44. Emosional

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

44. Emosional
"Perasaan manusia itu kompleks. Sulit untuk dimengerti dan dipahami. Maka dari itu manusia hanya bisa benar-benar saling memahami jika mereka mengalami hal yang sama."

-———-

SCENE KALI INI BERISI KONTEN SENSITIF. JIKA DIRASA KURANG NYAMAN MEMBACANYA, BISA LANGSUNG DISKIP KE SCENE BERIKUTNYA.

-———-

UNTUK pertama kalinya Nota melewati jam pelajaran di kelas demi menunggu Tamara selesai dengan urusannya di RBS. Lelaki itu duduk di bangku depan ruangan tersebut. Dengan iming-iming bahwa dia ketua kelas, jadi ia ingin memastikan kawan sekelasnya, Nota diperbolehkan untuk tetap berdiam di sana walaupun jam pelajaran telah berlangsung.

Nota menautkan jari tangannya sembari menundukkan kepala. Raut wajah lelaki itu terlihat cemas. Ia sama sekali tidak bisa menghilangkan pemikirannya tentang gadis itu dari otaknya. Sungguh ini pertama kalinya Nota merasa secemas ini. Sangat cemas sampai membuat kakinya bergetar tanpa henti.

Tiba-tiba pintu ruangan tersebut terbuka, menampakkan Tamara yang keluar dari sana, sedangkan Junar dan Galileo masih berada di dalam.

Mata Nota langsung menengok ke arah gadis itu, sehingga pandangannya bertemu. Melihat keberadaan Nota membuat Tamara memutar bola matanya malas. Gadis itu langsung berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Dengan sigap Nota pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti Tamara.

"What?" tanya gadis itu ketika ia berada di koridor yang cukup sepi, akan tetapi Nota masih mengikutinya. Tamara kemudian membalikkan badannya dan menatap ke arah Nota.

Baru saja Nota ingin membuka mulutnya, Tamara sudah lebih dulu berkata, "Mau ceramahin gue lagi kayak orang-orang lain?" tanya gadis itu. "Kenapa? Mau bahas surga neraka lagi?"

Nota terdiam sejenak, memberi kesempatan gadis di hadapannya untuk berbicara terlebih dahulu.

"Kenapa sih manusia sibuk ngebahas surga neraka disaat mereka sendiri belum bisa bersikap baik terhadap sesama manusia?"

Perkataan tadi cukup membuat Nota paham tentang apa yang dialami Tamara di RBS tadi. Pasti guru-guru mencerca gadis itu karena posting-an pada website sekolah.

"Kemana aja mereka selama gue ga baik-baik aja? Kemana aja mereka selama gue pas lagi bener-bener di ujung tanduk?" Sorot mata Tamara terlihat begitu marah, begitu emosi dan juga begitu kecewa. "Dan sekarang mereka semua dateng seenaknya, bilangin gue ini itu. Bilangin gue salah dan lain sebagainya. Yang katanya demi kebaikan gue." Tamara menarik napas dalam-dalam. "I mean, kemarin mereka semua kemana?"

Nota masih terdiam. Lelaki itu diam, membiarkan gadis itu melampiaskan semua keluh kesahnya yang selama ini ia simpan sendiri.

"You know? It feels so hurt pretending to be straight, when you're not," ucapnya.

Lelaki itu mendekat, menepuk-nepuk bahu Tamara pelan. Berharap agar gadis itu menyadari bahwa ada orang lain yang peduli padanya.

"I just want to accept myself."

Nota menatap Tamara lekat-lekat, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Gausah natap gue dengan tatapan kasian kayak gitu. Gue ga butuh!"

Nota menggeleng. "Gue ga kasian sama lo," ucap Nota. "Gue ga pantes buat ngasihanin cewek sekuat lo. Bahkan gue sendiri aja ga bisa seberani lo, Tam. Gue pengecut."

"Gue benci sama lo," ucap Tamara sambil menatap Nota lekat-lekat. "Gue benci selalu dibandingin sama lo! Gue benci sama semua pencapaian lo! Gue benci dikecilkan karena lo! Gue benci sama nama lo!"

Nota mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa melawan semua perkataan yang dilontarkan gadis itu. Kemudian Nota mendekat ke arah Tamara dan secara tiba-tiba memeluk gadis itu. Tidak sangat erat, namun cukup untuk menyalurkan kehangatan dari tubuhnya ke gadis itu.

"I don't need a hug." Tamara berusaha melepas pelukan tersebut.

"I need it," ucap Nota.

Tamara tak lagi melawan. Gadis itu diam di dalam pelukan Nota. Walaupun Tamara benci untuk mengakuinya, akan tetapi ia sadar bahwa saat ini ia butuh seseorang di sampingnya. Semua tekanan ini terlalu menyiksa untuk ditahan, Tamara butuh sedikit melampiaskan semuanya.

Tanpa sadar tangis gadis itu pecah. Tidak. Tamara tidak mengeluarkan sedikit pun suara, hanya airmatanya yang jatuh. Ini pertama kalinya Tamara menangis di hadapan orang lain selain Miss Rami. Dan orang lain itu adalah Nota, sosok lelaki yang sudah menjadi musuhnya sejak lama. Tentu itu sangat melukai harga dirinya. Namun, hari ini Tamara terlalu lelah untuk memikirkan harga diri dan sebagainya.

"It's okay," ucap Nota. "It's okay, Tam. It's totally fine."

Tangan Tamara mengarah naik, membalas pelukan Nota. Cuma ini, cuma ini yang dia butuhkan selama ini. Tapi kenapa tidak ada yang pernah memberikannya? Apakah sesulit itu untuk memeluk seseorang daripada mencaci maki tiada henti? Apakah sesulit itu untuk memberi sedikit rasa kasih daripada memperdebatkan salah dan benar?

Tamara hanya ingin ada seseorang yang mengapresiasi apapun yang sudah ia lakukan selama ini. Usahanya, kerja kerasnya, semuanya. Dia hanya butuh diapresiasi, didukung, diberi sedikit pujian. Tetapi kenapa tidak ada yang melakukan hal itu? Dan ketika ada seseorang yang melakukannya, lalu kenapa semua orang ingin merebutnya? Seolah-olah Tamara tak pantas mendapatkan hal tersebut.

"It's okay," ucap Nota lagi.

Suaranya begitu lembut, begitu teduh dan begitu nyaman untuk didengar. Tamara merasa tenang ketika mendengar hal tersebut.

"It's okay." Nota menepuk-nepuk punggung Tamara pelan. Lelaki itu tidak punya kata lain lagi yang bisa ia ucapkan. Dia tak pandai dalam hal menenangkan orang lain. Nota masih belum mengerti dengan jelas tentang bagaimana perasaan manusia, itu adalah salah satu hal yang selama ini sulit untuk ia pelajari.

Perasaan manusia terlalu rumit untuk dipahami.

Namun saat melihat Tamara seperti ini, Nota sangat ingin memberi bantuan. Bahkan tubuhnya bergerak sendiri untuk memeluk gadis itu.

"It's okay, Tam," ucap Nota, sekali lagi.

Setelahnya hanya keheningan yang menemani mereka di ujung koridor sekolah yang sepi. Keduanya sama-sama terdiam, berusaha menenangkan perasaan masing-masing. Tangan Nota tak berhenti untuk menepuk dan mengelus pelan punggung Tamara hingga gadis itu benar-benar merasa tenang.

"I hate you," bisik Tamara setelah sekian lama terdiam.

"Yes, you did."

Untuk pertama kalinya Nota tahu bahwa ada yang lebih sakit dari perasaan yang tak terbalaskan, yaitu melihat orang yang kamu sukai terluka sedalam itu.

-———-

AKIBAT kegaduhan yang disebabkan Galileo dan Junar pagi tadi, alhasil mereka diberikan sanksi skors selama tiga hari. Tidak hanya itu saja, mereka juga diberikan surat pemanggilan orangtua karena telah melanggar peraturan sekolah.

Kini Galileo duduk di ruang tamu rumahnya, di hadapan orangtuanya setelah melewati hari yang cukup melelahkan. Sejak tadi Graha dan Mathia tidak ada habisnya memberikan ucapan-ucapan kepada Galileo yang membuat lelaki itu jenuh sendiri.

"Kalau orangtua ngomong, matamu jangan noleh sana-sini," kata Graha sambil menatap tegas ke arah anaknya itu.

"Iya, pa," jawab Galileo.

Tanpa sengaja mata Galileo menangkap sosok Hanina yang baru saja pulang dari sekolah. Gadis itu dengan cepat langsung menghampiri Galileo yang terduduk di sofa ruang tamu. Wajah Hanina terlihat begitu cemas ketika melihat keadaan kakaknya yang kacau.

"Kak, kakak gapapa?" tanya Hanina.

Galileo menggeleng, "Gapapa. Tenang aja."

"Eh, ma, pa." Hanina terlihat kikuk ketika menyadari ada kedua orangtuanya sedang duduk di hadapan Galileo dengan tatapan mengintrogasi. "Maaf ya, gara-gara aku kakak jadi berantem sama Junar. Aku yang salah," ujar Hanina.

Galileo berdecak, "Gausah bahas. Diem lu."

"Maksu—" Mathia hendak menanyakan maksud dari ucapan Hanina, namun dengan cepat Galileo memotongnya.

"Ga ada apa-apa. Aku yang salah," ujarnya. Galileo kemudian bangkit dari duduknya dan menarik tangan Hanina. "Aku ke kamar duluan, ma, pa," pamit Galileo. Tanpa mendengar jawaban dari Graha ataupun Mathia, Galileo langsung pergi begitu saja sembari membawa Hanina menuju lift di rumahnya.

"Kakak beneran gapapa?" tanya Hanina.

"Pukulan Junar lemah bat, Nin. Kayak bocah ngamuk gara-gara permennya diambil," ledek Galileo sembari tertawa pelan.

"Kak, aku serius," ucap Hanina.

"Kaga apa anjing. Lo pikir gue bakalan kenapa?"

"Tapi kakak diskors," ujar Hanina khawatir.

Galileo berdecak, "Baguslah. Liburan tiga hari. Lumayan ga perlu bolos."

Kemudian pintu lift terbuka. Galileo pun segera keluar diikuti oleh Hanina di belakangnya. Namun beberapa saat kemudian Hanina menghentikan langkahnya. Ia meremas kuat ujung roknya, "Aku ga suka kakak belain aku sampe segitunya," ucap Hanina dalam sekali tarikan napas.

Galileo membalikkan badannya. Menatap ke arah Hanina yang berusaha terlihat berani di hadapan Galileo. "Siapa yang kayak gini karna lo? Gue cuma gedeg ae lihat tingkah mereka yang pada songong," elak lelaki itu.

"Jadi kakak beneran neror mereka?" tanya Hanina.

Galileo mengangguk santai. "Emang kenapa? Ga suka lo gue kayak gitu?"

Hanina terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

"Gue ngelakuin itu semua ga cuma buat lo doang, Nin," bohongnya.

"Kakak neror apa ke mereka?" tanya Hanina.

"Lo ga perlu tahu."

"Jaden juga kakak teror?" tanya Hanina.

"Khawatir lo sama dia?"

Hanina mengangguk. "Dia temen aku, kak."

"Lo lebih peduli Jaden daripada gue? Gue abang lo, Nin!" bentak Galileo.

Tubuh Hanina seketika membeku. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Untuk kesekian kalinya Galileo melakukan hal yang sama, membentaknya disaat dia membahas Jaden. Apa salahnya bagi Hanina untuk khawatir kepada Jaden? Jaden adalah temannya.

"Kak ..." lirih Hanina.

"Setan!" umpat Galileo.

"Maaf," ucap Hanina lagi. Mungkin tak seharusnya Hanina mendebatkan hal itu kepada Galileo. Lelaki itu baru saja melewati hari yang melelahkan. Tak seharusnya Hanina kembali membawa topik yang semakin membuat emosi Galileo kacau.

"Terserah lo, Nin," ucap Galileo. Lelaki itu membalikkan badannya, berniat pergi meninggalkan Hanina.

Namun ponsel yang berada di sakunya bergetar, membuat Galileo secara refleks merogohnya. Ada pesan yang langsung muncul di layar ponselnya.

rUuZtuoZ : i know your biggest secret.

rUuZtuoZ : you love your twin, right?

Tubuh Galileo seketika berhenti bergerak. Kaku seperti patung.

Selama beberapa saat lelaki itu masih terdiam pada posisi yang sama, sebelum akhirnya ia membalikkan badannya. Galileo menatap ke arah Hanina yang masih pada posisinya. Seketika itu prasangka-prasangka tak terduga berkecamuk di dalam benaknya.

Untuk pertama kalinya Galileo merasa curiga dengan gadis yang kini menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Apakah benar Hanina adalah dalang di balik semua ini?

-———-

NOTA AND TAMARA

HANINA

GALILEO

-———-

DENAH TEMPAT DUDUK SISWA
KELAS 11A

*foto lain hanya sekedar tambahan

-———-

BTW JANGAN LUPA FOLLOW AKUN WATTPAD, TIKTOK, INSTAGRAM SAMA TWITTER KU YA. KARENA AKU SERING BANGET NGASI SPOILER PART PART TERBARU DI SANA.

-———-

Part kali ini bener-bener menguras emosi sekali kawan. Kasian banget sama mereka, nasibnya mengenaskan wkwk. Tapi aku bakalan tetep semangat untuk ngebuat tokoh lain semakin mengenaskan🤗

Kalo udah muncul si Rutoz, itu tandanya part selanjutnya adalah? Ada yang tau?

Aku mau 4k votes + 8k komen di part kali ini. Ayo semangat! Pasti bisa!

23-05-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro