6 - KONTRADIKSI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Gue sengaja minta tolong sama Janus dan Lila," ujar Nico sambil memandang dua orang yang sedang duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri sebelum menambahkan, "ngadain potluck karena ada yang pengen gue sampein ke kalian. Mungkin beberapa dari kalian udah tahu, tapi gue yakin masih banyak yang belum tahu." Berbicara di depan banyak orang bukanlah sesuatu yang baru baginya. Sejak kuliah, Nico telah terlatih untuk menghadapi publik di atas panggung dan dituntut berbicara dengan cepat sekaligus lugas. Bahhkan untuk menyampaikan sesuatu yang sulit pun, Nico sudah paham trik yang harus dia gunakan. Namun gugup tidak pernah gagal mendatanginya karena tuntutan memilih kata-kata dengan lebih hati-hati adalah sebuah keharusan. Menghindari kesalahpahaman adalah salah satu kunci terpenting. Kali ini, setidaknya informasi pertama yang akan dia sampaikan adalah berita baik. "Gue dapet kabar RUU yang bakal ngerugiin komunitas LGBTQ dan perempuan ditangguhkan pembahasannya."

Senyum yang sedari tadi ditahannya lepas begitu melihat keriuhan yang sontak tersaji di hadapannya. Tepuk tangan bercampur tawa dan teriakan bahagia mereka sempat menganyutkan Nico. Namun Nico sangat sadar bahwa berita yang akan dia berikan selanjutnya akan menghapus semua keceriaan yang belum genap lima menit melingkup mereka. Kabar inilah yang sangat tidak ingin Nico sampaikan, tetapi tidak ada pilihan lain yang dimilikinya.

Begitu gelak dan kebahagiaan mereka reda, Nico menelan ludah seraya memandang satu per satu orang yang menunggunya berbicara. "Gue pengen ngasih tahu kalian lebih dulu karena sepertinya informasi ini belum sampai ke publil," ujarnya demi menunda berita buruk yang akan terlontar. Mereka kembali menyimak Nico dengan senyum yang masih belum luruh. "Menurut sumber yang sangat gue percaya, informasi ini emang belum sampai di media, mungkin masih nyari waktu yang pas. Meski ditangguhkan, bukan berarti RUU itu nggak akan diangkat lagi. Kita harus tetep berusaha nyinggung perkara ini setiap kita punya kesempatan agar bahasan ini nggak sepenuhnya hilang dari publik. Gue mendukung RUU yang emang melindungi warga negaranya, tapi kita semua tahu, RUU yang sedang diperbincangkan nggak hanya punya potensi buat memersekusi komunitas LGBTQ, tapi juga wanita dan kaum marginal lainnya. Gue harap RUU ini bakal dikaji lebih dalam dengan melibatkan ahli tanpa harus ngerugiin siapa pun, kecuali mereka yang emang pantas buat kena hukuman."

Berita gembira ini memang sengaja dia sampaikan terlebih dulu demi menyiapkan mereka akan kabar yang tidak lagi bisa Nico tunda.

Nico berdeham pelan sebelum melanjutkan. "Informasi selanjutnya yang pengen gue kasih tahu nggak sebahagia berita pertama," ucapnya sambil memandang teman-temannya yang mulai diam. Dia menelan ludah sebelum berkata, "Ini berhubungan sama kasus Jacinda."

Seperti yang Nico duga, banyak dari mereka yang saling bertukar pandang, termasuk Janus dan Lila. Nico sengaja menyimpan informasi ini dari siapa pun—kecuali Alan yang menjadi sasaran kekesalannya—agar dia mampu menyampaikannya tanpa terbawa emosi di depan orang-orang yang sekarang memandangnya dengan penuh tanya.

"Kenapa dengan kasus Jacinda?" Suara Janus terdengar begitu lebih keras karena yang lain memilih diam. "Jangan bilang kasus dia dihentikan karena nggak cukup bukti?" tebak Janus yang diambut berbagai macam reaksi.

Nico memandang sahabatnya itu yang terlihat tidak sabar dan mulai gelisah. Kembali membasahi tenggorokan sembari meyakinkan susunan kalimat yang telah disiapkannya tepat, Nico memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kalau dihentikan secara formal sepertinya nggak, Jan, tapi sumber gue bilang kasus Jacinda ... dibekukan. Dengan kata lain, kasus Jacinda kemungkinan besar nggak akan pernah selesai dan pelakunya nggak akan pernah ketangkep. Gue tegasin lagi, ini bukan sebuah kepastian tapi menurut sumber gue, mengarah ke sana. Sumber gue juga bilang nggak akan mungkin ada pernyataan terbuka soal ini. Seenggaknya itu yang dikasih tahu ke gue," jawab Nico sambil melirik Alan yang memberinya anggukan singkat. "Gue nggak mau punya pikiran buruk sama polisi, tapi ada yang berpendapat kasus kayak gini emang ada kemungkinan bakal disisihin. Kita semua tahu, seksualitas Jacinda selalu dijadikan topik dibandingkan dengan apa yang menimpanya. Dengan situasi sekarang—penangguhan RUU dan homofobia yang semakin santer—gue berpendapat alasan itu yang paling masuk akal. Gue percaya pihak berwajib nggak akan beda-bedain kasus atas dasar seksualitas, tapi siapa pun dalang di balik tragedi yang menimpa Jacinda jelas punya backing yang kuat sampai sumber gue sangat yakin bahwa kasus Jacinda nggak akan pernah terungkap." Nico membasahi bibirnya dan jantungnya semakin berdegup kencang menyaksikan orang-orang saling berspekulasi. Nico mengeraskan suara saat berkata, "Apa pun yang kalian rasain sekarang, nggak jauh beda sama apa yang gue rasain begitu gue dikabarin. Gue percaya ini bukan cuma kasus penganiayaan yang berbuntut kematian, tapi seksualitas Jacinda menjadi hal paling utama kenapa ini sampai terjadi. Tragedi yang menimpa Jacinda mengingatkan bahwa kita semua pun terancam."

"Berarti kita terima gitu aja?"

Semua pandangan beralih ke Cassandra—salah satu teman Jacinda yang juga seorang transpuan—yang datang karena Nico memang memintanya datang. Nico memang tidak akan pernah tahu persis apa yang dirasakan Cass—begitu dia ingin dipanggil—tapi dia memahami kemarahan yang tampak dari wajah dan bahasa tubuhnya. Begitu Vania—sesama transpuan yang duduk di sebelah Cass—menenangkannya, pandangan mereka kembali fokus kepada Nico.

"Kasusnya masih sangat baru, Mas Nico. Pasti ada sebabnya mereka enggak mau ngurusin kasus Jacinda lagi. Aku enggak percaya sama teori konspirasi dan semacemnya, tapi ini jelas keliatan aneh." Ucapan Vania tersebut diamini banyak orang.

Nico dan Alan hanya saling bertukar pandang begitu ruang tamu Lila dan Janus itu menjadi lebih riuh. Jacinda memang tidak bisa disebut sebagai tanggung jawabnya atau orang-orang yang ada di ruangan ini, tapi dia dan orang-orang ini peduli dengan keadilan. Tidak ada satu pun yang ingin kasus Jacinda dimasukkan laci begitu saja, semua yang hadi malam ini jelas mengharapkan sesuatu yang positif. Namun Nico tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mengubah situasi.

Ketika mampu menguasai diri, Nico berseru, "Guys, dengerin gue!"

Entah suaranya yang terdengar tegas dan menuntut perhatian atau akhirnya mereka sadar bahwa Nico masih belum sepenuhnya selesai, mereka langsung diam. Nico dengan jelas menyaksikan kebahagiaan akibat ditangguhkannya RUU tadi telah digantikan oleh informasi soal Jacinda.

"Kita semua kecewa dan kita udah ngelakuin apa yang kita bisa. Mau atau nggak, kita harus akuin ada yang jauh lebih punya kuasa daripada kita. Gue nggak mau mikir kasus Jacinda jadi seperti ini karena ada konspirasi atau semacemnya. Kalau sampai gue berpikir ke sana, itu bakal bikin gue semakin mikir yang macem-macem. Siapa pun orang-orang ini, mereka punya kemampuan buat ngelakuin apa aja tanpa peduli soal kemanusiaan, apalagi rasa kasian. Gue cuma pengen ngingetin kalian supaya hati-hati. Gue nggak pengen denger kejadian yang sama menimpa kalian." Nico mengarahan pandangannya ke Cass dan Vania. "Tolong ingetin temen-temen transpuan yang lain karena gue jujur takut bahwa mereka sengaja ngincer komunitas kalian." Nico tahu teman-temannya bukan tipe penakut, maka dari itu dia tidak khawatir mereka salah menanggapi ucapannya. "Buat temen-temen lain yang udah terbuka mengenai seksualitasnya, gue juga minta kalian hati-hati. Bukan nggak mungkin kalian jadi sasaran selanjutnya. Selama ini gue cukup lega karena hate crimes berdasarkan seksualitas di Indonesia nggak separah di Amerika, tapi yang terjadi sama Jacinda ngasih tahu kita bahwa ada orang-orang yang masih nggak bisa memahami tentang LGBTQ dan menjadikan itu sebagai alasan utama tindakan mereka. Sementara ini, itu dulu yang bisa gue sampein. Kalau ada apa-apa, kalian bisa langsung hubungin gue atau Alan. Itu aja."

Tanpa menunggu lebih lama, Nico bergegas menuju teras belakang setelah menyambar satu asbak kecil yang disediakan Lila. Semenjak datang, nafsu makannya tidak muncul sama sekali karena sibuk meladeni rentetan pertanyaan yang dia sendiri tidak punya jawabannya. Dia tidak bisa mengisi perut ketika ada hal yang lebih penting menuntut perhatiannya.

Alih-alih duduk di lantai, dia berjalan menuju ayunan yang letaknya berdekatan dengan kolam renang. Setelah menyalakan rokok, Nico menyandarkan punggung sambil menyaksikan langit malam yang penuh dengan bintang, berharap titik-titik cahaya tersebut bisa memberinya sedikit ketenangan. Namun harapannya jelas sia-sia. Semakin berusaha menyingkirkan setiap kemungkinan terburuk mengenai sebab kasus Jacinda dihentikan, pikirannya justru semkain dipenuhi dengan berbagai skenario.

"Aku nggak ganggu kamu kan, Nic?"

Tanpa menoleh pun, Nico tahu pemilik suara itu. Hanya satu orang yang punya suara mirip dengan news anchor dalam lingkup pertemanannya.

Dia menggeleng pelan sambil mengisap rokok dan menyaksikan asapnya menghilang.

Alan dan Cakra berkali-kali membujuknya minta maaf kepada Valo setelah mereka tahu apa yang terjadi, tetapi Nico bergeming. Dia tidak pernah mau meminta maaf karena menyuarakan kebenaran. Jika pilihan Valo adalah mengabaikannya tiap kali mereka bertemu, Nico tidak keberatan. Namun sapaan Valo jelas akan membuka kembali hubungan mereka yang sempat menegang.

"Lo nggak makan?" tanya Nico begitu Valo duduk di hadapannya. Di matanya, Valo jauh dari kesan pria paling menarik secara fisik, tetapi kecerdasan otaknya jauh mengungguli tampilan luar Valo. Nico tidak ragu bahwa faktor itulah yang membuat Valo menjadi magnet bagi banyak orang. Ditambah sikap sopan yang bagi Nico kadang terlalu berlebihan, dia selalu merasa Valo lahir dan besar pada zaman dan tempat yang keliru.

"I had a late lunch."

Nico mengisi paru-parunya dengan racun yang telah lima belas tahun tidak mampu dia jauhi. "Lo nggak ngerokok lagi sekarang?"

"Masih. Cuma sekarang lagi nggak pengen."

Nico berdecak, tetapi Valo justru menanggapinya dengan sebuah tawa. Mau tidak mau, Nico ikut tertawa. Dia sering menggoda Valo yang selalu menjaga image di mana pun berada—termasuk tidak merokok di tempat umum—kecuali di depan teman-teman terdekatnya. Nico tidak paham jalan pikiran Valo yang menganggap rokok akan menodai pendapat orang tentang dirinya. Setengah merebahkan tubuh, Nico berusaha mengingat nama rasi bintang yang tersebar di atasnya, tapi tidak ada satu pun yang hinggap di ingatan.

"Kamu pasti lega soal RUU itu."

Nico mendesah. "Lumayan. Seenggaknya buat sementara gue bisa mikirin hal lain."

Valo menatap Nico dan tampak ragu sebelum berkata, "Kolom kamu di edisi terakhir The Rainbow bikin aku mikir tentang hubunganku dan Prana."

"Lo baik-baik aja sama Prana, kan?" tanyanya setelah menimbang kalimat seperti apa yang bisa dia ucapkan.

"We're fine. Cuma argumen-argumen kecil yang masih aku anggep wajar. Tapi gara-gara baca kolom kamu, aku jadi bertanya apakah hubungan kami masuk kategori toxic."

Nico memutuskan untuk mematikan rokoknya setelah menikmati isapan terakhir.

Idenya menulis tentang toxic relationship bermula dari membayangkan hubungan seperti apa yang akan dimilikinya jika dia dan Raja adalah dua orang yang punya kepribadian berbeda: dirinya seorang yang menjunjung tinggi komitmen serta percaya dengan cinta dan sejenisnya, sementara Raja adalah pria single yang tidak takut namanya akan masuk surat kabar jika ketahuan menjalin hubungan dengan sesama jenis. Dari sana, Nico merunut hubungan yang dimiliki teman-temannya dan mengambil kesimpulan bahwa sedikit banyak, toxicity itu ada dalam setiap hubungan. Yang membedakan satu hubungan dengan yang lain hanyalah kadarnya. Setelah membaca beberapa jurnal dan artikel tentang toxic relationship untuk meyakinkan diri, Nico memutuskan untuk mengangkat tema itu.

Nico cukup terkejut mendengar Valo menyinggung soal kolomnya di The Rainbow karena selama ini, hanya beberapa orang yang terbuka mengutarakan kebiasaan membaca tulisannya di media.

"Apa yang bikin lo berpikiran kayak gitu?" tanya Nico sambil menegakkan duduknya.

Valo menengadah, seperti ingin mencari jawaban pertanyaan itu di langit. "Prana lebih sering ngalah tiap kali kami berargumen. Selama ini, aku nggak inget dia pernah nolak sama apa yang aku minta. Sebaliknya, aku nggak inget kapan terakhir kali ngalah sama dia. Beberapa minggu terakhir, kesibukanku bener-bener menyita waktu sampai ketika dia protes, aku justru nuduh dia macem-macem." Valo lantas kembali menatap Nico dan bertanya, "Do you think it's healthy? Aku selalu ngerasa kami baik-baik aja, tapi setelah baca artikel kamu, aku jadi sadar bahwa hubungan kami jauh dari ideal. Ada banyak yang harus diperbaiki kalau aku mau hubungan kami bertahan lama."

"Gue nggak mau ngasih opini karena gue nggak mau lo jadi makin kepikiran atau buruknya, lo jadi terpengaruh sama apa yang gue bilang. Lo harusnya tahu, gue orang terakhir yang bisa lo mintain pendapat soal relationship," Nico tergelak menyadari betapa ironis kalimatnya. "Yang bisa gue bilang, lo wajib ngomong sama Prana. Bukan cuma sekilasan, tapi bener-bener cari waktu buat duduk berdua. Kalau perlu, kalian bisa bikin daftar soal apa aja yang menurut lo sama Prana bisa dibenahi buat mertahanin hubungan. Gue belum pernah ngelakuin itu, tapi dari yang pernah gue baca, katanya itu bisa ngebantu. Gue yakin tiap pasangan pernah ngalamin apa yang lo alamin. Gue pikir itu sesuatu normal."

"Kadang aku pengen banget bisa jadi kayak kamu, Nic."

Nico tergelak karena dari sekian banyak manusia yang pernah mengucapkan kalimat serupa, dia tidak pernah menduga akan mendengarnya dari Valo. "Nggak usah besarin hati gue dengan ngomong gitu, Val. Gue nggak yakin lo bakal kuat kalau ada di posisi gue. Bukannya nyombong kalau gue lebih kuat daripada lo, tapi lo jenis manusia yang butuh validasi dan pengakuan atas semua achievement lo. Gue kebalikannya. Dan tendensi lo buat bikin semua orang suka sama lo ... itu bukan gue banget. Gue nggak pernah peduli orang suka atau benci sama gue. Lo selalu berusaha senengin orang lain dan lupa bahwa sebaik-baiknya lo jadi manusia, bakal tetep diomongin di belakang. Sementara gue masa bodo kalau ada yang ngegunjingin. Gue nggak peduli orang nganggep gue apa karena tahu ada beberapa orang yang nyaman sama sifat dan sikap gue. Gue lebih fokus ke situ. Justru gue salut karena lo udah jalan empat tahun sama Prana sementara gue nggak pernah bisa punya komitmen sama siapa pun. It's admirable what you have with Prana, but I can't be like that. Bukan berarti gue ganti tempat tidur tiap malem, tapi gue nggak bisa terikat sama orang, apalagi urusan perasaan. Gue nggak yakin kalau pilihan itu ada, lo bakal milih jalan hidup seperti gue."

Mereka saling bertatapan sebelum Valo tersenyum tipis. "But I admire what you do. I admire your courage. And you're such a fearless human being, Nic."

Meski ingin tertawa, Nico memilih untuk tersenyum. "Gue manusia biasa yang bisa mati, Val, tentu aja gue punya ketakutan. Gue cuma berusaha nggak ngebiarin ketakutan itu ngedikte dan ngatur hidup gue. Kadang gue bisa, tapi sering juga dikendaliin ketakutan yang nggak bisa gue singkirin. Gue nggak mau orang tahu ketakutan gue karena mereka nggak bisa ngapa-ngapain juga kalau tahu. Cuma gue yang bisa ngatasin ketakutan itu."

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Ucapan Nico terbukti tentang sikap Valo yang terlalu sopan. "Lo satu-satunya orang yang gue kenal yang selalu minta izin tiap kali mau nanya," balas Nico. "Lo mau nanya apa?"

"Apakah kamu juga pake topeng, Nic?"

Nico tidak pernah kesulitan menjawab segala macam pertanyaan yang diajukan kepadanya, tetapi apa yang baru dia dengar membuatnya tertegun. Bukan karena dia tidak tahu bagaimana meresponnya, tetapi karena pertanyaan itu datang dari Valo, orang yang memilih untuk mengenakan topeng sepanjang hidupnya.

"What do you think?"

"I think you do."

"Berarti nggak penting lagi gue jawab karena lo udah punya jawaban sendiri. Misalkan gue jawab nggak, lo bakal lebih percaya jawaban lo sendiri. Because that's the nature of human being, Val, they'd prefer to believe their own judgment than the reality." Nico tersenyum sebelum dia bangkit dari ayunan dan menepuk pundak Valo. "Let's eat. I'm hungry."

***

Dear all,

Part ini emang pendek, dan saya emang mutusin buat bikin per chapter-nya nggak lebih dari 2000 kata karena setelah saya jalanin, ternyata lebih mudah dan enak buat saya nulis dengan jumlah kata kurang dari 2000. Bab ini aja yang awalnya cuma 1600-an, melebar jadi 1900-anm hiks. Dan saya harap sih akan jauh lebih rutin update-nya. Tetep nggak bisa tiap hari, tapi saya usahain nggak seminggu (atau bermingu-minggu) sekali juga, hahahaha.

I hope you enjoyed this part dan kayaknya emang nggak gitu banyak ya yang minat dengan ceritai ini? LOL. Mungkin emang temanya yang agak berat atau mungkin tulisan saya yang nggak bagus. Anyway, apa pun itu, saya nggak akan unpublish meski nanti yang baca nggak banyak. This story has been in my head for around 4 years, that I will not let anything stop me from finishing it.

Have a great Saturday, people!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro