12 - SEBUAH AKHIR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Gue anggep lo beneran nggak ngehargain apa yang gue bilang setelah bahasan di rumah sakit. Apa alasan yang bisa lo kali ini bilang ke gue soal ngajak Nina ke apartemen? Nggak cukup nemuin dia sama gue di rumah sakit? I thought I made myself extremely clear about her."

Nico tidak lagi mampu menampung kekesalan yang sudah muncul sejak Raja dan Nina datang ke apartemen. Selama dua jam, Nico bersikap sangat hati-hati di depan Nina meski dia memastikan Raja menangkap tatapan tidak sukanya. Meluapkan kegeramannya jelas bukan pilihan ketika Nina masih terjaga. Namun begitu bocah itu terlelap selepas makan siang, Nico tidak menunggu lama untuk mengungkapkan rasa marahnya kepada Raja dengan suara sepelan mungkin agar Nina tidak terbangun.

"Aku nggak punya alasan selain Nina nanyain kamu terus-terusan. Aku nggak sampai hati liat dia sedih karena apa pun yang aku ceritakan tentang kondisi kamu, dia pengen liat dengan mata sendiri. Ini cara paling baik supaya aku nggak perlu lagi ngarang-ngarang jawaban tiap kali dia tanya soal kamu."

Sulit bagi Nico untuk menerima alasan itu mengingat selama ini, Nina tidak pernah secara fisik hadir di antara mereka. Dia bangkit dari kursi makan dan menghampiri Raja yang sudah selesai mencuci piring bekas makan siang mereka. Pria itu tidak sekalipun mengangkat wajah mengetahui Nico telah berdiri di sampingnya.

"Sekali cukup buat Nina ketemu gue. Kalau lo bisa bikin alasan ke Sandra, kenapa nggak bisa ngelakuin hal yang sama ke Nina? Lo nggak bisa ajak dia ke sini cuma setiap kali dia nanya soal gue. Lo mikir nggak sih konsekuensi macam apa yang bisa muncul dari tindakan lo ini? Nina bisa aja bilang ke Sandra kalau lo ngajak dia ke sini—nggak peduli kebohongan macem apa yang lo bilang ke dia soal status kita—dan apa lo yakin Sandra bakal diem aja?" Nico menggeleng. "Gue nggak kenal Sandra, tapi dari cerita lo, dia bisa dateng ke sini dan nuduh gue ngerebut laki orang, nggak peduli pernikahan kalian udah berantakan. I can't deal with drama right now, Raja. Lo nggak sama Nina terus-terusan dan nggak bisa ngontrol apa yang bisa dan nggak bisa dia ceritain ke Sandra. How can you be this stupid?"

Raja mengangkat wajah setelah meletakkan piring terakhir di atas rak dan memandang Nico. Tawa kecilnya terdengar sebelum dia berkata, "Sandra nggak akan melakukan hal seperti itu, Nico. Selama nggak ada bukti konkret yang menyatakan kita berhubungan, Sandra nggak akan percaya cuma sama kata-kata. I know her too well to know that she will never do something that reckless." Raja mengelap tangannya dengan laps sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang dan jujur, aku sama sekali nggak peduli. Apa yang bikin kamu berpikir bahwa dia peduli aku ketemu siapa? Kamu nggak usah khawatir soal Nina. Dia nggak akan cerita ke siapa pun, terlebih ke Sandra. She's just a 6-year old kid, Nico. Aku udah ngasih tahu dia kalau kamu cuma temen karena nggak ada alasan lain yang bisa dia terima. Are you happy now?"

"Jadi lo ngeremehin anak lo sendiri?" Nico berdecak keras.

Raja lantas memiringkan kepala agar bisa melihat Nico dengan lebih jelas. Dahinya mengerut. "Are you worried? Kalau iya, ini pertama kalinya aku lihat kamu khawatir," candanya tanpa bisa menyembunyikan senyum. "Selama ini, kamu bersikap nggak peduli soal Sandra, tapi kenapa sekarang berubah? Do you care about me now, Nico?"

Alih-alih menanggapi gurauan Raja dan mengiyakan tuduhannya, sikap Nico justru menjadi semakin serius. "Gue nggak pernah begitu peduli sama status lo sebagai suami Sandra. Tapi gue peduli status lo sebagai ayah Nina. Selama ini gue wanti-wanti sama lo buat jangan ketemuin gue sama Nina, tapi lo nggak dengerin itu. Dia dan gue ada di dua kehidupan lo yang nggak saling bersinggungan, dan gue pengen ngejaga supaya posisinya tetepa kayak begitu. But you ruined it. Kenapa sih lo selalu bikin sesuatu yang sangat sederhana jadi begitu rumit?"

Raja membalikkan badan hingga dia dan Nico sama-sama berdiri di depan lukisan yang sudah terpasang di dinding dapur sebelum Nico datang. Lukisan abstrak yang berupa goresan kuas hitam tidak beraturan di atas warna putih itu punya definisi terlalu luas. Dia tidak pernah memperhatikan lukisan itu secara saksama sampai sekarang.

"Aku sama sekali nggak tahu apa yang kamu takutkan sekarang, Nico. Coba buat aku paham. Kalaupun Sandra tahu tentang kamu, terus kenapa? It's not like our marriage is happy, anyway. Apakah alasan Sandra selingkuh nggak cukup buat aku melakukan hal yang sama? Aku pria waras yang menentang segala bentuk perselingkuhan, tetapi dalam kasusku dan Sandra ... berbeda. Kami berdua sadar, yang tersisa dari pernikahan ini adalah status—statusnya terutama—dan Nina. I don't give a damn about my own. Ancaman dia yang akan bawa Nina jauh dariku masih mempan buat bikin aku nggak nekat menggugat cerai dia." Raja memandang Nico yang memperhatikannya. Setelah membuang napas, Raja berujar, "Akan ada saat di mana aku akan nyerah dengan semua tuntutan Sandra, tapi buat saat ini, aku belum bisa berpisah dari Nina. She's the only one that makes things bearable between me and Sandra. And you, Nico. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu, terlebih setelah apa yang terjadi. Aku nggak bisa pergi kalau memang itu yang terlintas dalam pikiran kamu."

Nico tidak menduga situasi di antara dia dan Raja akan serumit ini. Ada banyak yang terlintas dalam pikiran Nico, tetapi dia tidak punya tenaga untuk mengutarakan semuanya. "Sandra bakal ngerti jika selingkuhan lo cewek. Reaksinya bakal beda kalau tahu gue cowok," balas Nico datar. "Pernah nggak lo berpikir ke sana?"

"Maksud kamu?"

Nico mengembuskan napas frustasi. "It has to do with everything, Raja. Dia akan mulai nanya seksualitas lo dan bertanya apakah pernikahan kalian selama ini buat nutupin homoseksualitas lo, terlepas dari apakah lo gay atau nggak, buat Sandra nggak akan jadi soal. Yang penting bagi dia, status lo sebagai cowok hetero bakal diragukan. Persepsi dan pandangan dia sama lo nakal berubah drastis." Nico menatap Raja yang masih menuggu kelanjutan kalimat Nico. "Sandra bakal gunain gue sebagai senjata buat ngejatuhin lo. I am her As card, Raja. I am your Achilles' heel. Seandainya dia nanti yang minta cerai, gue nggak akan kaget misal dia juga minta full custody Nina. Lo jelas nggak akan terima karena di mata lo, dia nggak fit buat jadi mama buat Nina. Kemudian lo dan Sandra bakal ke pengadilan dan di sana, Sandra bisa gunain hubungan lo sama gue atau homoseksualitas lo sebagai alasan bahwa lo nggak berhak dapet hak asuh atas Nina. And then what happens after that? Lo nggak cuma bakal kehilangan Nina, tapi lo bisa kehilangan banyak hal dalam hidup lo, mungkin termasuk Pinus kalau sampai isu homoseksual lo jadi konsumsi publik. Orang-orang bakal tahu termasuk keluarga lo. Gue nggak tahu reaksi mereka kayak apa, tapi gue nggak akan kaget kalau mereka ada di pihak Sandra dan nyalahin lo." Nico menelan ludah dan mengambil napas dalam sebelum dia melanjutkan. "Lo bakal jadi manusia paling nggak bahagia sekalipun ada gue. Dan gue jelas nggak mau lo ngorbanin semua itu cuma buat gue. Paham lo sekarang?"

"Tapi—"

"Hubungan kita selama ini bisa jalan karena lo nggak pernah bawa Nina," potong Nico. "Sejak ketemu Nina, gue terus dibayangi dan diingetin bahwa lo punya keluarga. Bukannya gue nggak inget sebelumnya, tapi ketemu Nina nyadarin gue bahwa lo seorang bapak dan Nina ngeliat lo sebagai sosok yang dia kagumi. I was in her position when I was a kid, Raja. Turned out he was the most despicable human being I've ever known. Gue nggak mau opini Nina soal lo berubah karena gue. Gue nggak pernah mau jadi pihak yang ngerusak rumah tangga, terlepas dari pernikahan lo udah tinggal status atau nggak. Secara hukum, lo masih jadi suami Sandra. Lo mungkin bisa ngelepas status suami dari Sandra kalau memang itu yang lo mau, tapi lo nggak bisa ngelepas status sebagai bapak Nina. She's your daughter and forever, she will see you as her dad." Nico menunduk sebelum kembali menatap Raja. "Dan lo musti inget apa yang baru terjadi sama gue. Banyak orang yang nggak suka sama gue, dan gue nggak mau nyeret lo masuk ke dalam lingkaran yang bisa bahayain hidup lo, apalagi Nina. Orang-orang brengsek itu bisa ngelakuin apa aja ke kalian cuma karena kalian ada kaitan sama gue."

"Jadi ini cara kamu buat ngusir aku dari kehidupan kamu?"

Nico tidak mampu menahan dengusannya. "Ujung-ujungnya apa yang kita jalani sekarang harus berakhir tanpa bisa lo hindari, Raja! Gue nggak mau nunggu sampai lo ninggalin gue karena terpaksa. Lo boleh anggep gue orang yang sangat egois, tapi lo nggak bisa memungkiri bahwa kehidupan lo bisa jadi lebih berantakan kalau tetep sama gue. Gue cuma jaga-jaga supaya lo nggak kenapa-kenapa."

Mereka saling berpandangan dan tidak ada satu pun yang ingin mengalah.

"This is it, then?"

Nico menghampiri kulkas dan mengeluarkan satu kaleng bir. Dibukanya sekuat tenaga sebelum dia meneguknya hingga rasa dingin mengaliri tenggorokan. Setelah itu, dia menatap Raja. "Ini demi kebaikan lo dan Nina."

"Kamu mau aku nganggep ini sebagai pengorbanan kamu?"

Nico menggeleng. "Nggak usah jadi dramatis, Raja. Gue nggak ngerasa ngorbanin apa-apa. This is the rightest thing to do for all of us."

"Jadi kamu masih nganggep apa yang kita jalani ini nggak punya nama?"

"Because it really doesn't, Raja! Sampai kapan lo mau berusaha ngasih nama atas sesuatu yang nggak ada?"

Raja terdiam sementara Nico menghabiskan bir di tangannya tanpa bisa menikmatinya seperti biasa. Pembicaraannya dengan Raja membuatnya gelisha hingga dia harus melakukan sesuatu demi menguasai emosi. Dia tidak ingin lepas kendali.

"Apakah kamu selalu seperti ini dengan cowok-cowok sebelumnya?" tanya Raja.

Menanggapi pertanyaan itu, Nico justru mengeluarkan tawa kecil. "Mereka nggak perlu gue usir karena mereka selalu pergi dengan sendirinya. Kayak jelangkung yang pulang nggak perlu dianter. Gue salut karena lo mampu bertahan selama ini." Nico berjalan menghampiri Raja hingga jarak mereka tinggal sejengkal. "Lo terlalu baik jadi orang, Raja. Orang brengsek kayak gue nggak pantes dapetin perhatian manusia dengan hati malaikat kayak lo."

Raja terlihat terkejut dengan pujian yang jarang dilontarkan Nico tersebut. Tapi ekspresinya kemudian berubah murung. "Ada yang bisa aku lakukan buat ngubah pikiran kamu?"

Nico diam sesaat, kemudian dia menggeleng. "I'm afraid not."

Raja menggigit bibirnya seolah menimbang sesuatu. "Aku bakal ngasih kamu waktu, Nico. Aku bisa tidak ke sini selama beberapa hari meski itu akan berat. Tapi aku akan dateng lagi dan kalau sampai saat itu kamu masih ingin aku pergi, maka aku akan pergi." Dia mengulurkan tangan untuk membelai pipi Nico dengan lembut. "Kamu mungkin nggak pernah nganggep apa yang kita jalani ini sebagai sesuatu yang penting, tapi kamu udah ngasih aku kebahagiaan. I want you to know that." Raja berdeham pelan. "I'm only one call away if you need anything." Dia kemudian mencium Nico tanpa mendapatkan balasan sebelum berbisik, "You're one of the bravest men I've ever known, Nico. Don't ever let anyone break you."

Mereka saling bertatapan selama beberapa detik sebelum Raja mengembuskan napas dan beranjak dari hadapan Nico dengan wajah yang ditekuk.

Tidak lama kemudian, telinga Nico menangkap suara Raja yang berusaha membangunkan Nina sepelan mungkin dan mengatakan mereka harus pulang. Nico tidak sanggup untuk membalikkan badan meski tangannya mulai gemetar saat Nina mengatakan ingin bersalaman dengan Nico, tetapi Raja membalasnya dengan sebuahh kebohongan bahwa Nico sedang istirahat. Hingga Raja pergi dan suara pintu depan ditutup, Nico masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Dia menundukkan wajah dan mengepalkan tangannya yang masih gemetar.

Gue bakal baik-baik aja.

***

"Mama nanyain lo terus, Mas. Gue sampe kehabisan alasan buat jawab."

Nico hanya melirik adiknya yang sedang menikmati es krim sementara mereka sedang menonton film yang dibintangi Sandra Bullock. Acara makan malam di apartemen merupakan paksaan dari Eli hingga Nico hanya bisa menuruti keinginan adiknya.

"Lo harusnya nggak usah ngajak Mama ke rumah sakit sekalian. Lo sendiri kan yang ujung-ujungnya repot?"

Eli mengacungkan sendok es krimnya ke arah Nico. "Seenggaknya Mama nggak liat lo pas baru masuk rumah sakit."

"Bilang Mama gue baik-baik aja."

Nico ingat kunjungan mamanya ke rumah sakit yang terasa kaku dan singkat. Bukan hanya karena Raja kebetulan ada di sana, tapi juga karena Citra Witeja tidak bisa tinggal lebih lama. Mama Nico hanya mencium kening Nico dan mengobrol sebentar sebelum pergi. Meski tidak lebih dari setengah jam, suasana hati Nico berubah setelahnya.

"Lo gimana sama Raja? Kok gue kangen Nina ya?"

"Gue bilang ke Raja supaya nggak nemuin gue lagi."

"You did what?!"

Seruan Eli itu membuat Nico hampir menjatuhkan mangkok di pangkuannya. Dia tidak menyangka reaksi Eli setelah mendengar tentang keputusannya agar meminta Raja menjauh dari hidupnya akan seperti itu. Dengan cekatan Eli langsung menyambar remote dari atas meja dan mempause film yang sedang mereka tonton. Diletakkannya es krim yang tersisa seperempat di atas meja sebelum memusatkan perhatiannya pada Nico.

"Lo bilang apa ke dia?" tanya Eli sambil duduk bersila.

Nico yang masih menyelonjorkan kaki dan memegang mangkuk berisi keripik kentang sudah berhasil mengatasi keterkejutannya atas reaksi Eli. "Gue bilang hidup dia nggak akan tenang kalau terus sama gue, apalagi sekarang dia ngelibatin Nina. Ini buat kebaikan mereka, Eli. Gue nggak mau mereka kenapa-kenapa karena gue."

"Maksud lo, mereka bakal kenapa-kenapa karena lo jadi inceran orang-orang pengecut itu?"

Nico mengangguk.

"That's ridiculous, Mas! And the stupidest reason I've ever heard. Meski gue paham alasan yang lo kasih, tapi gue yakin itu cuma cara lo buat menutupi alasan sebenernya. Lo masih takut bakal jatuh cinta setengah mampus sama Raja dan lo milih ini sebagai jalan keluar. Keselamatan mereka lo jadiin tameng karena lo terlalu takut sama diri lo sendiri. Gue terlalu hafal jurus lo buat ngusir cowok-cowok yang mulai bikin lo nggak nyaman."

"I'm saving myself from the hurt," balas Nico singkat.

"Dengan nyakitin Raja lebih dulu?"

Tanggapan Eli yang cepat itu membuat Nico menoleh. "Dia tahu gue nggak pernah bisa berkomitmen sama siapa pun, Eli. Itu bukan berita baru buat Raja karena gue selalu ngingetin dia. Keputusan dia buat ngejalanin ini meski tahu risikonya bukan tanggung jawab gue. I warned him in the beginning. Lagipula, cepet atau lambat, dia bakal ninggalin gue. Entah itu demi Nina, atau demi hal lain. It's inevitable. Nggak ada bedanya nanti dan sekarang."

"Ketakutan lo kadang sangat trivial," keluh Nina. "Lo nggak pernah tahu sebelum ngejalanin sendiri."

"Nothing is trivial when it comes to Raja."

"I think you made a great mistake," sahut Eli cepat.

Alih-alih menanggapi adiknya, Nico memilih untuk mengunyah keripik kentang dan menikmati rasa ayam panggang memenuhi rongga mulutnya.

Saat sadar kakaknya masih belum juga menanggapi kalimatnya, Eli menodong Nico dengan satu pertanyaan. "You love him, don't you? Lo cuma nggak mau mengakui karena itu bakal bikin lo terlihat lemah."

Nico meletakkan mangkuk di pangkuannya ke atas meja sebelum memandang Eli. "Apakah itu penting, Eli? Love is bullshit! Gue nggak mau hidup gue didikte sama sesuatu yang ringkih kayak cinta. Gue peduli sama Raja, itu bener, tapi bukan berarti gue cinta. Kenapa peduli sama cinta harus saling berkaitan?" Nico menggeleng heran sebelum bangkit menuju dapur.

Dia sengaja menghindar dari Eli setelah mengucapkan itu karena tidak ingin memberi adiknya kepuasaan untuk menelanjangi jiwanya seperti yang dilakukan Eli di rumah sakit. Dia percaya, semakin sering dia meyakinkan diri dan orang di sekitarnya soal Raja, maka perasaannya juga akan luluh dengan perlahan. Tidak ada yang lebih ampuh selain mengungkapkan kebohongan terus-menerus. Dia hanya harus berusaha lebih keras.

Dia mengambil satu botol air minum dari kulkas dan menuangnya ke gelas. Dihabiskannya dalam sekali teguk demi mengalihkan pikiran. Namun ketika dia akan menuang lagi, Eli sudah terlanjur masuk ke dapur dan berdiri di hadapannya.

"Sikap lo barusan semakin ngeyakinin gue bahwa lo sebenernya sayang sama Raja. Lo nggak mungkin kabur kalau lo serius sama ucapan lo."

Tuduhan itu cukup mengagetkan Nico, tapi dia segera bisa menormalkan kembali emosinya yang sempat terusik. "Eli, lo pengen gue ngerubuhin semua prinsip yang udah gue bangun dan jaga selama ini buat Raja?" Nico tergelak. "Buat gue, mau Raja atau cowok lain, sikap gue bakal tetep sama. Ada—"

"Lo bisa bohongin orang lain, tapi bukan gue, dan jelas bukan diri lo sendiri," potong Eli. "Ngeliat lo bahagia adalah satu-satunya keinginan gue setelah lo pergi dari rumah, Mas. Gue nggak keberatan kalau lo pengen hidup sendiri karena nggak mau hati lo disakiti siapa pun, tapi gue sangat keberatan dan kecewa liat lo milih buat nutupin perasaan lo cuma karena prinsip yang udah lo junjung tahunan. Lo nggak bisa ngeliat cinta kayak gitu terus-terusan, Mas." Tatapan Eli sama sekali tidak beranjak dari Nico. Dia terlihat seperti ingin menunjukkan kepada kakaknya bahwa dia tidak akan tinggal diam melihat Nico membohongi perasaannya sendiri. Ada determinasi yang sulit dibantah. "Kalau lo bukan kakak gue satu-satunya, Mas, udah gue bentak-bentak dan maki-maki lo sekuat gue. Tapi ngebentak lo sampai pita suara gue putus juga nggak akan ngaruh."

Setelah itu, Eli langsung membalikkan badan dan sesaat kemudian, dia sudah menyampirkan tas di pundak. Dia tidak peduli jika tampilannya tidak jauh berbeda ketika dia bangun tidur. Rambutnya terlihat berantakan dan dia bahkan tidak merapikan kaus yang dipakainya.

"Gue sayang banget sama lo, Mas, tapi gue bakal biarin lo sendirian supaya lo bisa mikir," ujar Eli ketika dia mendekati kakaknya yang masih berdiri. "Gue nggak suka ngasih lo ultimatum, tapi buat ini, gue nggak punya pilihan. Gue nggak akan ngebiarin lo lari dari perasaan lo sendiri cuma karena lo takut. Nggak usah hubungin gue selama lo belum bisa jujur sama perasaan lo sendiri. Gue nggak perlu lo ngasih tahu Raja, tapi gue pengen lo ngakuin itu ke diri lo."

Setelah itu, Nico hanya bisa melihat Eli menghilang dari hadapannya dengan langkah mantap. Sesaat kemudian, dia mendengar pintu depannya dibuka dan ditutup sebelum dia kembali sendiri di apartemen yang masih belum bisa disebutnya rumah, diliputi oleh kesunyian.

***

Dear all,

Maafkan saya karena update-nya telat. I hope you enjoyed this one.

Saya yakin, pasti begitu kalian liat judulnya, langsung ngira ini ending kan? Hahahaha. Nope. This is not an ending. Masih jauh banget, tapi saya nggak sabar pengen nulis bagian itu. Be patient, hehehe.

Have a nice week, everyone!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro