11 - PERBINCANGAN DENGAN ELI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nico memandang secuil Jakarta dari dinding kaca apartemen yang sudah ditempatinya hampir seminggu. Meski memiliki dua tempat tidur dan cukup luas untuk ditinggalinya seorang diri, Nico belum bisa menjadikan persingggahan ini sebagai rumah. Eli serta teman-temannya yang tanpa berpikir panjang—serta mengabaikan keberatan yang diutarakan Nico—membersihkan rumah dan membuatnya rapi seperti sebelumnya. Namun mereka pun masih melarang Nico untuk kembali karena keselamatannya masih belum terjamin.

Keberanian yang dia tampilkan di depan banyak orang sejujurnya adalah cara satu-satunya yang dia punya untuk menutupi ketakutan yang belakangan mulai mengejarnya. Bahkan berada di apartemen dengan sistem keamanan yang cukup ketat masih berhasil menyelipkan resah yang membuat tidurnya tidak nyenyak setiap malam. Untuk pertama kali, ada kekhawatiran besar yang merongrong Nico setiap hari. Dia memang masih tidak peduli jika dirinya menjadi korban, tetapi orang-orang terdekatnya—terutama Eli—adalah alasan utama Nico sulit berkonsentrasi untuk menyelesaikan tulisan.

Seolah itu belum cukup, Nico mulai digelayuti perasaan yang sama terhadap Raja. Keresahannya terhadap pria itu sungguh tidak bisa dia nalar, tetapi dia pun sulit untuk menampiknya.

Perhatian yang diberikan Raja sejak dia meninggalkan rumah terlalu besar untuk diabaikan hingga tanpa Nico sadari, perasaannya terhadap Raja mulai bergeser. Dengan koneksi yang dimilikinya, Raja menemukan apartemen ini dalam waktu singkat. Mengetahui keberatan yang akan Nico ajukan, Raja dengan cerdik bersekutu dengan Eli agar dirinya tidak mengeluarkan sepeser uang pun untuk sewa satu bulan pertama. Jika bukan karena adiknya, Nico tidak akan peduli jika hubungannya dengan Raja berakhir karena argumen hebat mengenai apartemen ini.

Nico pun sempat tertegun saat mengetahui sikapnya terhadap Raja mulai melunak dan itu berdampak pada kekhawatiran bahwa dia telah termakan omongannya sendiri. Siapa pun orangnya akan luluh dengan keteguhan serta kesabaran yang ditunjukkan Raja. Tanpa keberatan, Raja mampir ke apartemen setiap malam hanya untuk memastikan Nico masih baik-baik saja. Sekeras apa pun usaha Nico untuk menepis hatinya yang mulai berubah, yang dia temukan justru jalan buntu.

Jika kedatangan Raja sebelumnya ke rumah hampir selalu berakhir dengan seks, ada perubahan sejak Nico menempati apartemen ini. Mereka lebih sering menonton televisi, makan malam, atau sekadar membicarakan berbagai macam topik. Nico diselimuti ketakutan setiap hari karena dia semakin tidak punya kuasa menahan hatinya agar tidak terjerumus dalam kubangan bernama asmara.

Dia membuang napas sebelum membalikkan badan saat mendengar bel pintu apartemen berbunyi. Nico tidak mengharapkan siapa pun, tapi Raja atau pun Eli biasa datang tanpa memberitahu lebih dulu. Berjalan pelan menuju pintu, dia langsung membukanya tanpa mengintip peeping hole untuk tahu siapa yang ada di balik pintu.

Tanpa bisa menghindar karena saking cepat dan tidak terduga, Nico terhuyung saat sebuah pukulan langsung diarahkan ke ulu hatinya. Begitu dia meringkuk, pukulan yang cukup keras diarahkan ke rusuknya. Seolah belum cukup, pria yang wajahnya tertutup itu lantas melayangkan pukulan demi pukulan ke wajah Nico hingga darah mengucur dari pelipis dan bibirnya. Bahkan tubuh Nico ditendang dengan sepatu bot hingga punggungnya menyentuh tembok dan membuat rintihan keluar dari mulutnya. Usaha Nico menghindari pukulan justru membuat pria berbadan besar itu seperti mendapatkan izin untuk semakin bertubi-tubi menyerang Nico. Pukulan dan tendangan yang lebih keras justru didapatkan Nico hingga pandangannya mulai kabur sementara rasa asin mulai menyentuh ujung lidahnya.

Ketika pukulan itu akhirnya berhenti, Nico terbatuk dan telinganya samar-samar menangkap kebencian dalam suara yang mengatakan, "Stop nulis soal Jacinda di buletin homo lo atau lain kali, lo bakal gue bikin mampus!" Pria itu lantas meludahi Nico sambil berkata, "Dasar pendosa!" Dia lantas menendang Nico untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan Nico yang memegangi perutnya sembari mengerang.

Dia berharap pria itu menghabisinya sekalian daripada bertindak pengecut seperti ini.

Nico memegangi perutnya yang terasa seperti terbakar sementara mulutnya tanpa henti mengeluarkan umpatan demi umpatan. Air mata yang keluar dari kdua sudut matanya bukan karena sedih, tapi karena dia tidak mampu lagi menahan perih.

"Nico!"

Raja menjatuhkan tas plastik yang ada di tangannya begitu melihat Nico meringkuk di atas lantai. Dia segera merendahkan tubuh dan tangannya bergetar saat meletakkan wajah Nico di pangkuannya.

"Aku telepon ambulans," ucap Raja dengan suara yang terbata-bata sambil berusaha mengeluarkan ponsel dari saku. Ketika benda itu terjatuh karena tangannya terlalu gemetar, dia mengumpat keras. "Nico, you'll be fine," ucapnya saat mendengar rintihan Nico semakin nyaring.

"Jangan kasih tahu Eli," ucap Nico dengan suara lirih dan terputus-putus. Dia jelas menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya untuk mengatakan itu.

Begitu panggilannya tersambung, dia langsung menjelaskan kondisi Nico. Pandangannya tidak pernah lepas dari Nico yang belum juga berhenti mengerang. Begitu menutup telepon, Raja langsung menyingkap kaus Nico yang sudah penuh oleh bercak darah. Raja hanya mampu menelan ludah ketika meliat kulit Nico mulai membiru.

"Nico, sebentar lagi mereka sampai." Raja dengan pelan menempelkan wajah Nico ke perutnya, berusaha meredam suara Nico yang semakin tidak terkendali sementara tangannya sibuk mencari nomor Eli. Dia harus mengabaikan kemauan Nico untuk tidak memberitahu Eli. Begitu tersambung, dia langsung menyebutkan nama sebuah rumah sakit dan meminta Eli menemuinya di sana.

"Mas Nico kenapa?"

"I'll talk to you later, Eli."

Setelah mengakhiri panggilan, Raja mengeluarkan sapu tangan dari saku celana dan mengusap ludah yang bercampur dengan darah dari wajah Nico. Dia menundukkan kepala dan dengan lembut mengecup kening Nico meski pria itu masih merintih menahan sakit.

"You'll be fine, Nico. You'll be fine," bisiknya berulang-ulang dengan nada bergetar.

***

Nico mengangguk saat Eli menawarinya minum. Meski tangannya mampu mengambil gelas yang diletakkan di atas rak kecil di samping tempat tidur, dia membiarkan Eli membantunya. Begitu air mineral itu melewati tenggorokan, Nico memandang wajah adiknya yang jelas masih dipenuhi ketakutan.

"Lo nggak kasih tahu Mama, kan?" tanya Nico dengan suara yang masih terdengar lemah.

"Gue bakal kasih tahu kalau kondisi lo udah baikan. Sekarang mending jangan dulu."

Meski ingin protes, Nico memilih diam. Dia memperhatikan Eli yang baru saja pulang kerja lebih cepat demi menemaninya di rumah sakit. Jika orang lain sampai harus mengorbankan waktu kerja mereka untuknya, Nico tidak akan berpikir dua kali untuk menyemburkan kata-kata penuh cacian. Namun Eli bukan orang lain. Meski kejadian ketika rumahnya dirusak tidak pernah lagi menjadi topic pembicaraan di antara mereka, Nico masih dikuntit sedikit perasaan bersalah atas sikapnya malam itu.

Dia meraih tangan Eli dan menggenggamnya. "Thanks udah nemenin gue."

Eli cuma tersenyum. "Bisa nggak sih, Mas, lo bersikap manis kayak gini pas lagi sehat juga? Lebih nyenengin tauk!"

Nico tergelak, tapi kemudian dia memegangi perut sebelah kiri sambil meringis karena kontraksi yang dirasakannya terlalu kuat. Dia membasahi tenggorokan tanpa sekali pun mengalihkan pandangan dari Eli yang terlihat cemas.

"Lo bilang apa ke Mama setelah Raja ngasih tahu?" tebak Nico.

Eli membuang napas sebelum dia duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur. Dia menggeser kursi itu agar kakaknya tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk bersuara. Dia mencondongkan tubuh sebelum berkata, "Soal kerjaan, apa lagi? Gue nggak ngasih Mama kesempatan buat nanya lebih banyak dan gue juga nggak yakin bakal bisa nyembunyiin ini kalau ada di rumah lebih lama. You put me in a very difficult position, don't you know that? Gue nggak pernah bisa berbohong lama-lama ke Mama, Mas, apalagi ini nyangkut lo. She's a mother, she always knows what happens without having to be told." Eli lantas mengelus pergelangan tangan Nico sementara wajahnya masih terlihat lesu. "Gue nggak bermaksud nyampurin urusan lo, Mas, tapi gue boleh tanya sesuatu?"

Nico mengerutkan kening. Eli tidak pernah meminta izin terlebih dulu sebelum bertanya. Namun dari raut mukanya, dia menduga pertanyaan yang akan didengarnya berhubungan dengan Raja.

"Mas Nico gimana sih sama Raja? Gue kok liatnya timpang."

See? Apa yang gue bilang?

"Maksud lo timpang gimana?"

Eli terlihat berpikir sebelum berujar, "Apa yang kalian jalani kayak cuma searah. Raja sepertinya lebih peduli sama lo ketimbang lo sama dia. Cara lo ngebentak Raja di rumah waktu itu, seperti ngasih tahu gue bahwa kayak itulah hubungan kalian selama ini." Eli menatap kakaknya lekat. "Tell me I am wrong, but I won't be surprised if that what happens all these times."

Nico bisa saja dengan mudah menceritakan alasan yang dibuat-buat demi memuaskan Eli. Namun mengatakan kebohongan di depan adiknya selalu membuatnya dikejar rasa bersalah karena tidak bersikap jujur kepada satu-satunya orang yang disayanginya sepenuh hati. Nico mengembuskan napas panjang sembari menatap langit-langit rumah sakit. Dia menyimpan Raja dari Eli terlalu lama hingga Nico tidak tahu cerita seperti apa yang bisa dia bagi dengan adiknya.

"Lo tahu gue nggak pernah bisa terikat secara emosi dengan pria mana pun. Raja bukanlah pengecualian." Nico menatap Eli yang masih belum mengalihkan perhatian ke tempat lain selain dirinya. "Gue nganggep Raja sama kayak cowok-cowok lainnya sebelum dia. After we fucked, he always gets back to his family. And that's what we agreed on. Apa yang bisa gue harepin dari pria seperti itu? I care about his dick, nothing else, because I can't care for anything else rather than my dreams to fight for equality in this country. Tapi dia nggak pernah pergi, El, sekasar apa pun gue sama dia. Entah karena memang dia dasarnya masokis atau karena alasan lain, gue nggak pernah nanya. Tapi dia selalu balik ke gue meski tahu gue nggak nganggep dia selain sebagai pelampiasan nafsu. Gue berjanji nggak akan pernah mau kebawa perasaaan karena gue nggak mau logika gue tumpul. Love makes people irrational, Eli, and I don't want that. I need my mind to be sharp all the time. Sekali cinta masuk, gue yakin seratus persen bahwa pikiran gue bakal kebagi dan gue nggak bisa bagi pikiran buat sesuatu seperti itu." Nico kemudian membetulkan letak bantalnya untuk merasa lebih nyaman. "Gue sebenernya takut kalau kekhawatiran gue justru jadi bumerang, makanya gue berusaha memperlakukan Raja kayak barang sekali pakai, berharap dia bakal pergi. But he stayed and he's so fucking persistent about it. Apa yang dia lakuin setelah gue dipukulin sama bajingan itu, bikin gue mikir bahwa sikap gue selama ini ke dia nggak adil sama sekali. Ketakutan gue sama intimasi udah bikin gue antipati duluan. Dia terlalu baik jadi orang."

"Gue yakin lo bisa tetep pake logika meski hati lo tertarik sama orang lain. Persepsi lo bahwa cinta bikin orang nggak rasional karena yang lo lihat selama ini kayak gitu. Gue paham lo jadi punya pikiran gitu. Tapi lo bukan mereka, Mas. Gue percaya lo nggak bakal dibutain oleh perasaan meski lo jatuh hati sama Raja. Apakah lo jadi kayak gini gara-gara Papa?"

Nico jelas tidak menduga Eli akan menyinggung nama Alfian Witeja dalam percakapan yang justru sangat tidak berhubungan dengan pria itu.

"Apa hubungannya?" Nico tidak sanggup menyembunyikan kebencian yang telah berakar setiap kali pria itu disebut. Dia sudah mengasingkan nama itu dari mulutnya.

"Mas, gue ini adik lo, gue tahu lo dari kecil. Gue tahu lo bukan orang kayak gini sebelum pergi dari rumah. This is not you, someone I grew up with, the Nico that I knew was someone who was very compassionate. Lo jadi lebih keras setelah itu. Kalau sikap lo emang begini ke cowok-cowok sebelum Raja, berarti lo jadiin mereka pelampiasan atas kemarahan dan kebencian lo sama Papa. Lo takut sama intimasi karena lo yakin ada kemungkinan itu bikin lo kecewa dan sakit hati. Sama kayak lo dan Papa. Lo kecewa sama dia karena begitu Papa tahu lo gay, rasa sayang Papa ke lo ilang gitu aja. Lo bukan jadi anaknya lagi. Gue bisa aja bilang ngerti apa yang lo rasain, tapi gue tahu itu bullshit banget. Kalau orang terdekat lo, yang darahnya ngalir di tubuh lo aja segitu bencinya sama sesuatu yang nggak bisa lo pilih, perasaan benci itu pasti muncul. Lo nggak mungkin bersikap gini tanpa alasan."

Terkadang Nico berharap Eli tidak sepintar ini membaca dirinya, tapi ucapan adiknya sukses menelanjangi jiwa dan hatinya. Dia mengalihkan pandangan karena jika terus menatap Eli, tidak ada lagi yang bisa dia sembunyikan.

"Gue tahu Raja punya keluarga, dan gue yakin, lo jadiin status dia itu sebagai alasan kenapa nggak mau terikat secara emosi sama dia. Tapi dia cerita semuanya, Mas. Soal Nina, dan soal istrinya yang secara terang-terangan bilang udah selingkuh. Gue nggak pengen nyampurin urusan lo, tapi saat ini, gue pengen banget bikin lo ngebayangin muka dia begitu gue sampai di rumah sakit. Gue mungkin nggak tahu banyak soal hubungan kalian, tapi gue bisa liat dia ketakutan setengah mati kalau lo kenapa-kenapa. Dari sikap dia selama lo belum sadar aja, gue bisa nyimpulin perasaan dia ke lo jauh lebih dalem daripada yang lo mau akui. Perasaan yang nggak pernah mau lo tanggepin karena lo terlalu takut dia bakal ninggalin lo. Gue nggak membenarkan sikap dia ke istri dan anaknya karena secinta apa pun dia ke lo, yang dia lakuin tetep aja selingkuh, dan pendapat gue nggak berubah cuma karena selingkuhan dia itu kakak gue sendiri. Tapi kalau dia orang yang bisa bikin ketakutan lo sama intimasi ilang, gue bakal bersikap egois dengan ngedukung lo, Mas. Karena gue lebih sayang sama lo daripada peduli sama pendapat orang kalau mereka tahu gue ngedukung perusak rumah tangga orang."

Mau tidak mau, Nico tersenyum tipis. Dia tahu adiknya akan tetap berdiri di belakangnya sekalipun itu menentang nurani. Cinta mana yang lebih besar daripada itu? Dia kembali memandang Eli. "Lo tahu kenapa gue nggak pernah ngasih Raja izin buat nginep? Karena gue tahu dia punya Nina. Gue lebih peduli sama statusnya sebagai ayah daripada suami." Nico memejamkan mata sesaat sambil menimbang kalimat yang akan diucapkannya. Dia tidak berniat mengungkapkan alasan yang mendasari sikapnya ke Raja, tapi jika ada yang harus diberitahunya, hanya Eli yang bisa dia percaya. "Alasan lain karena gue berusaha ngejauhin dia dari aktivitas gue, Eli. Gue nggak mau nyeret Raja ke kehidupan gue karena kalau orang-orang yang benci gue tahu Raja, dia bisa jadi sasaran juga. Gue nggak keberatan babak belur kayak gini, asalkan bukan lo atau orang-orang terdekat gue. And that includes him." Nico menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan. "Gue peduli sama Raja dengan cara gue sendiri. Kalau bisa, gue malah pengen ngejauh dari kehidupan dia supaya kalau ada apa-apa sama gue, dia nggak bakal ikut diseret. Orang-orang itu nggak akan berhenti sampai di sini, Eli."

"Perlu gue sewa bodyguard buat lo, Mas?"

Meski ada keseriusan di balik candaan adiknya, Nico menggeleng. "Gue bakal baik-baik aja. Gue yakin mereka bakal nunggu kalau emang niat pengen mampusin gue. They'll be furious knowing that I'm still alive."

"Lo mungkin harus cari suaka, Mas. Nyawa lo terancam di sini. Atau tinggalin Indonesia buat beberapa tahun."

"Gue belum ngeliat perlunya itu," sahut Nico cepat.

"Promise me you'll think about it, though. Gue serius, Mas. Gue lebih milih lo hidup di negara lain daripada ngelihat lo mati. Lo saudara gue satu-satunya, dan gue bakal ngelakuin apa aja supaya lo selamat meski lo sendiri nggak suka."

Yang disukai Nico dari Eli adalah adiknya bukan tipe wanita melankolis dan sentimental dalam banyak hal. Bahkan bisa dibilang, mereka sama-sama keras kepala. Jika dia membahas topik serupa dengan Lila, bisa dipastikan mata istri Janus itu pasti sudah memerah. Dia sadar kekhawatiran Eli sangat beralasan, tapi Nico belum punya alasan kuat sampai dia harus mencari suaka atau kabur ke negara yang akan menerima seksualitasnya dengan tangan terbuka.

"Polisi udah ke sini lagi?"

Nico menggeleng. "Gue nggak yakin mereka bakal ngusut ini."

Eli berdecak. "Mas, gue bakal pastiin mereka usut ini sampai tuntas. Gue nggak akan ngebiarin orang gila itu nyakitin lo atau temen-temen lo lagi. Ada untungnya lo tinggal di apartemen, jadi orang itu pasti kerekam CCTV."

Nico hanya mengangguk pelan. Dia sejujurnya terlalu lelah untuk berurusan dengan polisi, tapi desakan Eli, Raja, Alan, Janus, dan juga Cakra membuatnya tersudut. Dia tentu ingin pelaku penganiayaan terhadap dirinya ditangkap, tapi jika polisi tahu siapa dia dan aktivitasnya, keyakinan bahwa kasusnya akan diusut pun menyusut. Dia tidak ingin berharap terlalu banyak karena kecewa sudah pasti menunggunya.

"Lo tidur ya, Mas? Gue balik dulu. Bang Cakra udah mau ke sini." Eli lantas bangkit dari kursi dan mencium kening Nico. "Lo pikirin omongan kita tadi. Loving someone will not make you weak. The right love will make you strong and it doesn't matter whether you want to admit it or not, Raja has that kind of love for you."

Setelah Eli menuang air mineral dari botol ke gelas Nico, dia meninggalkan sang kakak yang hanya bisa memandang punggung adiknya hingga hilang di balik pintu. Dia sadar pembicaraannya dengan Eli akan menyita pikirannya untuk waktu yang cukup lama.

***

Dear all,

Things are getting complicated, huh? 😂

Buat saya, adegan Nico digebukin ini sama sekali nggak ada dalam rencana, tapi inilah salah satu hal yang bikin saya nggak gitu cocok dengan bikin outline. Dengan nulis sambil jalan gini, saya bisa nemuin sesuatu yang sebelumnya nggak muncul di pikiran. Dan saya emang lebih nyaman nulis begini meski saya tahu secara garis besar jalan ceritanya mau saya bikin seperti apa (termasuk ending-nya)

Anyway, I hope you enjoy this part 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro