13 - KALAH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nico mengatur buku yang masih tertumpuk di atas meja kerja ke rak berdasarkan judul sambil sesekali bersenandung pelan. Sejak menempati kembali rumah yang telah ditinggalkannya selama tiga bulan, Nico merasa perlu mengubah letak beberapa perabot untuk memberinya kesan segar. Tidak hanya mengganti warna cat dinding, dia juga membeli sofa dan gorden baru. Dia pun membeli piring, gelas, dan mangkuk dalam jumlah kecil agar tidak memakan banyak tempat. Dengan bantuan Lila, dia benar-benar mendekor ulang rumah ini untuk menghilangkan memori malam itu. Rumahnya terlihat lebih rapi dan luas.

Tidak ada yang lebih dirindukan Nico selain tidur di kamarnya sendiri. Apartemen yang memberi keamanan ganda—terlebih setelah kejadian yang menimpanya—tetap tidak mampu menggantikan suasana rumah yang begitu dia rindukan. Meyakinkan teman-temannya bahwa kondisi sudah cukup aman, Nico dengan tekad kuat menolak peristiwa penganiayaan yang dia alami mengatur hidupnya. Meski sempat ditentang Alan, tidak ada yang mampu menghalangi Nico untuk pulang. Tidak adanya tragedi yang menghampiri komunitas LGBTQ membuat Nico yakin bahwa keadaan sudah kembali normal.

Keluar dari apartemen adalah salah satu cara Nico agar tidak membiarkan Raja menempati sebagian besar porsi pikirannya. Sejak kejadian siang itu, Nico memilih untuk fokus dengan BERANDA dan menulis. Dia perlu mengklaim kembali keberanian yang sempat tercerai akibat peristiwa malam itu dan Nico tidak menyukai dirinya saat tinggal di apartemen. Dia merasa berubah menjadi sosok yang bergantung pada orang lain. Tidak ada yang lebih menyenggol ego seorang Nichlas Mahendra selain harus menyandarkan harapan pada manusia lain.

Raja menepati janji untuk tidak lagi datang menemuinya, tetapi pria itu masih cukup rajin mengirimi Nico pesan singkat—yang tentu saja dia abaikan. Seperti karma, Nico mendapat perlakuan serupa dari Eli. Pesan-pesannya tidak mendapatkan balasan, bahkan ketika Nico mengabari dia akan pergi dari apartemen. Meski resah sempat menguasai, Nico berusaha untuk menanamkan semua kemungkinan positif tentang dua orang yang sebelumnya rajin menanyakan kabarnya. Moto no news is good news benar-benar dia yakini sepenuh hati.

Satu yang tidak bisa beranjak dari benaknya adalah ultimatum Eli. Adiknya tidak pernah memberikan ultimatum seperti itu, terlebih demi seorang pria. Logikanya gagal menemukan alasan pasti atas sikap Eli. Satu-satunya yang bisa dia percayai sebagai kemungkinan terbesar adalah Eli sudah sangat lelah melihatnya berganti pria tanpa ada niat untuk menjalani hubungan dengan serius. Jika yang melakukan ini adalah teman-teman terdekatnya, Nico jelas tidak akan peduli. Bagi Nico, prinsip hidupnya tidak bisa ditawar meski untuk itu dia harus kehilangan banyak teman. Namun Eli bukan orang lain. Eli terlalu mengenalnya hingga setiap sikap dan reaksi yang diberikan oleh adiknya selalu berdasarkan alasan yang jelas, bukan semata-mata karena emosi.

Nico terdiam saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Meletakkan kembali buku yang sudah dipegangnya ke atas meja, dia bergegas keluar kamar untuk mengetahui siapa yang datang. Lama tidak mendengar bunyi serupa saat tinggal di apartemen, Nico bereaksi dengan cepat karena ketakutan itu masih mampu menguntitnya. Dia jelas tidak mengharapkan siapa pun datang ke rumah tanpa memberi kabar lebih dulu. Dengan langkah penasaran, dia menuju pintu dan belum sempat dia mengintip melalui gorden, pintunya sudah digedor. Begitu membuka pintu, Nico langsung disambut oleh kemarahan adiknya melalui tatapan.

Nico jelas tidak menduga sikap itu yang ditunjukkan Eli saat mereka lama tidak berjumpa. Ada rindu yang ingin dia sampaikan lewat pelukan, tapi adiknya jelas tidak sedang dalam suasana hati yang mendukung. Nico terlalu kaget dengan sambutan yang diterimanya hingga dia hanya bisa berdiri tertegun.

"Lo baca koran hari ini nggak?"

Belum sempat membuka mulut, Eli sudah menyodorkan surat kabar di hadapannya dengan kasar. Kebingungan semakin menguasai Nico karena sikap Eli yang begitu agresif dan mendesak. Jika ada berita yang berhubungan dengan komunitas LGBTQ, dia pasti akan mendengarnya dari Alan atau teman-temannya yang lain. Kabar yang ingin disampaikan Eli jelas tidak bersinggungan dengan komunitasnya.

Nico meraih surat kabar itu dan matanya dengan cekatan menelusuri tiap tajuk berita, tapi dia tidak menemukan judul yang membuat Eli repot-repot datang ke sini, melanggar ucapannya sendiri saat mereka berargumen soal Raja. Terlebih dia tidak paham berita mana yang dimaksud Eli.

Tangan Eli lantas menunjuk satu tajuk dengan tidak sabar dan tanpa mengangkat muka, Nico langsung membacanya.

Diduga Kelelahan, Pengemudi Range Rover Tabrak Motor Di Pondok Indah

Berita Ibukota, Jakarta. Sebuah kecelakaan terjadi tadi malam di kawasan Pondok Indah, tepatnya di depan Masjid Pondok Indah. Diduga kelelahan, AW (37) yang mengemudikan Range Rover bernomor polisi B 2090 KFD ini menabrak pengemudi motor yang diketahui merupakan pasangan suami istri.

Catur (29), korban yang mengendarai sebuah Yamaha Mio sampai saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, sementara sang istri, Rani (26), meninggal di tempat. Sampai berita ini diturunkan, AW yang merupakan pemilik sebuah butik jas pria di kawasan Menteng, masih menjalani pemeriksaan.

Tangan Nico langsung gemetar tanpa bisa dia kendalikan begitu selesai membaca isi tajuk itu. Selama sekian detik, Nico sempat berjuang untuk memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya. Sesuatu dalam tubuhnya jelas bereaksi dengan hebat. Dia mengerjap, seperti ingin memastikan berita yang baru dibacanya bukanlah sesuatu yang nyata. Meski masih menekuri surat kabar itu, Nico tidak kuat jika harus memasukkan kembali setiap kalimat ke dalam otaknya. Dia tahu tidak akan ada yang berubah sekalipun dia membacanya ratusan kali. Ronge Rover, inisial AW, serta butik jas yang disebutkan cukup membuat Nico tahu nama pria yang dimaksud.

Dia mengangkat wajah dan menatap Eli yang masih berdiri dan menyilangkan lengan. Wajahnya masih terlihat masam dan ada kemarahan yang siap untuk diluapkan. Dikembalikannya surat kabar itu sebelum dia bisa bersuara. "So?"

"So? Itu reaksi lo, Mas?" Eli menggeleng mantap. "You're unbelievable!" Tanpa menunggu, Eli langsung masuk ke rumah, meninggalkan Nico yang masih berdiri di ambang pintu. "Gue berharap, selama ini kita nggak ketemu cukup bikin lo sadar bahwa gue serius soal ultimatum gue. Tapi ternyata gue salah." Eli menggelengkan kepala dengan heran. "You're still too proud to admit that you love him." Dia lantas berjalan menghampiri Nico dan menatap wajah kakaknya. "Gue sempet berpikir bahwa lo bakal panik begitu liat berita ini. Tapi lagi-lagi, gue keliru. Bahkan simpati aja nggak bisa gue dapet dari lo soal ini. Lo itu manusia atau bukan, sih?" Eli tidak lagi mampu menahan emosi. "Lo keterlaluan, Mas."

Nico menghela napas sebelum bertanya, "Lo mau gue bersikap kayak apa, El?"

"Seenggaknya, lo bisa pura-pura peduli biar gue tahu kalau kakak gue masih manusia yang punya perasaan."

Eli melangkah ke dapur dan menyambar gelas dari rak sebelum mengisinya dengan air putih dingin. Dia menandaskannya dengan sekali teguk lantas memusatkan pandangannya kembali ke Nico.

"Gue yakin Raja pasti tanggung jawab. Gue nggak mikirin ganti rugi yang bakal dia bayar, tapi gue nggak yakin polisi bakal ngelepasin kasus ini begitu saja, nggak peduli sikap damai yang dia tunjukkin. Dia bakal tetep kena pasal," cerocos Eli meski Nico tidak menuntut penjelasan.

"Jadi dia bakal dipenjara? Berapa lama?"

Tatapan yang diberikan Eli seperti ingin kakaknya mengingat setiap kata yang akan diucapkannya. "Gue sempet nanya sama temen-temen di kantor. Hukuman maksimalnya adalah 6 tahun, tapi kalau Raja mau—dan gue yakin pasti—ganti rugi, bisa aja hukumannya nggak akan selama itu."

Nico hanya bisa mengangguk paham. Kepanikan sesaat yang dirasakannya tadi sudah mulai mereda.

"Gue bakal cari tahu soal dia dan lo jadi orang pertama yang bakal gue kasih tahu. Tapi lo nggak usah berharap banyak dia bakal lepas," ujar Eli lagi.

"Dan gue yakin, dia bakal bersikap kayak malaikat dengan ngaku salah," balas Nico dengan nada mengejek yang tidak ditujukannya buat siapa-siapa. "Gue nggak berharap dia lepas karena gue yakin, dia bakal diliputi perasaan bersalah dan nerima hukuman itu sebagai konsekuensi yang harus dia bayar. Gue juga nggak akan kaget kalau dia nolak ditemani pengacara." Nico menggeleng sambil menghampiri adiknya yang masih belum juga duduk. "Dengan ini, dia nggak bakal nemuin gue lagi," kata Nico sebelum memandang Eli. "Dan gue jelas nggak berniat nunggu sampai dia bebas. Gue—"

"Are you fucking out of your mind?!" pekik Eli. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa semua kemarahan akan segera mencapai puncaknya. "Lo masih mikirin diri lo sendiri setelah tahu kemungkinan Raja bakal dipenjara? Lo bener-bener udah berubah jadi manusia yang nggak gue kenal, Mas. Gue nggak tahu kepergian lo dari rumah justru bikin kepala lo jadi sekeras batu gini. Lo apa masih nganggep Raja orang asing sekalipun dia yang nolongin lo malam itu? Setelah apa yang dia lakuin buat mastiin lo baik-baik aja? He loves you, for fuck's sake! Lo sampai kapan sih mau jadi begini terus?" Eli menggeleng mantap. "Lo mikirin Nina nggak? Lo mikir nggak, hidup dia bakal kayak apa kalau tahu papanya sampai masuk penjara?" Eli lantas berjalan menuju pintu dengan mata memerah dan napas memburu. Sebelum mencapai pintu, dia berbalik. "Gue ngerasa nggak kenal sama Nico yang selama ini gue anggep sebagai kakak paling berani sedunia. Yang ada, dia pengecut paling luar biasa yang pernah gue kenal."

"Lo mau gue ngapain, hah?!" balas Nico ketika dia tidak mampu lagi menerima semua yang dituduhkan Eli. Wajahnya tidak kalah merah karena emosi. "We're both adults, Eli, and we deal things differently. Lo mau gue ngapain kalau Raja maunya dipenjara? Ngemis ke dia supaya mikirin Nina atau bahkan gue? Sori, tapi gue nggak akan ngelakuin itu." Nico menarik napas untuk mengurangi kemarahannya, tetapi usahanya sia-sia. "Lo nggak tahu apa yang gue rasain dan gue nggak perlu ngumbar ke setiap orang soal perasaan gue, termasuk lo. Apa yang terjadi sama kami nggak ada urusa—"

"Lo bener. Gue atau temen-temen lo emang nggak berhak nyampurin urusan lo sama Raja, tapi gue bukan orang lain dan sekuat apa pun gue berusaha buat nggak nimbrung, gue nggak bisa. Gue nggak mau lo nyimpen benci terus-terusan di hati lo sama Papa dan jadiin cowok-cowok yang nggak tahu apa-apa korban keegoisan lo. You need to grow some balls, Mas. Gue nggak bakal gini kalau Raja orangnya sebrengsek lo, tapi karena dia sayang sama lo, gue nggak akan ngebiarin lo ngelepasin dia, terlebih setelah gue tahu, lo juga punya perasaan yang sama."

"That's bullshit, Eli. Gue nggak—" tukas Nico.

"Yang bullshit itu adalah lo ngebohongin hati lo sendiri, Mas!" Eli kembali mendekati Nico dan mengacungkan jarinya di depan wajah Nico. "Gue bakal ngelakuin apa aja supaya lo berhenti ngelakuin itu, termasuk ngasih lo ultimatum." Dengan wajah lelah, dia menatap Nico. "Lo bakal berterima kasih sama gue nanti. Gue bakal tetep kabarin lo soal Raja kalau gue punya informasi, dan kalau lo tetep nggak peduli sama dia, anggep aja lo nggak punya adik."

Dengan kalimat itu, Eli dengan cepat membalikkan badan dan menghampiri pintu dengan langkah tergesa. Dia bahkan tidak membunyikan klakson saat mobilnya meninggalkan halaman rumah Nico.

Mengabaikan logika dan menuruti nafsu, Nico menjadikan tembok di sebelahnya sebagai sasaran untuk melampiaskan semua yang tidak mampu dikatakannya di depan Eli. Tidak peduli jika buku-buku jarinya memar, dia memukuli tembok itu sekuat tenaga hingga napasnya terengah-engah.

Perlahan tubuhnya lunglai dan tidak lagi punya kekuatan, air mata Nico mengalir.

Nico tahu dia telah kalah oleh perasaannya sendiri. Di hadapan tembok yang menjadi satu-satunya saksi, Nico mengakui perasaannya terhadap Raja yang selama ini dia tangkis. Isakannya seperti menunjukkan bahwa dia memang telah kalah dengan telak.

***

Sembari mengompres buku jarinya dengan es, Nico duduk di ruang tamu dalam kegelapan. Di hadapannya terjejer tiga botol bir yang sudah dia habiskan demi sedikit mengalihkan pikiran dari Raja. Namun usahanya sia-sia. Benaknya justru semakin dipenuhi oleh pria itu dan ucapan Eli yang bergaung hebat di telinganya.

Nico yakin tidak ada yang berani mendorongnya sampai ke pojok seperti yang dilakukan Eli, terlebih untuk masalah yang berhubungan dengan hati. Dia terlalu terbiasa dengan sikap mundur teratur yang diambil teman-temannya hingga ketika Eli medesaknya ke sudut, Nico tidak punya cara untuk bereaksi. Usahanya untuk tetap tegar justru membuat adiknya semakin beringas mencecarnya.

Mengembuskan napas panjang, Nico mengusap wajahnya dengan satu tangan sembari memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk mencegah Raja menerima hukuman demi membayar rasa bersalah yang pasti memenuhi benak pria itu. Dia bahkan tidak tahu kondisi dan posisi Raja saat ini. Meski bisa mengandalkan teman-temannya untuk membantu melacak pria itu, Nico tidak akan meminta bantuan mereka kecuali dia tidak punya pilihan lain. Saat ini, dia masih punya pilihan.

Diraihnya ponsel yang sejak tadi dia matikan untuk menghindari siapa pun menghubunginya. Nico mengabaikan pesan yang masuk secara beruntun dan langsung mencari satu kontak yang sudah sangat lama dia biarkan tersimpan tanpa ada niat untuk memulai komunikasi. Dia menarik napas sebelum menekan tombol call dan berharap keputusannya memanggil nomor ini bukanlah sebuah kesalahan.

***

Dear all,

Semoga update kali ini bisa menghibur kalian di hari libur ini #halah

Sejak nulis UNENDING, bab ini buat saya adalah yang paling bikin capek secara emosi. Nggak tahu kenapa. Saya ngerasa interaksi Eli dan Nico di sini intense banget. I hope you all enjoyed this part.

Oh ya, saya udah edit lagi bab-bab sebelumnya. Nggak banyak perubahan sih, cuma dirapiin aja. Belum semuanya, tapi saya harap versi yang baru ini jauh lebih bersih dari typo. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro