Uruk?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reader's POV

Aku membuka mataku perlahan. Ugh, kepalaku masih terasa sangat pusing. Ada apa? Apa yang terjadi padaku?

Aku membangkitkan diriku dan melihat sekelilingku. Dinding-dinding yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Terlebih dinding-dinding ini terlihat seperti terbuat dari batu?

Aku melihat ada sebuah celah berbentuk persegi panjang dan aku yakin kalau celah tersebut adalah sebuah jendela. Kuputuskan untuk berdiri lalu berjalan ke arah celah tersebut.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat apa yang ada diluar celah tersebut. Sebuah pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Bangunan-bangunan yang kuyakini sebagai rumah --di masa lalu-- itu semua terbuat dari batu dan tanah liat, sama seperti bangunan kutempati sekarang.

Banyak orang yang berlalu-lalang sambil membawa barang dengan memakai pakaian aneh. Aku pernah melihat pakaian ini, tidak salah biasanya dipakai di Mesir? Yunani?

"Apa-apaan ini ..." pintaku pelan sambil menggeleng kepalaku.

Oh, mimpi buruk apa ini? A-aku harus pulang! Benar aku harus pulang!

Ah tidak-tidak! Pertama harus bangun dari mimpiku, lalu pulang! Sora-kun pasti mengkhawatirkanku kalau aku datang terlambat di restorannya. Bukan hanya Sora-kun, Mama dan yang lainnya pasti juga akan khawatir!

Dan aku tidak mau menghancurkan reputasiku sebagai karyawan yang tidak pernah terlambat. Aku tidak mau gajiku dipotong! Bagaimana dengan uang sekolah adik-adikku?!

Aku berjalan kearah pintu kayu dan mendorongnya. Diluar pintu tersebut, terlihat wanita yang terlihat seperti sudah berumur 40 tahunan dan seorang pria yang terlihat seperti sudah berumur 50 tahunan duduk dengan meja dihadapan mereka.

Sama seperti tadi, pakaian mereka terlihat aneh. Keduanya terkejut melihatku kemudian mereka tersenyum sangat lebar lalu menghampiriku.

"Nak, anda tidak apa-apa nak? Astaga, puja para dewa! Syukurlah kau tidak apa-apa nak! Kami sangat mengkhawatirkanmu!" ucap wanita tersebut dengan bahasa asing.

Ah, bahasa paku! Dia menggunakan bahasa paku! Bukankah bahasa paku adalah bahasa kuno bangsa Babilon? Untunglah aku mengerti dengan apa yang diucapkannya karena kami mempelajari bahasa ini di sekolah!

"Aku ... baik-baik saja! Terima kasih nyonya! Um, ini dimana? Dan mengapa kalian bicara dengan menggunakan bahasa paku?" ucapku.

Kedua orang yang ada di hadapanku ini saling bertatapan. Lalu akhirnya yang laki-laki mulai menjawab pertanyaanku.

"Kami berbicara dengan bahasa ini tentu karena bahasa ini adalah bahasa ibu kami! Dan kau bahkan tidak tahu tentang tempat ini? Sekarang kau berada di Uruk! Kota terbesar dan kota termegah di dunia!"

"Uruk ...?"

"Kau bahkan tidak tahu apa itu Uruk?" tanya wanita itu dengan raut wajah khawatir.

Aku menggeleng kepalaku untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa itu Uruk? Aku pernah beberapa kali mendengar kata itu tapi . . . tidak mungkin.

Setahuku Uruk sudah lama menghilang dan nama Uruk sekarang sudah berganti menjadi Irak. Atau mungkin yang mereka maksud itu . . .

"Ah!" ucapku, "maksud kalian Irak? Ahaha, kalian membuatku bingung astaga! Tapi ... bagaimana bisa aku bisa sampai disini?! Kan seharusnya aku berada di Jepang! Astaga ..."

Mereka berdua kembali saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka memintaku untuk duduk dan pria ini memberikanku cawan yang berisikan air.

"Siapa namamu nak?" tanya wanita itu.

"(F/N) (L/N), tapi kalian dapat memanggilku (Y/n)."

"Ah (Y/n), nama yang aneh tapi juga indah! Perkenalkan, namaku Martha dan dia suamiku, Epithy! Darimana asalmu kalau boleh tau?"

"Aku berasal dari Jepang."

"Je ... pang?"

"Benar! Biasanya sering dipanggil sebagai negeri matahari terbit. Um, kalian tidak pernah dengar?"

Martha dan Epithy menggeleng kepala mereka, menunjukkan bahwa mereka tidak tahu dan bingung dengan perkataanku.

Aku merasakan bahwa jantungku berdetak dengan kencang. Kemudian aku teringat, aku membawa tas sekolahku dan handphoneku ada disana!

"Um, Nyonya Martha, apa kau melihat barang-barangku?"

"Barang-barang ... maksudmu benda aneh itu? Tunggu sebentar!"

Martha dengan cepat mencari tas yang menjadi satu-satunya harapanku. Lalu aku melihat Epithy, dia terlihat bingung juga khawatir.

"Um, Tuan, bagaimana aku bisa sampai disini? Maksudku, dirumah ini?" tanyaku terus terang.

"Ah, pada saat kami akan ke Sungai Eufrat, kami menemukanmu di gurun dengan keadaan tak sadarkan diri. Jadi kami putuskan untuk membawamu ke sini dan merawatmu," jelas Epithy.

Aku membelalakkan mataku. Jantungku tambah berdetak tak karuan. Hatiku juga sudah drop. Pikiranku sudah kemana-mana dan aku sudah tidak bisa berpikir secara tenang.

Terakhir kali yang kuingat, aku melihat sebuah kaca. Ya benar, sebuah kaca. Kaca itu kemudian memperlihatkan sebuah pemandangan kota yang tidak ku ketahui. Bangunan-bangunan di kota itu persis seperti bangunan yang ku lihat di celah tadi.

"Ini barangmu nak," ucap Martha sambil memberikan tasku.

Dengan cepat aku membuka dan meronggoh tasku. Ku keluarkan semua isinya. Buku, kotak pensil, semuanya. Akhirnya, aku berhasil menemukan handphoneku.

Aku membuka lockscreen handphoneku dan ku lihat tidak ada sinyal disini. Gawat! Sangat gawat!

Aku mengangkat handphoneku, mencari-cari sinyal tapi tetap tidak ada. Sepasang suami istri ini menatap barang-barang yang kubawa dengan tatapan aneh dan bingung.

Aku menekan nomor Mama lalu mencoba menghubunginya. Tidak bisa. Tidak ada sinyal.

"Tidak ...," kakiku lemas dan aku terjatuh.

"(Y/n)!" sepasang suami istri itu mendatangiku dan langsung menolongku untuk berdiri lalu membawaku ke kamar tadi.

Aku menangis. Tubuhku juga gemetar karena takut. Sepertinya aku terlempar ke dunia yang tidak ku ketahui karena kaca itu. Kaca itu membawaku ke dunia ini.

Mengapa aku? Mengapa harus aku? Bagaimana dengan Mama? Bagaimana dengan nasib kedua adikku?! Siapa yang akan merawat mereka berdua?!

"Kenapa nak? Apa ada yang sakit? Nak?" tanya Martha.

"Aku ... aku harus pulang! Ibu dan adik-adikku memerlukanku! Aku ... aku harus kembali! Aku tidak bisa berada disini terlalu lama! Mereka pasti mencariku!" ucapku sambil menangis.

"Nak, dimana rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu!" ucap Epithy.

"Tokyo! Aku tinggal di Tokyo!"

"Tokyo? Kami tidak pernah mendengar tempat yang bernama Tokyo sebelumnya," balas Epithy yang membuatku semakin takut.

Martha kemudian memelukku dan berusaha menenangkanku. Tubuhku gemetar dengan hebat. Aku takut, sangat takut. Aku tidak mempunyai siapa-siapa disini. Aku sendiri, aku sebatang kara. Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa bertahan hidup di tempat yang tidak ku kenal ini?

-----

Matahari sudah terlelap, tergantikan oleh bulan yang bersinar dengan terang.

Aku masih duduk diatas ranjang ini sambil menatap keluar 'jendela'. Martha dan Epithy terus menerus menghiburku, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa berpikir dengan tenang dan logis.

Aku mengangkat kakiku lalu memeluk kakiku. Aku meratapi hidupku. Apa-apaan ini? Mengapa bisa sampai seperti ini? Untunglah aku mengerti bahasa mereka, kalau tidak maka matilah aku.

Epithy bilang kalau mereka menemukanku di gurun sewaktu mereka ingin pergi ke Sungai Eufrat. Aku tahu sungai itu.

Ah, aku sudah menjadi beban bagi kedua orang yang menyelamatkanku. Aku harus minta maaf lalu juga harus mengucapkan terima kasih kepada mereka. Lalu aku harus ke gurun itu.

Benar, aku harus kesana. Aku harus memastikannya dengan mataku sendiri dan mungkin ada jalan dimana aku bisa kembali ke duniaku.

Aku membangkitkan diriku lalu berjalan kearah pintu. Aku membuka pintu itu dan sama seperti saat pertama kali aku sadar, sepasang suami istri itu duduk dengan meja dihadapan mereka.

Mereka terlihat sedih dan khawatir. Ah, aku memang sudah menjadi beban bagi mereka. Betapa tidak sopannya aku.

Melihat aku yang sudah keluar kamar, mereka terlihat lega dan senyuman kembali terlihat di wajah mereka. Aku juga melemparkan senyuman untuk mereka.

Mereka menghampiriku lalu Martha dengan cepat memelukku. Pelukannya sangat hangat dan aku sangat menyukainya. Sama seperti pelukan Mama. Ah, aku sangat merindukan Mama dan adik-adikku.

"Bagaimana keadaanmu nak? Apa kau lapar? Mau makan?" tanya Martha dengan lembut, akupun membalasnya dengan anggukan.

Kembali, mereka berdua memperlihatkan senyuman mereka. Martha menuntunku untuk duduk di meja lalu Epithy dengan cepat mengambil makanan sejenis roti yang pipih lalu cawan yang berisikan susu?

"Makanlah! Maaf kami hanya menyediakan makanan ini! Besok aku akan memasak!" ucap Martha.

"Tidak, tidak usah minta maaf! Aku yang seharusnya minta maaf! Maafkan aku karena aku sudah menjadi beban bagi kalian! Dan terima kasih juga karena kalian bersedia menolongku! Terima kasih banyak!" aku berdiri dari tempat duduk lalu membungkukkan tubuhku dalam-dalam.

"Tidak apa-apa! Jangan membungkukkan tubuhmu!" pinta Epithy, "ayo, duduklah dan makanlah! Setelah itu kau harus istirahat! Hari ini pastilah hari yang panjang dan melelahkan untukmu!"

Aku mengangguk. Aku mengambil selembar roti itu lalu memakannya. Kedua suami istri itu terlihat bahagia ketika mereka melihatku makan. Mereka adalah orang-orang yang baik. Aku sangat bersyukur karena dapat bertemu dengan mereka.

Kemudian aku teringat dengan aku yang ingin pergi ke gurun. Aku berniat ingin menanyakan jalannya kepada mereka. Setelah makan, akupun memulai pembicaraan.

"Um, kalian bilang kalau kalian menemukanku di gurun pada saat kalian ingin ke Sungai Eufrat?"

"Benar. Memangnya ada apa?" tanya Epithy bingung.

"Aku ingin kesana. Sendirian. Mana tahu aku bisa menemukan jalan pulang?"

Mereka berdua kembali saling bertatapan. Kemudian Epithy mengucapkan hal yang membuatku kecewa dan pasrah.

"(Y/n), Uruk dilindungi oleh tembok besar yang dibuat oleh raja kami dan tidak ada sembarang orang yang boleh keluar masuk melewati tembok tersebut. Pada saat itu, kami para budak dan pelayan diperintah oleh sang raja pergi ke Sungai Eufrat karena ada sebuah perayaan. Maaf tapi, sepertinya kau tidak bisa pergi ke gurun itu. Para penjaga pasti akan memenggalmu, apalagi kau bukan orang Uruk," jelas Epithy.

"Benar. Jika kamu ingin keluar dari Uruk, kau harus meminta izin kepada raja terlebih dahulu. Itupun kau harus memberikan alasan yang logis, baru raja mau memberikan izin untukmu. Sang raja sangat melindungi rakyat-rakyatnya. Dia sudah menjadi raja yang baik," tambah Martha.

Aku menundukkan kepalaku dan hanya bisa pasrah. Aku harus bagaimana?

"Aku harus bagaimana? Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan aku tidak mengenal siapapun disini. Aku harus bagaimana?"

Suami istri itu menatapku dengan iba. Kemudian, Epithy memperlihatnya senyumannya yang lebar.

"Bagaimana kalau kau tinggal disini dan kami mengangkatmu sebagai anak?"

Bukan hanya aku, Martha juga terlihat terkejut sekaligus senang. Martha memegang kedua bahuku dan menatapku dengan bahagia.

"Benar! Tinggalah dengan kami! Kami akan merawatmu sama seperti kami merawat anak kandung kami sendiri! Tinggalah bersama kami!"

Aku menatap mereka silih berganti. Mereka mau menampungku? Mereka tidak keberatan? Aku hanya akan menjadi beban bagi mereka.

"Aku hanya akan menjadi beban bagi kalian. Uang pengeluaran kalian akan bertambah dan aku tidak bisa menembusnya!"

"Masalah itu adalah masalah yang gampang!" jawab Epithy, "kau bisa membantu kami bekerja! Martha bekerja sebagai pelayan istana dan kau bisa membantunya! Kami akan meminta izin kepada sang raja untuk memperkerjakanmu! Tenanglah! Pasti raja akan menerimamu!"

Aku tersenyum bahagia. Aku sangat senang, mereka berbaik hati mau menampungku. Aku merasa sangat bahagia! Aku memeluk mereka berdua sambil menangis bahagia.

Begitupun juga dengan mereka. Mereka kembali memelukku dengan erat. Martha juga ikut menangis bersamaku.

"Mulai hari ini, panggil kami Ayah dan Ibu. Ya?" pinta Martha.

"Baik! Terima kasih, Ayah dan Ibu! Terima kasih!"

----

Tak terasa matahari kembali menampakkan wajahnya. Burung-burung berkicau dengan indahnya.

Aku membuka mataku dan tubuhku terasa nyeri. Mungkin karena salah tidur. Aku langsung beranjak pergi dari kasur lalu menemui Ayah dan Ibu angkatku.

Mereka sudah bangun pagi-pagi sekali. Sama seperti kemarin, mereka membuat roti pipih untuk sarapan dan susu sebagai minuman mereka.

"Nak, kau harus mengganti pakaianmu!" ucap Martha.

"Benar! Aku akan cari pakaiannya sekarang. Kalian tunggulah!"

Epithys menghabiskan susu yang ada di cawan tersebut lalu langsung pergi meninggalkan rumah ini. Martha tertawa sekilas.

"Hehe, maafkan ayahmu. Dia memang seperti itu jika dia sedang bersemangat."

"Tidak masalah Ibu. Aku mengerti. Ah, ngomong-ngomong, aku tidak melihat anak kandung Ayah dan Ibu? Kemana dia?"

Sepertinya pertanyaanku seperti tombak tajam yang menusuk jantung Ibuku. Raut wajahnya berubah, dia menjadi terlihat sangat sedih. Akupun menyesali perbuatanku.

"M-maaf! A-aku tidak--"

"Tidak apa-apa (Y/n). Anak perempuanku sudah lama meninggal. Dia meninggal karena dia dibunuh oleh Gugalanna. Kasihan sekali anakku itu."

Terdengar isakan dari Ibu lalu aku langsung menghampirinya dan memeluknya. Dia menangis dipelukanku. Gugalanna, sepertinya aku pernah mendengar namanya. Tidak salah di kisah Epic of Gilgamesh?

"Maafkan aku Ibu!"

"Tidak masalah nak. Cepat atau lambat kamu pasti akan mengetahuinya. Baiklah, ayo habiskan sarapanmu! Setelah ayahmu pulang, kita coba pakaiannya! Lalu kita akan langsung menghadap sang raja!"

"Baik!"

Tak lama, setelah aku menghabiskan rotiku lalu membantu Ibu untuk mencuci peralatan makan ini, Ayah pulang dengan membawakan kain putih polos.

Ibu segera menarikku ke kamar, berniat ingin membantu memakai pakaian ini.

"Nama pakaian ini adalah Lenan. Apakah di negaramu kalian memakai pakaian ini?" tanya Ibu.

"Tidak. Kami tidak memakai ini. Tapi ada pakaian kami yang mirip dengan pakaian Lenan ini. Namanya Kimono dan Yukata dan biasanya di pakaian kami akan ada motif-motif indah seperti motif bunga. Warnanya juga beragam!"

"Wah terdengar sangat indah! Aku jadi ingin melihatnya! Baiklah, sudah selesai!"

Aku terkejut dan terkagum-kagum. Mereka bisa membuat pakaian hanya dengan sebuah kain putih polos? Hebat! Orang-orang ini memang hebat!

Kami melangkahkan kaki kami keluar dari kamar. Di luar, terlihat Ayah memegang sesuatu yang terlihat seperti cadar lalu memberikannya kepada Ibu.

"Pakai ini," ucap Ibu, "tutupi wajahmu yang cantik dan menawan itu agar sang raja tidak mengambilmu!"

Ibu menutupi wajahku dengan cadar berwarna hitam. Ayah juga membantu Ibu dan terlihat sedikit kekhawatiran di mata mereka.

"Memangnya kenapa bu?"

"Sang raja akan mengambilmu dan akan menjadikanmu sebagai selirnya! Dulu dia dikenal sebagai orang yang sadis, bukan hanya dengan rakyatnya tapi juga dengan selirnya! Dulu, putri kami juga hampir diambil olehnya! Kami takut ... kami takut kalau ..." jelas Ibu dengan bibir gemetar.

"Aku mengerti! Terima kasih Ayah, Ibu!" aku tersenyum manis dibalik cadar itu.

Um, kira-kira bagaimana ya wajah dari sang raja? Tunggu, kalau dia raja berarti dia tua dong? Tua dengan jenggot dan rambut putih! Atau lebih parah lagi! Pria tua yang gemuk dan bau! Sangat bau!

Oh tidak! Kalau dia melihat wajahku dan menjadikanku sebagai selirnya, bagaimana ini?! Lalu tadi kata Ayah dan Ibu sang raja dulunya adalah raja yang sadis? Matilah aku!

Tuhan, tolong lindungi hambaMu ini!

End of Reader's POV
.
.
.
.
Author's POV
Yo dan kembali lagi dengan ane!

Maaf kalau ada unsur kegajean, typo, dan yang lainnya! Semoga kalian menyukai chapter ini!

Jangan lupa berikan vote dan komen! Lalu memfollow akun ini jika berkenan! Sampai jumpa di chapter selanjutnya~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro