10 - PERTEMUAN & TRAGEDI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tangan Nico yang sudah bersiap membuka pintu taksi terhenti ketika matanya menatap Eli dan Raja yang berdiri saling berdekatan. Mereka pun sama-sama menoleh begitu taksi yang ditumpanginya bersama Alan berhenti di depan rumah. Kening Nico semakin berkerut saat menyadari mobil mereka berdua diparkir di pinggir jalan. Mengabaikan Alan yang masih duduk di sebelahnya, Nico dengan segera membuka pintu disertai umpatan yang meluncur tanpa bisa dia kendalikan lagi. Dia menghentakkan kakinya dengan rahang yang mengeras saat berjalan menghampiri dua orang yang tidak pernah dia bayangkan akan saling bertemu tanpa persetujuannya.

"Lo ngapain ke sini tanpa ngabarin gue?" serang Nico begitu dia berdiri di depan Raja. Dikuasai emosi, tangannya mencengkeram kerah kemeja pria itu dengan erat sementara dia memastikan Raja menangkap jelas kemarahan yang terpancar dari tatapannya. Nico berharap sikapnya kali ini memberitahu Raja bahwa dia bukan siapa-siapa yang bisa datang ke rumahnya dengan sesuka hati.

Raja yang jelas disergap kaget, memilih untuk diam.

"HEY!" Alan yang baru saja keluar dari taksi segera berlari dengan niat untuk melerai Raja dan Nico. Tangannya meraih dada Nico untuk menjauhkannya dari Raja, tapi cengkeraman tangan Nico begitu kuat hingga sulit bagi Alan untuk memisahkan mereka.

"Mas Nico! Lo kenapa malah nyalahin Raja? Liat tuh rumah lo!"

Lengkingan Eli yang dipenuhi gusar itu mengalihkan fokus Nico. Menyusul Alan yang sudah lebih dulu mengarahkan pandangan ke rumahnya, Nico tertegun. Cengkeramannya mengendur sebelum dia benar-benar melepas kerah kemeja Raja.

Bukan hanya pagar rumahnya yang terbuka, tetapi dengan gamblang Nico memperhatikan jendelanya tidak lagi utuh. Pecahan kaca yang berserakan di atas lantai membuat Nico hanya mampu terpaku sembari menelan ludah. Saat kakinya menemukan kekuatan untuk berjalan mendekati gerbang, pandangannya langsung tertuju pada tulisan LO BAKAL MAMPUS, HOMO! yang memenuhi tembok bagian depan rumahnya. Tulisan itu memang jauh dari kata rapi dan estetis, tetapi ukurannya yang besar dan maksud yang terkandung tersampaikan dengan jelas. Siapa pun yang melewati rumahnya akan mampu membaca setiap huruf yang tertera. Warna merah yang digunakan seperti sebuah kesengajaan berbalut peringatan tidak tertulis bagi Nico. Melihat ruang tamunya yang berantakan, Nico mempercepat langkah tanpa mengacuhkan seruan Alan dan Eli.

Suara gemeretak berkumandang di telinga Nico saat sepatu ketsnya menginjak pecahan kaca, tapi alih-alih menajamkan kewaspadaannya, bunyi itu justru memperkuat keinginannya untuk masuk dan mengamati separah apa kerusakan yang harus dia perbaiki. Dia yakin siapa pun yang melakukannya tidak akan puas hanya dengan memecahkan kaca jendela. Pandangannya sempat tertumbuk sekilas pada pintu depan yang jelas didobrak dengan paksa hingga engselnya lepas. Dengan jantung berdebar, dia menyaksikan buku-buku di raknya berserakan, beberapa bahkan sengaja dirobek, terutama buku-buku yang menyebut kata homoseksual pada sampulnya. Meja rendah di ruang tamunya terjungkir sementara sofanya hanya digeser—mungkin terlalu berat. Melangkah menuju dapur, pecahan piring dan gelas saling memenuhi lantai serta meja makan. Ketika matanya menatap tulisan di atas meja makan, dia tidak repor-repot melangkah maju karena empat huruf yang tertera di sana cukup jelas tanpa dia harus mendekat. Mengarahkan kakinya ke kamar, dia mengumpat saat tempat tidur beserta bantal dan gulingnya disobek hingga kapas yang mengisinya berhamburan memenuhi lantai dan ranjang. Tumpukan kertas dan buku yang ada di atas meja kerjanya mengalami nasib serupa dengan buku-bukunya di ruang tamu. Satu hal yang membuatnya lega adalah dia tidak meninggalkan laptopnya di rumah. Dia tidak takut kehilangan laptopnya, tapi informasi yang tersimpan di sana akan bisa membahayakan teman-temannya. Menepuk pelan tas selempang berisi laptopnya sambil bergumam pelan, Nico duduk di ujung tempat tidur dengan lemas dan mengembuskan napas pelan.

Nico terlalu sibuk memutar otak untuk mencari dalang atas kerusakan ini hingga dia tidak sadar ketika Eli, Alan, dan Raja menyusulnya ke kamar. Mereka berdiri bersisian di dekat pintu dan memandang Nico dengan kekhawatiran yang tidak lagi mereka berusaha simpan.

"Gue pikir lu harus laporin ini, Nic. Gue lega lo baik-baik aja, tapi ini udah ngerusak properti judulnya. Gue yakin laporan lu bakal ditanggepin karena mereka bakal anggep ini beda dari penganiayaan," usul Alan.

Nico mengalihkan pandangan dari meja kerjanya untuk menatap Alan. "Apa bedanya ini sama kasus Cakra dan Jacinda?"

Mereka bertiga terdiam sebelum Raja bersuara, "Aku rasa Alan benar, Nic. Kamu harus laporin ini ke polisi. Mungkin mereka marah karena nggak bisa ketemu kamu di rumah, jadi akhirnya mereka ngerusak properti sebagai peringata."

"Gue nggak minta pendapat lo!" sergah Nico sambil memberikan tatapan tajam ke arah Raja. "Lagian, ngapain sih lo ke sini? Gue perlu bilang berapa kali supaya jangan dateng tiba-tiba? Lo budek? Atau amnesia?"

Menyadari Nico menjadikan Raja pelampiasan atas rasa frustasinya, Eli tidak lagi bisa diam, "Lo kasar banget, Mas!" Dengan langkah mantap, Eli menghampiri kakaknya dan dengan tampang tidak kalah jutek, dia menyembur, "Gue ngerti lo marah, tapi nggak perlu jadiin Raja pelampiasan. Dia nggak salah apa-apa. Lo itu didatengin bukannya seneng malah ngehina kayak gitu. Tata krama lo di mana?" Eli berdecak sebelum melanjutkan, "Lo harus lapor polisi. Tadi gue sama Mas Alan berusaha ngelarang lo masuk supaya nggak ada sidik jari yang ilang. Lo nggak nyentuh apa-apa, kan?"

"Gue nggak mau lapor polisi. Titik."

"Nic, lu jangan kolot gitu. Lu aja pengen Cakra lapor, kenapa kejadian yang justru nimpa lu, malahan lu nggak pengen lapor? Otak lu lagi geser?"

"Gue nggak mau lapor, Lan. Titik!" bentak Nico. "Sekarang ngapain kalian masih di sini?" tanyanya dengan nada yang masih tinggi sambil bergantian menatap Eli, Raja, dan Alan. "Kalian nggak perlu khawatir gue kenapa-kenapa. Mereka nggak akan balik. Kalian bisa pulang dan nggak usah nyebar berita ini ke yang lain. Kabar ini cuma bakal bikin mereka panik. That's the last thing I want."

"Mas Nico, otak lo bener-benar perlu dibalikin ke posisi semula karena jelas punya lo udah geser!" sembur Eli. "Gue nggak akan ngebiarin lo tinggal di sini malam ini dan malam-malam selanjutnya. Nggak peduli kalau gue, Raja, atau Mas Alan harus ngebius lo dan maksa lo pergi dari rumah. Lo mungkin nggak sayang sama nyawa lo, tapi gue masih pengen lo hidup, juga Raja, Mas Alan, dan temen-temen lo lainnya. Kecuali lo mau gue benci seumur hidup, by all means, tinggal di sini sambil nungguin mereka gebukin lo sampai mampus!"

Nico sadar sikapnya sudah memancing emosi Eli karena suara adiknya bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir. Dia tahu Eli berkata sekasar itu demi mengimbangi sikapnya yang tidak kalah brutal. Mengembuskan napas lega, dia meraih tangan Eli dan meremasnya. Dia berharap bisa menenangkan Eli dan menghindarkan dirinya melihat tangis Eli pecah. "I will be fine, Eli. Trust me."

"Gue nggak bisa percaya sama lo, Mas, karena itu berarti ngebiarin lo dalam bahaya. Gue nggak peduli kalau kuping lo sampai panas dengerin gue ngoceh semaleman. You're not safe! For fuck's sake!" seru Eli sambil menghentakkan tangan Nico sebelum membalikkan badan dan berjalan menghampiri Raja dan Alan dengan entakan yang tidak kalah keras. "Gue serahin dia ke kalian berdua, gue mau balik. Kepala gue mau pecah ngadepin manusia nggak tahu diri kayak dia!" Dia lantas menatap kakaknya dengan mata yang terlihat merah. "Gue kadang nggak tahu kenapa lo pengen banget mati demi perjuangan yang selama ini lo gemborin, Mas. Lo mikir nggak sih, kalau lo mati, justru semua usaha lo sia-sia? Dan asal lo tahu, lo kakak gue satu-satunya, apa lo nggak pernah mikir betapa sedihnya gue kalau lo mati? Gue pikir lo sayang sama gue, tapi anggepan gue jelas salah."

Dengan itu, Eli keluar dari kamar dan Nico hanya bisa diam. Ucapan adiknya bukan hanya menusuk hati, tetapi membuatnya tidak mampu beranjak untuk mengejar Eli. Energinya sudah terkuras sampai dia membiarkan adiknya pergi tanpa ada keinginan mengungkapkan maaf. Dia menundukkan wajah dan memikirkan kalimat terakhir Eli. Mereka memang sering bertengkar, tetapi sejak pergi dari rumah, pertengkaran mereka lebih sering soal sikap keras Nico untuk tidak berurusan dengan Citra Witeja daripada hal lain. Dia bisa mengabaikan kemarahan orang lain yang ditujukan kepadanya, dan menganggapnya angin lalu, tapi dia tidak pernah bisa tenang dan menganggap sepele jika Eli sudah berkata seperti itu.

"Nic, gue nggak mau maksa lu, tapi kalimat Eli ada benernya. Kalau mereka tahu lu ada di sini, mereka bakal makin nekat. Nggak ada yang bisa jamin mereka nggak bakal balik. Sama kayak Eli, gue juga nggak mau lu kenapa-kenapa." Alan memandang Raja, seolah dia berharap pria necis di sampingnya mampu memberi dukungan. Dia bersandar pada tembok kamar yang bebas dari coretan kasar seperti di dinding depan. "Gue bisa bantu nyari orang buat bersihin dan benerin rumah lu. Tapi lu musti menjauh buat sementara dari sini."

Nico mendongak, menatap sahabatnya yang selama ini tidak pernah bersikap pasrah seperti itu. "Thanks, Lan. Lo boleh balik kalau mau. Gue nggak papa lo tinggal."

Alan bergeming, begitu juga dengan Raja.

"Gue mau di sini dulu. Lo nggak usah khawatir gue bakal tetep di sini. Gue bisa nginep di hotel," balasnya sambil tersenyum tipis, berharap kalimatnya cukup bisa meyakinkan Alan. "Besok gue kabarin lagi."

"Gue bakal nunggu sampai lo pergi. Gue nggak bisa percaya kata-kata lo sekarang."

Nico hanya mampu mendesah pelan. "Gue ngerti lo khawat—"

Alan menggeleng. "Nope. Lu nggak bakal pernah ngerti kekhawatiran orang ke lu karena lu ngerasa punya superpower yang bisa ngelindungin lu dari apa aja. Gue akuin lu emang berani, tapi lu nggak punya kekuatan kayak Superman, Nic. Lu orang biasa. Lu itu mortal. Ditembak peluru atau ditendangin, lu bakal mati atau kesakitan. Kalau lu tetep mau di sini, gue temenin. Gue nggak akan ninggalin lu sendirian. Berhenti minta gue pergi karena lu cuma bakal abisin tenaga."

Raja yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara, "Aku bisa pesankan kamu satu kamar buat malam ini. Aku bisa extend kalau memang kamu mau. We'll think about everything tomorrow. You need a good rest."

"Stop being so goddamn courteous, Raja!"

Suara Nico yang cukup keras itu membuat suasana di kamar menjadi sunyi.

Alan mengamati Raja dan Nico bergantian sebelum berkata, "Apa perlu gue tinggalin sebentar supaya kalian bisa ngobrol?"

"Nggak ada yang perlu kami obrolin," sahut Nico cepat.

Alan dan Raja saling bertukar pandang. Seperti memahami tatapan yang diberikan Raja, Alan kemudian keluar dari kamar tidur. Dia sengaja menutup pintu untuk memberikan Raja dan Nico privasi.

Nico mengerutkan kening tanda dia tidak suka dengan sikap Alan, tetapi terlambat. Raja sudah terlanjur mendekatinya sebelum Nico sempat bangkit dari duduk. Tanpa ragu, Raja merendahkan tubuh di depan Nico agar tatapan mereka sejajar. Kaki Nico terasa berat saat dia ingin menyingkir agar terhindar dari intimasi yang menguar hebat dari bahasa tubuh Raja. Dia akhirnya hanya bisa mengalihkan pandangan ke luar kamar, ke arah pohon mangga yang tidak pernah berbuah dan dibiarkan para berandal itu untuk tetap tumbuh.

Raja menyentuh kedua lutut Nico dengan pelan, hanya meletakkan tangannya di sana tanpa melakukan apa-apa. "Nico, aku tahu kamu lagi marah. Bukan ke orang-orang itu—siapa pun mereka—tapi ke diri kamu sendiri. Kami semua pengen kamu nggak kenapa-kenapa meski kamu sendiri nggak pernah mau dikhawatirin. Kamu bisa cuekin aku atau Alan karena kami tetaplah orang lain dalam hidup kamu, tapi Eli adik kamu. And I know how much you two love and care for each other. Jika kamu mau tetep di sini, pikirkan Eli. Dia akan gelisah semaleman karena ninggalin kamu dalam keadaan marah. Aku bisa liat dia begitu khawatir sama kamu. I know you see it, too." Raja lantas meraih pergelangan tangan Nico. Ada keterkejutan saat Nico tidak menampiknya. Bibirnya tersungging tipis saat dia meremasnya lembut. "Kamu bisa bayar sendiri kamar hotelnya kalau itu bikin kamu lega, tapi aku mohon, jangan di sini dulu selama beberapa hari. Aku pun nggak akan bisa tidur tenang kalau kamu tetap di sini."

Nico memejamkan mata dan selama beberapa detik, dia membiarkan sentimentalitas menguasainya. Genggaman tangan Raja terasa berbeda karena kontak fisik kali ini tidak akan berakhir dengan seks. Dia menimbang untuk melepaskan genggaman Raja, tetapi ada perasaan nyaman yang susah dia tangkis. Ada bagian darinya yang berteriak karena tidak berbuat apa pun untuk menghindari intimasi seperti ini, tapi dia mengabaikan suara itu.

"Aku keluar dulu supaya kamu bisa berkemas. Atau kamu mau aku bantuin?"

"Nggak perlu. Gue bukan anak kecil," sahutnya.

Raja tersenyum lantas mencondongkan tubuhnya untuk mengecup pipi Nico. "I'll wait outside." Dia lantas bangkit dan berjalan menuju pintu. Ditatapnya Nico sekali lagi sebelum dia keluar dari kamar agar Nico bisa berkemas.

"Fuck!" umpat Nico begitu pintu kamarnya tertutup dan dia memukuli kepala karena gagal mengontrol perasaan.

***

"Lo ngapain juga ke rumah tadi? Lo tahu gue nggak suka kunjungan mendadak." Nico menyandarkan kepala pada kaca jendela sambil menatap Raja.

Hatinya masih belum sepenuhnya rela pergi dari rumah karena dia ingin melampiaskan emosi tanpa ada siapa pun. Kekhawatiran Alan, Eli, dan Raja yang dia anggap berlebihan justru membuatnya tersudut, terlebih setelah Eli meneleponnya sebelum dia meninggalkan rumah. Dia bisa mendengar kelegaan dalam suara adiknya saat mengatakan akan menginap di hotel selama beberapa hari. Dia minta maaf—di depan Alan dan Raja—dan berjanji akan mengabarinya esok.

"Aku pengen ngasih tahu udah dapet ganti Pak Padri," jawab Raja tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan. "Aku nggak nyangka akan ngelihat Eli berdiri gemetar di depan rumah kamu. Dia jelas panik sekaligus lega karena nggak nemuin kamu di dalem rumah."

"Gue harap lo nggak ngomong macem-macem sama dia."

Raja tergelak. "Apa yang bisa aku ceritain ke dia, Nico? Kami nggak ketemu di gala dinner di mana kami bisa ngobrol santai. Rumah kamu baru aja dirusak, kami lebih peduli soal itu daripada hal lainnya. Dia jelas kaget liat aku di sana, tapi Eli bukan wanita bodoh yang harus diceritain secara detail buat tahu apa yang ada di antara kita. Dia kenal kamu lebih dari siapa pun. Aku nggak harus ngejelasin apa-apa."

Nico diam. Dia jelas masih terganggu dengan pertemuan Raja dan Eli karena adiknya adalah orang terakhir yang ingin dia beritahu tentang Raja.

"Ini pertama kalinya kamu naik mobilku lagi setelah tragedi waktu itu. Who would have thought?" tanya Raja ketika Nico masih belum membalas ucapannya.

"Lo bilang kejadian waktu itu tragedi?" Nico menggeleng pelan sambil berdecak. "Gue cuma kena lemparan kerikil dan gue selamat. Lagian juga cuma pelipis gue yang berdarah. Stop exaggerating."

Namun tanpa bisa dia tolak, kenangan yang mempertemukannya dengan Raja kembali muncul. Masih jelas dalam ingatan ketika mereka sampai di rumah sakit. Raja menungguinya hingga dia selesai dijahit sebelum pamit setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Dia jelas tidak mengira akan kembali dipertemukan dengan Raja melalui Pinus.

"Alan sempet kaget juga waktu lihat aku tadi. Dia ternyata masih hafal mobilku, jadi pertanyaan pertama yang dia ajukan adalah apakah aku pria yang sama. You should see his face when I said yes." Raja tersenyum. "Aku kira kamu udah cerita ke dia."

"Gue bukan orang yang suka ngumbar cerita. Alan tahu nama lo dan status kita buat gue udah cukup."

"Kita punya status sekarang?" tanya Raja dengan kaget. "Seingatku kamu nggak pernah mau ngasih nama sama apa yang kita jalani."

Mereka saling bertatapan sebelum Nico kembali membuang muka. Dia jelas berusaha menyembunyikan wajahnya yang sedikit tersipu. Dia menyalahkan pendiriannya yang goyah saat Raja membujuk di kamar tadi atas apa yang baru saja diucapkannya.

Inilah sebabnya gue ogah berhubungan sama perasaan, tukas Nico dalam hati.

Tanpa Nico tahu, senyum Raja masih terpasang di bibirnya dan dengan pelan dia mengetukkan jari di atas kemudi. "Don't tell me you're shy for admitting it," godanya.

Nico memilih mengunci mulut meski di saat yang bersamaan, dia tidak bisa menahan senyum yang dikulumnya. Dia tetap akan berusaha menghindar dari perasaan yang semakin mendekat setiap kali teringat dengan pria yang sedang menyetir di sampingnya. Dia tidak akan membiarkan perasaannya terhadap Raja berkembang hingga menguasai seluruh logika.

***

Dear all,

Semoga update-an kali ini bisa menemani long weekend kalian. Pada ke mana nih? Hehehe

Saya cukup struggling nulis bab ini karena saya nggak mau perubahan Nico terlihat drastis. In a way, saya juga ngerasa bab ini lumayan brutal. Saya baru aja baca kemarin sebuah artikel yang menyebutkan bahwa kekerasan terhadap komunitas LGBTQ di Indonesia memang ada, dan sebagian besar korbannya adalah transgender. Ini berarti bahwa hate crimes berdasarkan seksualitas di Indonesia nggak terekspos media karena jumlahnya cukup banyak. Saya jadi ngerasa bahwa apa yang saya tulis di sini MUNGKIN aja terjadi. Who knows?

Anyway, saya mulai nemu ritme cerita ini dan meski nggak bisa nulis tiap hari, tapi begitu saya dapet ide, nulisnya jadi lebih lancar. Jadi daripada saya nulis setengah-setengah, biasanya saya tunda sampai saya beneran bisa nulis secara utuh. Diamn, this story is really challenging! LOL

Itu aja sih. Buat kalian yang libur panjang, selamat menikmati ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro