7 - PINUS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Lo kenapa nginep di hotel? Sandra?"

Nico menyanggupi permintaan Raja yang memintanya datang sore ini tanpa banyak bertanya. Baru ketika memasuki lobi dan melihat Raja duduk di salah satu sudut, Nico merasakan ada yang berbeda dari tampilan pria itu.

Hotel di kawasan Mega Kuningan dengan segala kemewahan yang ditonjolkan ini tidak akan pernah diinjak Nico kecuali terpakas. Dia menyimpan ketidaksukaan yang sangat mendalam karena kesan borjuis yang ditampilkan selalu menyeret Alfian Witeja dalam pikirannya.

BERANDA menyita fokus Nico beberapa hari terakhir, terutama menemukan cara untuk tetap mengangkat kasus Jacinda tanpa membahayakan teman-temannya. Namun pesan dari Raja pagi ini terdengar mendesak hingga sulit bagi Nico untuk mengabaikannya. Dia sengaja menyimpan rasa ingin tahu karena Raja tidak akan memberinya jawaban yang memuaskan.

Langkah Nico semakin berat saat Raja mengangkat wajah dan menyambutnya dengan senyum yang tampak terpaksa. Menelan ludah, Nico menyeret kakinya saat Raja meletakkan surat kabar yang tadi dibacanya dan segera berdiri.

Pertanyaan itu terlontar dengan cepat begitu mereka saling berhadapan. Namun Raja membalasnya dengan diam sebelum dia berkata lirih, "I need to be with you."

Meski waktu sudah hampir menunjukkan pukul lima sore, kemeja lengan panjang dan celana bahan yang dikenakan Raja masih terlihat tanpa cela. Rambutnya masih tertata rapi hingga bagi kebanyakan orang, Raja tampak baik-baik saja. Namun Nico tahu ada yang belum diungkapkan pria itu.

"Let's go to my room. I'll tell you everything," ucap Raja saat menyaksikan Nico tidak bergeming.

Perjalanan dari lobi menuju lift hingga sampai di kamar absen dari kata-kata hingga Nico berkali-kali menggunakan ponselnya untuk mengalihkan perhatian. Dia sepenuhnya percaya Raja tidak akan meminta bertemu di sini tanpa alasan.

Begitu memasuki kamar, Nico tidak repot-repot melepas sepatu karena dia sudah memutuskan tidak akan tinggal di sini lama. Setelah mengetahui sebab dia harus menembus kemacetan demi ada di tempat ini, Nico akan langsung pulang.

"Lo sampai kapan mau nyuekin gue?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Nico seperti yang selalu dia lakukan, Raja justru menuang satu botol Glenfiddich ke dalam gelasnya. "Kamu mau?"

Melihat Raja memegang gelas berisi wiski membuat Nico menyadari betapa tidak pasnya kombinasi itu. Pria yang menurut Nico sangat sentimental itu harusnya memegang teh botol atau coke, bukan minuman berkadar alkohol tinggi seperti wiski.

"Nggak usah basa-basi, Raja. Gue ke sini bukan buat minum wiski," tukas Nico.

Sejak mengenal Raja, tidak sekali pun Nico pernah menyaksikan pria itu mengonsumsi alkohol. Tatapannya tidak beralih dari Raja yang menandaskan setengah gelas dalam sekali tegukan. Nico menyadari betapa serius persoalan yang belum diungkapkan Raja hingga dia tahu tidak bisa bersikap seperti biasanya.

Mengamati Raja dengan saksama, Nico menangkap kebingungan yang teramat besar dari bahasa tubuh pria itu. Selain memainkan jemarinya pada bibir gelas, Raja seperti lupa bahwa televisi di kamarnya masih menyala meski tanpa suara. Langkahnya tampak ragu-ragu sementara wajahnya sesekali menunduk dan bibirnya menggumamkan sesuatu yang tidak mampu ditangkap jelas oleh Nico.

Kesabaran tidak pernah menjadi kekuatan utama Nico, tetapi saat ini, dia memilih untuk menunggu dalam diam sampai Raja siap mengungkapkan semuanya.

"Salah satu staf Pinus yang udah lama kerja ... meninggal tadi malem," ucap Raja sambil memainkan gelas di tangannya sebelum bersandar pada bufet rendah yang berada di depan televisi. Dia menerawang, seolah menemukan sesuatu di sudut ruangan yang sebelumnya tidak berada di sana. "Pak Padri udah di Pinus bahkan ketika Kakek masih hidup. Sejak semalem, aku berusaha bantu ngurusin semuanya sampai beliau dimakamkan tadi. Losing him is like losing a pivotal piece of Pinus." Raja membuang napas seraya mengucek mata. "Aku nggak mau pulang ke rumah karena Sandra akan membuat kepalaku semakin pusing. This room is my sanctuary, Nico. I can't remember how many times I've been here without telling anyone." Raja menyunggingkan senyum tipis tanpa mengalihkan tatapannya dari Nico. "Nggak ada yang tahu soal tempat ini ... kecuali kamu."

Kalimat terakhir Raja menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri Nico. Mengetahui pria itu membagi satu rahasia dengannya membuat Nico menahan geram karena menumpahkannya di hadapan Raja bukanlah keputusan yang tepat.

"Sandra nggak akan ngebiarin aku tenang. Dia selalu tahu cara paling tepat buat bilang sesuatu yang bikin aku ujung-ujungnya pergi juga dari rumah. I saved myself from all of that trouble and traffic," lanjutnya. "Aku harus cari pengganti Pak Padri, dan kepalaku udah pusing mau cari di mana. I can't just pick random people to work for Pinus because there is tradition that needs to be upheld. Aku bahkan lupa kapan terakhir kalinya harus nyari staf baru." Raja kembali mengosongkan gelas wiskinya dalam sekali teguk. Setelah meletakkan gelas di samping tumpukan majalah, Raja berjalan menghampiri Nico yang duduk di tepi tempat tidur. "Aku tahu jawaban yang akan kamu berikan, Nico, tapi aku akan tetap nanya," Raja menundukkan wajah sebelum menatap Nico, "will you stay with me tonight? Aku nggak mau sendirian."

Nico mengamati setiap bagian dari wajah Raja. Kerutan di kening yang tampak lebih jelas saat ini, hidung mancungnya yang tampak sedikit memerah hingga saat pandangan mereka bertemu, Nico menemukan kesedihan luar biasa yang tidak pernah dilihatnya dari Raja.

Nico paling benci berada dalam situasi di mana dia harus mengambil keputusan yang berkaitan dengan hati. Dia tidak pernah tahu sikap seperti apa yang harus diambilnya untuk menenangkan sikap yang sekarang disajikan Raja saat ini.

"Lo nggak sendirian di Pinus, kan? Gue yakin staf lainnya bakal bantuin lo."

Senyum tipis yang tersungging di bibir Raja seolah ingin memberitahu Nico bahwa pertanyaan seperti hanya pantas diajukan oleh Nina. "Sejak Papa nggak ada, Pinus jadi tanggung jawabku sepenuhnya, Nico. Aku nggak bisa bagi tanggung jawab buat nyari ganti Pak Padri dengan orang lain. I'm the one who needs to find his replacement. Kami jarang membuka lowongan karena sebagian besar yang kerja di Pinus sudah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. Aku tahu banyak yang ingin kerja di Pinus karena nama besarnya, tapi aku takut ngambil keputusan yang salah, keputusan yang justru mencoreng nama Pinus. Ada standar yang harus kami jaga, Nico. We've been in this tailoring business for more than 50 years. Aku cuma takut ngambil langkah yang keliru."

Nico tidak tahu apa-apa tentang bisnis bespoke yang memang telah menjadi bisnis keluarga Raja, jadi memberikan masukan bukanlah porsi yang bisa diambilnya. Satu-satunya tradisi yang dipunyainya adalah nama Witeja, dan itu pun sudah bukan miliknya lagi.

"Lo cari dari lulusan sekolah mode bisa, kan?"

Raja menggeleng diiringi tawa kecil. "Bisa, tapi aku nggak yakin itu cara yang pantas aku ambil. Kebanyakan dari mereka masih terlalu idealis, Nico. Mereka nggak akan mau terikat dengan tradisi seperti yang Pinus miliki. They want to create something new, and groundbreaking. Visi mereka nggak akan pernah sejalan dengan Pinus."

"Lo belum coba."

"Aku nggak perlu nyoba buat tahu kalau itu akan sia-sia." Raja mengangguk seolah mengamini sendiri ucapannya. "Kakek memulai Pinus dari nol. Nggak pernah ada pikiran bahwa Pinus akan jadi sebesar dan bertahan selama ini. His dedication toward his craft was ... outstanding. Kakek juga nggak pernah belajar secara formal, semuanya didapat dari pengalaman. Ketika Papa mengambil alih Pinus, beliau tahu bahwa apa yang Kakek rintis nggak boleh hilang, dan memutuskan buat membesarkan Pinus hingga jadi seperti sekarang." Raja mengembuskan napas sebelum melanjutkan, "Papa mulai lebih sering ngajak aku ke Pinus sepulang sekolah dengan harapan warisan Kakek nggak akan berhenti di Papa. Beliau mulai ngajarin aku soal berbagai jenis kain, ngeliat pekerja bikin pola, sampai ngejahit dengan tangan. Aku nggak tahu kenapa bukan saudaraku yang lain yang dipilih Papa. Aku pernah nanya, dan beliau bilang bahwa aku nggak akan mengecewakan Pinus dibanding Prana atau Bima. Jadi ada kesan bahwa Papa maksa aku buat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan Pinus." Raja tersenyum saat pandangannya dan Nico bertemu. "Tapi aku nggak pernah ngerasa seperti itu. Aku menikmatinya, Nico. Every single thing that he taught me. Pinus adalah satu-satunya tempat yang membuatku betah ada di sana tiap kali libur sekolah tiba. Papa kemudian ngirim aku ke London selepas SMA buat belajar lebih banyak soal tailoring. Aku sempet magang dan kerja di salah satu bespoke house di Savile Row. Setelah yakin ilmuku cukup, aku kembali ke Jakarta dan ngambil alih posisi Papa," jelas Raja dengan kebanggaan yang sulit untuk disembunyikan. "The rest is history."

Nico belum pernah mendengar Raja becerita soal Pinus sedetail itu. Satu-satunya yang diketahuinya tentang Pinus adalah mahal dan ekslusif. Hanya kalangan tertentu yang mampu menggunakan jasa Pinus karena kesan yang dibangun oleh papa Raja. Bisnis turun-temurun itu bukanlah informasi baru bagi Nico.

Ada rasa kagum yang muncul dalam diri Nico mengetahui sejarah tempat yang telah membentuk kepribadian Raja. Pria itu bisa saja bersikap ceroboh dan seenaknya sendiri layaknya kebanyakan anak orang kaya yang mewarisi usaha keluarga. Dedikasi serta usaha Raja untuk menjaga nama Pinus sedikit membelokkan arti pria itu dalam kehidupannya. Tentu saja Nico tidak akan mengakuinya, tidak di depan Raja.

Nico berdeham sebelum bangkit dari duduk dan berjalan menuju dinding kaca yang ada di belakangnya. Dia perlu rehat sejenak dari pandangan Raja yang semakin menguatkan rasa tidak nyaman dalam dirinya. Dari sini dia bisa melihat kenapa Jakarta begitu menarik minat banyak orang. Ada keangkuhan yang menantang siapa pun untuk menaklukannya. Kerlip lampu dari kendaraan yang berlalu lalang dan bangunan tinggi di sekelilingnya adalah godaan terbesar bagi para pemuja kemewahan. Dia mengedarkan pandangan sekilas ke arah ruang tamu yang terpisah dari ruang tidur dan menahan diri agar tidak menanyakan harga kamar ini untuk satu malam. Ngabisin duit buat sesuatu yang nggak penting! Namun untuk sesaat, Nico ingin membiarkan hatinya melunak. Untuk kali ini saja.

Saat dia membalikkan badan, Raja tertunduk lesu. Dorongan untuk mendekat begitu besar, tetapi Nico diliputi ketakutan bahwa dia akan pasrah pada perasaannya. Maka dia menelan ludah sebelum berkata, "Gue bisa nemenin lo malam ini, tapi jangan kira lo bisa minta lagi lain kali. Gue nggak mau baca berita kematian lo misalnya gue nggak nemenin lo malam ini."

Raja mengangkat wajah. Senyum yang ditunjukkanya kali ini lebih lebar dari sebelumnya. "Orang lain mungkin akan nganggep ucapan kamu barusan sebagai cemoohan, tapi aku tahu bukan itu maksud kamu." Dia beranjak dari lengan sofa dan menghampiri Nico yang memunggungi dinding kaca. Begitu berada tepat di hadapannya, Raja membelai wajah Nico yang terlihat menegang. "Terima kasih, Nico. It means a lot to me."

Bahkan ketika Raja memeluknya, Nico hanya terpaku. Kedua lengannya masih belum beranjak dari sisi tubuhnya sementara pelukan Raja terasa semakin erat. Dia selalu berusaha menjaga kontak fisik dengan Raja seminimal mungkin—kecuali jika mereka sedang bercinta—karena dia tahu Raja bisa dengan mudah memaksanya untuk belajar menerima intimasi melalui sentuhan. Nico tidak pernah mau bersinggungan dengan intimasi yang melibatkan emosi.

Nico memejamkan mata saat mendengar Raja terisak. Awalnya pelan, tetapi lama-kelamaan semakin kencang hingga tubuhnya terguncang. Pertarungan antara ego dan keinginan berlangsung sengit hingga membuat Nico frustasi. Namun saat menyadari tangis Raja tidak juga berhenti, dia mengangkat lengan dan dengan gemetar, mendaratkan telapak tangannya pada punggung Raja. Dielusnya pelan sambil beharap pria berumur 37 tahun itu segera menghentikan tangis.

Dan gue mulai ngelanggar apa yang selama ini berhasil gue pertahanin. Fuck you, Raja!

***

Nico selalu menulis ketika sebagian besar orang terlelap. Dia tidak akan membuat pengecualian sekalipun ini adalah pertama kalinya dia menghabiskan malam bersama Raja. Baginya, malam selalu menyimpan inspirasi yang melimpah.

Setelah menikmati makan malam lewat room service, Nico mendengarkan Raja melanjutkan cerita tentang Pinus. Mulai dari klien-klien penting yang pernah menginjakkan kaki di Pinus—yang fotonya terpampang di dinding-dinding ruangan di Pinus—sampai dengan usaha Raja untuk menjangkau pasar yang lebih muda tanpa harus mengorbankan tradisi dan kualitas. Raja yang duduk di sebelahnya bukanlah Raja yang dia kenal selama ini. Sepuluh bulan sejak memulai hubungan dengan Raja, yang Nico ketahui hanyalah potongan-potongan yang tidak lengkap tentang kehidupan pria itu. Nico jelas tidak tertarik dengan bagian yang tidak diungkapkan Raja. Yang mereka jalani tidak cukup dalam untuk berbagi setiap rahasia yang mereka bawa dalam hidup.

Jika biasanya Nico terjaga sampai subuh untuk menulis, kali ini dia terlelap setelah bercinta dengan Raja. Terbangun pukul dua pagi secara tidak sengaja, Nico memutuskan akan melanjutkan tulisan tentang Jacinda. Bangkit dari tempat tidur berukuran king itu—Nico sempat menggoda Raja bahwa dia sengaja meminta kasur berukuran itu agar sesuai dengan namanya, yang ditanggapi Raja dengan tawa—Nico berjalan pelan menuju ruang tamu. Dinyalakannya lampu meja kerja setelah dia meraih tas yang masih tergeletak di sofa. Begitu dia duduk, dengan pelan tapi pasti, pikirannya langsung bekerja.

Kata-kata yang saling bermunculan di kepalanya sudah siap dia tuangkan, tetapi tangannya membeku di atas keyboard dan pandangannya justru terpaku pada pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang tamu. Menatap kembali layar laptop, Nico berkonsentrasi menyusun kalimat agar dia bisa menyelesaikannya malam ini juga. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil. Menyadari tulisannya tentang Jacinda kembali harus ditunda, Nico menutup laptop dengan geram. Dia menyisirn rambut ikalnya dengan penuh kemarahan sebelum melangkah kembali ke kamar.

Kecuali lampu di atas mini bar serta lampu di meja kerja yang baru saja dia nyalakan, kamar itu cukup gelap. Tapi Nico masih bisa melihat siluet meja dan sofa yang ada di dekat tempat tidur hingga dia tidak perlu khawatir akan terantuk. Alih-alih kembali ke tempat tidur, Nico duduk di sofa panjang yang menghadap langsung ke tempat tidur. Dalam kegelapan, pandangannya langsung terarah pada Raja yang terlihat sangat pulas.

Melihat pria lain tertidur menyadarkan Nico bahwa sudah lama tidak ada pria yang tidur di atas ranjangnya hingga matahari terbit. Memperhatikan Raja dan semua yang dia dengar hari ini, mengubah sedikit pandangannya tentang sosok Adhiraja Wisnu. Anggapan bahwa Raja tidak pernah harus kerja keras dalam hidup dan selalu mendapatkan keinginannya sejak lahir, terpatahkan. Perasaan yang selama ini ditakutkannya terlihat semakin jelas.

Nico mendesah pelan.

Jika menghabiskan waktu dengan Raja mampu mengacaukan konsentrasinya, Nico takut dia akan sampai pada titik di mana dia tidak akan mampu melakukan apa pun. Dia tidak ingin diperbudak oleh perasaan, terlebih oleh pria beristri yang tidak pernah mengetahui seksualitasnya dengan pasti. Satu yang dibencinya dari jatuh cinta adalah tidak adanya kepastian. Seperti berjudi dengan hati. Orang waras mana yang mau menjadikan hatinya sebagai taruhan? Nico menggeleng. Dia tidak akan membiarkan dirinya jatuh sedalam itu. Dia mampu melakukannya dengan pria-pria sebelum Raja, dan kali ini dia tidak melihat ada perbedaan.

Napas Nico tertahan ketika melihat tangan Raja menyusuri sisi tempat tidur yang tadi ditempatinya. Bahkan saat Raja menyalakan lampu di atas nakas dan memanggil namanya, Nico masih diam.

"Nico?" tanyanya dengan suara parau begitu menyadari pria yang dipanggilnya duduk dalam gelap. "I thought you'd left." Ada keputusasaan bercampur ketakutan dalam suara Raja hingga sulit bagi Nico untuk bersikap kasar.

"Gue kebangun dan nggak bisa tidur lagi."

"Is there something wrong?"

Nico menggeleng, tidak peduli apakah Raja bisa melihatnya atau tidak. "Lo balik aja tidur. Nggak usah khawatir, gue nggak akan ninggalin lo sendirian."

Mereka saling bertatapan sebelum dengan pelan, Raja menepuk sisi tempat tidur yang mulai dingin karena pendingin ruangan. "Come back here, please?"


***

Dear all,

Mungkin banyak yang bertanya-tanya soal Pinus, karena sejak saya sebutin di bab 1, belum ada penjelasan pasti tentang apa itu Pinus. Semoga dengan bab ini, kalian jadi tahu Pinus itu apa. Sebenernya dari awal saya punya ide ini 4 tahunan lalu, sosok Raja memang udah saya rencanain kerja di bidang yang berhubungan dengan bespoke. Saya bahkan udah sempet riset soal berbagai jenis kain, serta proses pembuatan jas secara bespoke. Tapi saya kemudian mutusin bahwa POV Nico nggak begitu perlu itu, hehehe.

So far, ini mungkin bab favorit saya karena Nico akhirnya mulai melunak meski nggak ada jaminan dia bakal terus seperti itu. In a way, I see him as human who's started connecting to his emotions. Saya semakin semangat nulis cerita ini dan agak takut kalau babnya nanti jadi panjang. Semoga nggak lebih panjang dari AS TIME GOES BY atau TWENTY FOUR yang nyampe 32.

Have a great mid-week to all of you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro