesuatu yang mencoreng nama besar Witeja. Atau dia bisa dengan gesit membalikkan badan dan meninggalkan tempat ini. Semuanya tampak menggoda. Namun Nico justru memilih kemungkinan yang tidak ada di pikirannya. Dengan langkah mantap, dia menghampiri mamanya dan mengecup pipi wanita itu.

Sepersekian detik kulit mereka bersentuhan, Nico kembali menekan rindu yang mulai mengeratkan kekangan. Ketika tidak mendapatkan respon, Nico menelan ludah dan mundur perlahan. Jika bukan Eli yang meraih pergelangan tangan Nico untuk membantunya duduk, dia akan menjalankan niat untuk keluar dari Pomodoro.

Namun saat merasakan tangannya diremas Eli dengan kuat, Nico memutuskan untuk tinggal. Eli adalah satu-satunya manusia yang Nico rela jika dia harus kehilangan nyawa. Rasa sayangnya kepada Eli tidak pernah pudar sekalipun perbedaan pendapat di antara mereka lebih sering mempertegang hubungan kakak-adik. Nico berkali-kali meyakinkan diri bahwa dia di sini karena dan untuk Eli.

"Mama kok diem? Katanya kangen Mas Nico. Ini orangnya udah rapi dan ganteng begini malah diem. Disapa juga nggak," gerutu Eli.

Nico melirik Eli, berharap adiknya tidak lagi memancing reaksi mamanya. Dia ingin menunggu mamanya membuka percakapan tanpa campur tangan Eli. Namun terlambat.

"Anak Mama sehat kan?"

Pertanyaan sederhana itu mampu membuat tubuh Nico gemetar meski mesin pendingin ruangan di tempat ini tidak disetel begitu dingin.

Ketika tatapannya dan Eli bertemu, Nico mengangguk. "Sehat, Ma. Mama sendiri?" tanyanya datar, berusaha tidak menunjukkan rindu yang terpendam.

"Cuma kangen anak Mama yang nggak pernah mau pulang ini."

Salah satu alasan Nico tidak pernah mengiyakan ajakan Eli untuk makan malam dengan mamanya adalah mendengar kalimat seperti itu. Cara mamanya mengucapkan kalimat yang bagi orang lain terdengar biasa selalu berhasil menimbulkan resah dalam hati Nico. Bukan hanya kangen yang tersirat, tetapi juga kesedihan yang sulit disamarkan dari pendengaran. Nico tidak pernah nyaman merasakannya. Dia menggigit bibir bawahnya, menyadari ucapan Eli saat mengajukan ide ini—bahwa dia selalu punya soft spot untuk mamanya—bukanlah omong kosong.

"Nico nggak ke mana-mana, Ma. Masih di sini," jawabnya setelah cukup lama diam dan memikirkan jawaban paling tepat.

"Tapi kamu nggak pernah pulang. Bahkan kamu udah berhenti ngucapin ulang tahun ke Mama."

Nico terdiam. Lagi-lagi, sentimentalitas itu menertawainya dari segala penjuru.

Tiga tahun pertama sejak tidak lagi ingin dikaitkan dengan nama Witeja, tidak sekali pun Nico melewatkan hari paling istimewa bagi mamanya. Selain ucapan ulang tahun, Nico selalu mengirimkan bunga. Namun setelah Eli dengan terpaksa menceritakan konsekuensi dari tindakan itu, Nico memutus semua komunikasi dengan mamanya meski hatinya terasa berat. Waktu berhasil melupakan perih itu dan melewatkan ulang tahun wanita yang telah melahirkannya tidak lagi dibarengi dengan perasaan sesal.

"Nico cuma nggak mau Mama kenapa-kenapa."

Senyum pertama yang diberikan mamanya justru senyum yang tidak ingin dilihat Nico. Senyum pasrah dan menyerah yang selalu muncul acap kali Alfian Witeja sudah berkehendak. "Udah puluhan tahu Mama ngadepin Papa soal kamu dan Eli. Nggak ada bedanya sekarang. Mama nggak pernah keberatan kenapa-kenapa buat anak-anak Mama."

Nico menggeser duduk karena ketidaknyamanan itu semakin menyesakkan dada. Ketika dia tidak mampu lagi menahannya, seperti pengecut, dia menjadikan toilet sebagai tempat untuk menormalkan tatanan emosi.

Sesampainya di toilet, keinginan Nico untuk mengarahkan kepalan tangan pada kaca di depannya begitu sulit dibendung. Jika ini adalah toiletnya sendiri, dia tidak akan pikir panjang. Alih-alih, dia memercikkan air dingin ke mukanya dengan kasar sembari mengeluarkan umpatan-umpatan yang sedari tadi hanya bisa dia luapkan dalam hati. Dengan keras, dia memukul marmer di samping wastafel, tidak peduli dengan cipratan air dari tangannya yang masih sangat basah. Mengabaikan ngilu yang di tangannya, Nico membasahi wajahnya.

"Lo bisa ngelewatin ini, Nico."

Begitu selesai, dia menarik napas panjang sembari mengeringkan tangan tanpa peduli jika tisu di tangannya hancur. Dia bahkan tidak lagi acuh dengan beberapa noda air yang tampak jelas pada kaus dan blazernya.

Namun saat melihat kursi yang ditempati Eli kosong, emosi yang berhasil ditumpahkannya tadi kembali menguasai. Melangkah sepelan mungkin, dia mengembuskan napas lega saat menemukan clutch Eli masih tergeletak di atas meja. Bayangan bahwa dia harus duduk berdua dengan mamanya membuat Nico linglung.

Karena bersikeras untuk tidak memulai obrolan, tangan Nico meraih gelas berisi air mineral meski tenggorokannya jauh dari kata kering.

"Mama sempet baca ada ribut-ribut pas kalian protes beberapa bulan lalu. Ada yang melempari kalian dengan kerikil. Kamu baik-baik saja, kan?"

Sekalipun diucapkan sangat pelan, Nico tidak menyangka mamanya mengikuti berita tentang aktivitas yang dianggap kotoran oleh Alfian Witeja. Dia beruntung jahitan di pelipisnya tidak meninggalkan bekas sehingga dia tidak harus memberikan penjelasan panjang.

Dia mengangguk saat melihat mamanya masih menunggu jawaban.

"Mama nggak pernah melewatkan berita kalau ada kamu, Nico. Adikmu juga selalu ngasih tahu Mama, termasuk soal Aceh. Mama berharap kamu nggak nekat ke sana. Jangan ke sana, ya? Mama tahu kamu lebih peduli dengan kondisi orang lain daripada diri sendiri, tapi kamu harus mulai sadar bahwa kalau kamu kenapa-kenapa, perjuangan kamu akan sia-sia."

Lagi-lagi Nico hanya mampu mengangguk meski kalimat tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diucapkan Raja beberapa waktu lalu. Ingin rasanya dia mengungkapkan kebahagiaan yang menyelimutinya ketika dua hari lalu Cakra memberikan kontak dua pria dari Aceh yang sempat dia minta.

"Papa nggak di sini, Nico. Nggak akan ada yang motong atau membantah ucapan kamu. Kamu bisa cerita apa saja. Mama kangen kamu cerita."

Ketidaknyamanan Nico semakin terlihat ketika Eli belum juga kembali. Selama adiknya masih berada entah di mana, Nico akan terus gelisah. "Nggak ada yang bisa Nico ceritain, Ma, kalau Eli udah cerita semuanya," balas Nico singkat.

"Eli cerita rumah kamu berantakan. Mama suruh Bik Min ke sana buat bersih-bersih dan masakin kamu, ya? Jangan makan di luar terus."

Nico menggeleng mantap. "Nggak perlu, Ma. Nico masih mampu bersih-bersih sendiri."

Suaranya pasti terdengar terlalu tegas hingga balasan yang diberikan mamanya hanyalah pesan agar dia berhati-hati.

"Kok belum pesen?"

Tidak pernah Nico selega ini mendengar suara Eli yang datang menyelamatkan dirinya dari situasi yang canggung. "Gue nggak tahu lo mau makan apa," tandas Nico.

Sengaja atau tidak, Nico menggunakan kalimat yang dulu mati-matian ditentang Alfian Witeja. Bagi pria itu, sapaan informal yang dia pakai dengan Eli serta kata-kata informal lainnya—apalagi umpatan—tidak pantas diselipkan dalam percakapan dua orang Witeja. Namun seperti ditantang, Nico justru dengan sengaja menggunakan bahasa seinformal mungkin di depan Alfian Witeja untuk menunjukkan dia bukan lagi bocah belasan tahun yang bisa didikte. Eli sempat takut untuk menentang papanya, tetapi setelah lulus SMA—terlebih setelah dia mengambil jurusan hukum—sikap Eli berubah drastis. Mungkin Eli sengaja melakukannya karena tahu bahwa papanya adalah satu-satunya orang yang tidak akan bisa menyakitinya meski dengan kata-kata.

"Kakak macem apa lo nggak inget makanan favorit adik satu-satunya?" Eli berdecak lantas menyambar buku menu yang sudah tergeletak di meja entah sejak kapan. Dia langsung membuka dan menelusuri menu. "Mas Nico mau mushroom creamy pasta, kan?" tebaknya.

Nico mengangguk. Akan lebih mudah membiarkan Eli menyetir makan malam ini. Yang perlu dilakukan Nico hanyalah mengikuti kemauan Eli.

"Mama pengen makan apa?"

"Apa saja, Eli."

Tatapan Nico kembali bertemu dengan mamanya, dan dengan cepat, dia mengalihkan pandangan ke kegelapan di luar. Dia mengabaikan setiap kalimat yang meluncur dari bibir Eli sementara tangan adiknya masih sibuk membolak-balik menu.

Nico pun bersumpah bahwa ini adalah terakhir kali dia menyetujui ajakan Eli untuk makan dengan mamanya. Dia tidak lagi menginginkan perasaan resah yang membuntutinya sejak meninggalkan rumah. Nico hanya berharap waktu berjalan dengan cepat hingga dia bisa segera hengkang dari Pomodoro.

***

Dear all,

Saya update dua bab ya? Hopefullt you will enjoy the double update :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro