9 - YANG TAK TERCAPAI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nico tertegun setelah membaca surel yang disadarinya sudah dua jam menunggu di kotak masuk. Kesibukan yang menuntut seluruh perhatiannya hari ini tidak menyisakan ruang untuk peduli dengan hal lain. Terlebih kebutuhan biologisnya menuntut untuk dipenuhi saat Raja datang ke rumah hingga dia mematikan ponsel tepat saat bibir Raja mulai menjelajahi lehernya.

Rambut ikalnya masih berantakan akibat permainan cinta mereka. Peluh yang menjadi saksi kepuasan jiwa dan raganya belum sepenuhnya mengering. Namun kebahagiaan surgawi yang sesaat lalu menguasainya menguap begitu matanya terkunci pada deretan kalimat yang tertulis pada badan surel. Balasan yang ditunggunya sejak berminggu-minggu lalu justru menimbulkan geram yang ingin dia lampiaskan dengan melempar benda-benda yang mampu dijangkau tangannya.

Masih menatap layar ponsel, Nico menelan ludah dan menyuarakan umpatan yang tidak lagi bisa ditahannya.

Dikendalikan oleh nafsu, Nico dengan cekatan menekan tiap huruf pada keyboard untuk membalas surel tersebut. Setelah mendapatkan lima kalimat, dia berhenti demi membaca kembali apa yang telah ditulisnya. Menyadari terlalu banyak kemarahan yang dia tumpahkan, Nico dengan cepat menghapusnya. Membaca kembali balasan dari Burhan yang telah mengobrak-abrik harapannya, Nico merasa harinya yang produktif menjadi rusak.

Kak Nico,

Kami berterima kasih sama niat baik Kak Nico yang sudah bersedia membantu kami keluar dari Aceh. Saya dan Fathir memang tidak saling berkomunikasi, tapi saya yakin dia setuju dengan keputusan yang saya ambil.

Besar keinginan kami untuk bisa keluar dari Aceh, tapi kami tetap harus di sini, Kak. Ada banyak hal yang nggak bisa kami tinggalkan begitu saja demi menuruti kemauan kami. Saya dan Fathir sudah sadar bahwa apa yang kami lakukan salah dan tidak sesuai dengan agama. Sekarang kami berusaha kembali ke jalan yang benar, Kak Nico.

Terima kasih sekali lagi atas niat baiknya, Kak Nico.

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan Raja itu diabaikan Nico karena dia masih berusaha memahami logika Burhan dan Fathir untuk tetap tinggal di Aceh setelah dipermalukan di depan umum karena seksualitas yang tidak bisa mereka pilih.

Usahanya untuk membujuk mereka keluar dari provinsi itu berlangsung alot karena Burhan dengan terbuka mengaku kebebasannya dibatasi setelah peristiwa pencambukan itu, begitu juga dengan Fathir. Mereka harus berhati-hati agar tidak semakin dikucilkan oleh keluarga masing-masing.

Nico memang tidak mendapatkan balasan langsung dari Fathir karena komunikasinya selama ini hanya dengan Burhan, tetapi pria berusia 21 tahun itu sepertinya yakin bahwa keinginannya dan Burhan sejalan meski mereka tidak pernah lagi bertatap muka atau pun saling berkomunikasi. Yang membuat darah Nico mendidih adalah kalimat Burhan yang menyatakan dia dan Fathir sedang berusaha untuk kembali ke jalan yang benar. Tidak ada yang lebih mengganggu Nico daripada sikap seseorang yang dengan sengaja membantah sesuatu yang tidak bisa dipilihnya dalam hidup.

Nico lebih bisa memahami pilihan banyak orang untuk tidak coming out daripada yang terang-terangan menolak homoseksualitas mereka dan menganggap seksualitas adalah sebuah kesesatan yang bisa diarahkan ke jalan yang benar.

"Nico?"

Raja sudah duduk di samping Nico dan wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran. Usahanya menarik perhatian Nico dengan menyentuh pundak tetapi tidak membuahkan hasil. Nico masih terdiam meski menyadari Raja masih menunggunya bersuara.

"Mereka nolak bantuan yang gue tawarin," jawab Nico setelah dia mengusap wajah dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Melihat Raja yang terlihat bingung, Nico mengembuskan napas pelan. "Lo inget soal dua cowok di Aceh yang gue sempet ceritain?"

Raja mengangguk. "Kamu nggak pernah cerita lagi soal mereka, jadi aku kira semuanya baik-baik aja."

Nico menggeleng. "I was hoping for that as well, but it turns out ... no, everything is not okay." Nico menyambar kembali ponsel yang belum genap lima menit dia letakkan dan menyodorkannya ke Raja setelah membuka balasan dari Burhan. "Lo baca sendiri."

Nico sadar sikapnya sangat tidak biasa. Namun dia terlalu lelah untuk menjelaskan kepada Raja tentang isi surel yang dengan hebat menjungkirbalikkan dunianya. Dia membiarkan pria itu membaca sendiri tanpa harus bercerita dengan penuh kemarahan.

Dengan satu gerakan, dia bangkit dari tempat tidur untuk mencari rokok yang tadi dia letakkan di atas meja kerja. Diambilnya satu batang sementara ekor matanya tidak lepas dari Raja yang menekuri ponsel dengan ekspresi datar tapi penuh konsentrasi. Setelah menyalakan dan menikmati satu isapan, dia berjalan ke dekat jendela.

Mengamati Raja dari balik asap rokok, Nico tersadar bahwa satu-satunya kesempatan Raja terlihat berantakan adalah setiap kali mereka selesai bercinta. Seolah setiap jengkal tubuh pria itu yang tertutup oleh kerapian dan keteraturan lenyap dan digantikan oleh nafsu yang tidak membedakannya dari Nico. Rambut pendeknya tetap tidak mampu menutupi kenyataan bahwa energinya baru saja terkuras habis hingga membuat kepuasan dan kelelahan itu bercampur dan tampak di wajahnya.

Sejak malam di hotel saat Raja mengungkapkan tentang Pinus, tidak ada yang berubah dari dinamika hubungan mereka. Nico tetap dengan keputusan untuk tidak mengizinkan Raja menginap sekalipun dia dengan jelas melihat permohonan dari tatapan pria itu. Nico tetap memaksa Raja pulang meski malam telah beranjak menuju fajar karena dia tidak ingin pertahanan hatinya dirobohkan. Dia tidak akan membiarkan Raja mencabut palang yang telah ditancapkannya hanya demi satu pria. Jika Nico bisa melakukannya dengan pria lain, Raja bukanlah pengecualian.

Nico memalingkan wajah saat menyaksikan Raja meletakkan ponselnya di atas nakas. Dia sudah menyiapkan diri dengan rentetan kalimat yang akan diungkapkan pria itu. Saat ini, Nico tidak membutuhkan simpati atau rasa kasihan dari siapa pun. Yang harus Nico hadapi adalah perasaan bersalah karena usahanya tidak cukup keras dan gigih untuk membawa Burhan dan Fathir keluar dari Aceh. Nico tahu dia perlu beberapa hari untuk lepas dari perasaan yang menggerogotinya tersebut.

"Kamu sudah kasih tahu yang lain?"

Nico menggeleng. "Ngasih tahu mereka nggak akan ngubah apa-apa. Ngapain repot-repot?" Ada kekalahan dalam kalimat Nico yang tidak berusaha dia sembunyikan. "Gue berusaha ngerti keputusan mereka nggak mau pergi dari Aceh karena itu berarti ninggalin keluarga dan lingkungan yang mereka kenal dengan baik. Tapi gue nggak paham alasan yang Burhan yang begitu naïf percaya bahwa homosekualitas mereka nggak ada bedanya dengan tersesat sampai harus dituntun buat kembali ke jalan yang bener." Nico menggeleng penuh dengan kekesalan. "Otak mereka udah terlanjur dicekokin sama dosa sampai-sampai nggak ada yang lebih penting dari pemahaman yang sangat bikin gue muak. I wonder if they had thought about that when they fucked each other." Nico mengisap rokoknya setelah mampu meluapkan sebagian rasa geram. "Kalau apa yang Burhan bilang adalah perwakilan dari begitu banyak gay yang nggak berani mengakui seksualitas mereka, lo tahu apa yang gue rasain? Kayak mereka ngeludahin gue. Gue nggak abis pikir kenapa mereka bisa sekejam itu sama diri sendiri. Don't they love themselves and realize that what they did was nothing but giving a lifetime punishment on their own lives?" Nico menyaksikan pohon mangga di luar kamar yang tidak pernah berbuah sebelum melanjutkan, "Gue nggak pernah bermimpi setinggi pernikahan sesama jenis bakal legal di Indonesia, tapi mereka mau nerima homoseksualitas aja udah hal yang bagus. Gimana orang lain bisa nerima soal itu kalau banyak orang kayak Burhan dan Fathir yang bahkan nggak ngakuin soal seksualitas mereka? Kenapa mereka nggak ngerasa ditindas oleh homofobia di sini yang makin hari makin bertambah?" Nico menggeleng heran. "Gue sama sekali nggak ngerti."

Nico tidak sadar jika Raja sudah beranjak dari tempat tidur dan berjalan menghampirinya. Ketika dia sadar, pria itu sudah berdiri di sampingnya dengan senyum tipis. Kerutan dahi Nico saat melihat Raja yang masih tidak menutupi tubuhnya seakan mengejutkannya.

Nico tidak pernah peduli dengan ketelanjangannya sendiri, tetapi melihat Raja yang selalu mengeluh dengan sedikit tumpukan lemak di pinggangnya berdiri dengan relaks, Nico hanya bisa diam.

"Mungkin mereka nggak tahu kamu berjuang untuk mereka juga, Nic. Have you ever thought about that?" Raja mengembuskan napas pelan sembari mengikuti pandangan Nico. "Kamu beruntung karena punya keberanian mengakui seksualitas kamu. Banyak orang nggak punya keberanian itu karena mereka tahu ada konsekuensi yang belum tentu sanggup mereka tanggung. Mereka sadar akan ada yang berubah. The way they see themselves, the way they see people around them ... the way they see others who condemn their sexuality .... Masyarakat kita semakin paranoid dengan homoseksualitas, seolah tanpa kehadiran kaum LGBTQ, ada jaminan bahwa hidup mereka akan lebih tentram dan damai. Let them be who they are, Nico, even when they're wrong. Kalau kamu bisa bersikap egois, kebahagiaan dan bagaimana mereka ngelihat seksualitas mereka bukanlah tanggung jawab kamu. It's none of your business about how they choose to live. You've done what you believe should be done, and that should be enough. Sama kayak kamu nggak bisa nyenengin semua orang, kamu juga nggak bisa bikin setiap gay yang masih kesulitan menerima diri mereka seutuhnya untuk mendobrak dan mengacaukan hidup mereka, terlepas dari apakah itu hal yang benar atau salah. Niat kamu baik, tapi nggak setiap orang akan ngeliat itu. And there is nothing you can do about it."

Nico menatap Raja begitu dia mematikan rokok, menikmati isapan terakhirnya sepenuh hati. "Lo pikir gue goblok?"

"Kok malah gitu reaksinya?" Raja tidak mampu menahan diri untuk tidak bersikap defensif. "You're one of the smartest people I've ever known. Aku cuma nggak mau kamu nyalahin diri sendiri atas keputusan Burhan, terlepas itu benar atau salah. Dia jelas percaya bahwa tetap di Aceh adalah hal yang harus dilakukannya sementara kamu berpikir sebaliknya. Nggak akan ketemu titik tengah di antara kalian, Nico, karena tujuan kalian udah beda. Banyak yang nggak bisa kamu kontrol dalam hidup, dan keputusan Burhan adalah salah satunya. Penolakan dia bukan berarti kamu gagal. It means that he knows what's best for him even though you don't have similar view."

Nico menyandarkan kepalanya ke kusen jendela meski pandangannya masih terpaku pada Raja. Rasa sebal yang sempat menyeruak terhadap Raja sedetik lalu mulai luruh. "Gue nggak ngerti kenapa dia tetep pengen tinggal di lingkungan yang mandang dia nggak lebih dari hewan."

"Dan kamu nggak akan pernah ngerti karena pola pikir kalian udah beda."

Nico terdiam. "What should I do now?"

Pertanyaan itu meluncur atas nama keputusasaan karena niatnya untuk membantu ditolak dengan alasan yang menurut Nico sangat tidak masuk akal. Ada perasaan kalah yang tidak ingin diakuinya. Ucapan Raja justru menimbulkan berbagai pertanyaan tentang keyakinannya sendiri bahwa setiap gay di Indonesia ingin lepas dari norma serta keterbatasan yang mengekang mereka. Mengakui kebenaran dalam kalimat Raja sama halnya dengan meruntuhkan semua yang selama ini dianggapnya sebagai kebenaran. Dia belum siap untuk itu. Nico masih ingin berpegang teguh pada mimpi bahwa setiap gay yang menghuni negara ini menginginkan kebebasan.

"Talk to your friends. Aku nggak mau apa pun yang aku sarankan bikin kamu jadi makin frustasi." Raja mendekatkan tubuh sebelum dia mengecup pundak Nico. "Aku pulang dulu dan ngasih kamu waktu buat berpikir. I know you don't want me around in a time like this. You need to be alone," bisiknya. "Call me if you need me. We don't need to use email anymore."

"Lo mau ngasih senjata ke Sandra buat nyerang lo?"

Senyum lemah terpasang di bibir Raja. "Dia lagi nggak di rumah."

"Nina?"

Raja menggeleng. "Dia bilang mau nyegerin otak. Aku nggak tanya dia mau ke mana dan ... sejujurnya nggak peduli lagi sedang ada di mana dan dengan siapa. It's her business. Yang penting dia nggak bawa Nina karena kalau iya, aku nggak akan di sini malam ini. I have to take her to school since yesterday and not once she asks about her monther. Rumah kerasa jauh lebih tenang karena nggak ada yang nuntut penjelasan macem-macem."

"Lo nggak usah ke sini dulu, deh. Urusin Nina."

"Nina baik-baik aja." Raja lantas tersenyum sebelum berujar, "Aku penasaran apa yang bakal terjadi kalau kalian ketemu."

Nico membuang muka. "Nggak usah ngimpi."

"Sometimes I wonder whether I will ever be able to understand you completely or not, Nic," ucap Raja lantas meninggalkan Nico dan berjalan menuju single sofa di mana pakaiannya dan Nico saling bertumpukan.

"You never will," bisik Nico pelan, sadar Raja tidak akan mampu mendengarnya. "Because I will never let you"

***

"Lo masih urusin akun yang dulu lo bikin buat Cakra, kan?" tanya Nico begitu dia teringat dengan akun sosial media yang dibuat Alan setelah Cakra mengalami penganiayaan beberapa bulan lalu.

Alan mengangguk. "Masih aktif, tapi udah lama gue nggak posting apa-apa sejak Cakra sembuh. Kadang-kadang aja gue posting kalau ada berita penganiayaan. Kenapa?"

"Jangan lo non-aktifin. Kita bisa bikin akun itu buat mereka yang mau ngelaporin penganiayaan, terutama komunitas kita. It can be their safe space. I want it to be the place they can run to."

Alan mengangguk. "By the way, gimana hubungan lu sama Raja?" tanya Alan setelah dia meletakkan piring yang lima belas menit sebelumnya masih terisi dengan satu porsi gado-gado. Dia mengusap bibir dengan tisu sementara Nico masih sibuk mengunyah lontong.

"Lo mau jawaban kayak apa? Atau lo penasaran apakah gue udah ngizinin dia nginep di rumah?" Nico menyisihkan piring kotor ke samping sebelum menghabiskan sisa es tehnya. "Nggak ada yang berubah dan nggak akan ada yang berubah, Lan. Gue berharap jawaban gue nggak ngecewain lo. Kalau lo mau jawaban yang muasin ego, mending lo tanya Raja. I believe he will gladly give you a long and thorough explanation."

Alan hanya mampu mengedikkan bahu menanggapi jawaban Nico. "Lu bakal ngenalin dia ke gue nggak?"

"Buat apa lo kenal dia? He won't stay around for long."

Gelengan yang diberikan Alan seolah mempertegas keheranannya akan pesimisme yang tidak pernah ditutupi Nico jika menyangkut hubungan romantis. "Kadang gue pengen lu kemakan omongan lu sendiri, Nic."

Nico justru tergelak mendengar ucapan Alan. "Lo orang pertama yang bakal gue kasih tahu kalau itu kejadian. Don't get your hopes up, though. Gue nggak mau lo semakin kecewa."

"Gue serius, Nic. Ada saat di mana lu bakal butuh seseorang dan saat itu tiba, lu nggak bakal bisa ngelak. Gue cuma nggak mau lu sembarangan sama orang yang ujung-ujungnya malah bikin lu sakit ati."

Menyadari Alan memang tidak bercanda dengan ucapannya, Nico menyilangkan lengan di atas meja dan menatap sahabatnya itu lekat. "Justru karena gue nggak mau sakit ati, makanya gue milih buat nggak terikat sama siapa pun, Lan. I'm too independent to be in love. Dan apa yang bikin lo percaya kalau Raja nggak akan bikin gue sakit hati? Lo harus tahu bahwa setiap orang punya potensi buat nyakitin orang lain, termasuk Raja. He's not a saint."

"Being in love doesn't make you less independent. You're still going to need someone. Just mark my words."

Belum sempat dia membalas, ponselnya berdering. Tanpa ragu, dia langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana karena tahu siapa yang meneleponnya. Tanpa melihat nama yang tampil di layar, Nico langsung menekan tombol accept.

"Ada apa, Eli?"

"Mas Nico harus pulang sekarang. I don't care how, but you better get your ass in here as soon as you can! Ke rumah Mas Nico, bukan rumah Papa."

Mendengar nada panik Eli, tidak mungkin bagi Nico untuk tidak tertular. "Kenapa?"

"Just get home, please?"

Sambungan itu terputus begitu saja.

"Kenapa, Nic?"

Nico mengangkat wajah untuk memandang Alan sambil menggeleng karena sejujurnya, dia pun tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. "Eli minta gue pulang secepetnya. Lo mau temenin gue? Dia kedengeran panik."

Alan mengangguk mantap. "Kita naksi aja."

Sementara Alan memesan taksi, dia bangkit dari kursi untuk membayar makan malam mereka.

What the hell is happening, Eli? tanya Nico tanpa tahu jawaban yang akan diterimanya.

***

Dear all,

Another update. Maaf ya minggu ini agak telat karena saya agak sibuk, hehehe. Setelah saya pikir-pikir lagi, sepertinya cerita ini nggak akan sepanjang TWENTY FOUR atau AS TIME GOES BY karena meski masih belum tahu persisnya akan jadi berapa bab, saya ngerasanya kok akan ada di angka 20-an. Udah ada beberapa ide lain yang pengen saya eksekusi setelah cerita ini, tapi saya nggak mau mulai nulis sebelum cerita ini kelar karena takut yang ini jadi terlantar. Yang pasti, saya pengen nyoba sesuatu yang lain di cerita selanjutnya, termasuk pakai playlist. Saya juga pengen ngelanjutin cerita ketiga Massimo dan Tirta karena udah hampir dua tahun sejak TIGA MALAM saya terbitin. Tapi kemungkinan baru tahun depan saya tulis.

Beberapa temen saya bilang kalau cerita saya itu berat, sementara saya selalu mikir, cerita saya justru sangat picisan dan terlalu sentimental. Ini mungkin cerita pertama saya di mana karakter utamanya sangat apatis sama yang namanya intimasi, dan somehow, I love it! Saya pengen banget nulis dengan karakter utama yang sangat nggak likeable, kayak Rena, hahahaha. Anyway, semoga kalian menikmati chapter ini. Maafkan rambling-an saya yang nggak jelas juntrungannya ini.

Have a great week ahead, people!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro