Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tidak terasa hari pernikahan Ranu dan Jelita kurang tiga minggu lagi. Di pihak calon pengantin laki-laki belum terlihat ada kesibukan yang berarti. Acara pada hari H nanti memang difokuskan di rumah Jelita. Tidak ada pesta yang mewah, hanya akad nikah berlanjut dengan resepsi sederhana.

Acara ngunduh mantu tetap ada. Bagaimanapun juga, Ranu adalah putra pertama Bu Murni. Beliau akan menyelenggarakan acara sederhana untuk merayakan pernikahan putra sulungnya itu. Tepatnya, seminggu setelah akad nikah. Undangan yang disebar pun tidak terlalu banyak. Hanya mengundang tetangga dekat, saudara, dan para sahabat.

Di ruang tengah, Aruna dan Bu Murni sedang membahas seserahan apa saja yang akan dibawa nanti. Ranu yang baru pulang dari kerja langsung menghampiri adik dan ibunya. Ia lalu duduk untuk mendengarkan perbincangan mereka.

"Emang Jelita minta sebanyak itu?" tanya Ranu begitu melihat daftar barang yang akan dibeli.

"Ini nggak pakai uangmu, Mas. Santai saja," jawab Aruna melanjutkan catatannya.

"Yang nikah siapa? Yang bayar siapa?" ujar Ranu seraya membuka kaus kaki yang dikenakannya.

Bu Murni dan Aruna sontak berpandangan. Mereka mengerutkan kening masing-masing.

"Maksudnya, Mas mau bayarin seserahan?" Bu Murni tidak yakin akan mendapat jawaban memuaskan dari pertanyaan yang baru saja dilontarkan.

"Seserahan itu dari suami ke istri apa keluarga suami ke menantu?" Ranu balik bertanya.

"Bisa dua-duanya kali, ya, Bu?" sahut Aruna. Ia juga tidak paham masalah seserahan atau hantaran itu.

Bu Murni pun menjelaskan jika memang sudah tradisi di lingkungan, saat pernikahan menyiapkan seserahan untuk pengantin perempuan. Dari alat salat, baju, kosmetik, bahkan kue dan makanan. Permasalahan siapa yang membelikannya, tergantung masing-masing keluarga.

"Ibu memang udah dari lama nyiapin dana untuk seserahan. Tapi, kalau Mas mau belikan juga nggak pa-pa." Bu Murni memberi penjelasan.

Ranu akhirnya menyanggupi separuh dari biaya seserahan yang sudah di data. Sekalipun pernikahan ini bukan atas kehendaknya, tetapi dirinya tetap ingin bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.

"Jelita minta mahar apa, Dek?" tanya Ranu yang hingga detik ini belum mengetahui mas kawin yang diinginkan calon istrinya.

"Lah? Gimana, sih? Emang kalian belum ngobrol?" Aruna tercengang mendapati sang kakak belum menyiapkan mahar.

Tidak hanya Aruna, Bu Murni juga ikut tercengang. Beliau pun mengeluarkan omelan. Ranu dianggap tidak serius menyambut pernikahan.

"Bukan gitu, Bu. Jelita nggak pernah ke sini lagi. Gimana mau ngobrol?" Ranu mencari alasan agar posisinya aman. Dirinya tetap memerankan sosok yang siap menikah di depan ibunya.

"Jelita lagi sibuk jahit gaun sama seragam keluarga. Inisiatif ke rumahnya, kek. WA apa telepon kan, juga bisa," saran Aruna. Ia lalu geleng-geleng kepala mendapati sikap tidak cekatan kakaknya.

"Oke, gampang masalah itu," tutur Ranu seraya beranjak menuju kamarnya.

Bu Murni dan Aruna menatap Ranu sembari geleng-geleng kepala. Memang laki-laki satu itu adalah calon pengantin yang unik.

***

Ranu duduk di atas kasur. Ia menyandarkan punggung di dinding. Tangannya tengah menulis pesan untuk Jelita. Namun, belum dikirim sudah dihapus lagi.

"Kenapa jadi mikir gini?" Ranu menekuk kaki sebelah kanan. Tangannya yang bertopang pada lutut, ditepukkan pelan ke kening. "Ah, sudahlah."

Ranu kembali mengetik pesan.

Anda

Assalammualaikum

Lagi sibuk, Jel?

Di layar ponsel, Ranu melihat status Jelita yang sedang online. Benar saja, tanda centang pada pesan berubah menjadi biru.

Jeli

Waalaikumsalam

Enggak, Mas

Lagi santai

Anda

Boleh telepon?

Jeli

Silakan

Ranu tersenyum seraya berdecak memperhatikan balasan Jelita. Gadis itu terlihat cukup cuek di chat. Ia pun segera menyentuh nomor telepon calon istrinya tersebut, kemudian memilih ikon bergambar telepon.

"Assalammualaikum," jawab Jelita dari seberang telepon.

"Waalaikumsalam, Jel. Lagi sibuk?"

"Enggak, lagi di kamar saja. Kenapa, Mas?"

"Em, kamu mau mahar apa?" tanya Ranu to the point.

Hening. Tidak ada jawaban dari seberang.

"Jel? Kamu masih di situ?" Ranu mengernyitkan keningnya.

"Oh, iya, Mas." Nada bicara Jelita terdengar kaget.

"Gimana? Pingin mahar apa? Udah dua minggu lagi, tapi kita belum nyiapin hal yang penting ini."

"Terserah Mas Ranu saja mau ngasih apa. Aku terima dengan ikhlas." Suara Jelita terdengar tenang.

"Loh, nggak bisa gitu, Jel. Mahar, kan, sepenuhnya sesuai permintaan calon istri."

Helaan napas berat terdengar dari seberang.

"Aku sungkan sama kamu, Mas. Mau minta mahar sesuai keinginanku, tapi Mas Ranu saja terpaksa untuk menikah sama aku. Kan, lucu, ya."

Ranu tersentak. Ia tidak menyangka Jelita akan berucap seperti itu.

"Tapi, tetep harus sesuai permintaan calon istri, Jel."

"Oke, baiklah kalau begitu. Mas tolong dengarkan permintaanku ini." Suara Jelita masih terdengar tenang. "Aku menginginkan berapapun pemberian calon suami. Asalkan dia ikhlas memberinya. Bukan terpaksa karena memainkan peran."

Ranu kembali terdiam. Ia kembali dibuat tercengang dengan kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Jelita. Gadis itu memang benar-benar tidak terduga.

"Nggak gitu maksudnya, Jel," jelas Ranu yang tidak bisa berkata-kata. Ia menggaruk alis yang tidak gatal.

"Ya sudah, Mas. Aku mau istirahat dulu. Assalammualaikum."

Belum sempat Ranu menjawab salam, sambungan telepon sudah dimatikan. Ranu mendesah pasrah. Ia menempelkan kepala ke dinding. Ranu mulai merenungi perkataan-perkataan Jelita. Pikirannya sedikit terbuka memaknai pernikahan yang akan dijalaninya dalam waktu dekat.

"Masalah materi aku ikhlas mau minta apapun, Jel. Yang nggak bisa kuberikan hanya cinta."

***

Ranu dibuat tidak tenang dengan persoalan mahar yang masih menggantung. Ia memang belum menghubungi Jelita lagi. Dirinya menginginkan bertemu langsung untuk membahas masalah penting tersebut.

"Nu, mana undangannya? Bukannya dua minggu lagi akad nikah?" tanya salah satu rekan kerja Ranu.

"Belum, Bang. Diundangnya seminggu setelah akad. Di rumahku bukan rumah mertua."

"Okelah, Nu. Jangan lupakan kami."

"Siap. Aku pulang dulu."

Ranu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Setelah berpamitan dengan karyawan yang lain, ia segera menuju tempat parkir. Tujuan selanjutnya adalah rumah Jelita. Ia ingin menyelesaikan urusan mas kawin tersebut.

Lima belas menit kemudian, Ranu tiba di rumah calon mertuanya. Ia disambut oleh Bu Asih. Perempuan bertubuh langsing itu mempersilakan calon menantunya duduk di ruang tamu.

"Mbak! Ada Ranu," panggil Bu Asih yang duduk di seberang Ranu. Beliau kemudian mengajak laki-laki penggemar olahraga futsal itu berbincang. "Mau pergi ke mana?"

"Mau nyari mahar, Tan."

"Oh, begitu. Udah tinggal dua minggu lagi, ya."

Tidak lama kemudian Jelita datang. Gadis itu langsung duduk di samping ibunya.

"Kok, nggak ganti baju, Mbak?" tanya Bu Asih sembari beranjak dari kursi.

"Kenapa harus ganti, Ma?" Jelita memperhatikan pakaiannya. Tidak ada yang salah dengan itu semua.

"Loh, sama Ranu mau diajak nyari mahar gitu."

Jelita sontak menatap Ranu dengan bingung. Ia pikir ucapannya di telepon beberapa hari yang lalu sudah disepakati. Namun, dirinya tidak mau membahasnya di hadapan sang ibu. Jelita pun izin mengganti pakaian.

Tidak berselang lama, Jelita sudah mengganti penampilannya. Ia kini mengenakan kulot ungu tua dan sweater berwarna cokelat muda.

Mereka pun berpamitan kepada Bu Asih. Padahal tujuan belum ditentukan. Terpenting, kedua calon pengantin itu bisa membicarakan masalah mas kawin dengan tenang tanpa orang rumah tahu. Akan tetapi, saat mesin motor sudah menyala, Jelita belum juga naik ke jok di belakang Ranu.

"Ayo, Jel."

"Bentar. Aku mau nanya dulu ke Mas Ranu."

"Boleh. Silakan."

"Mas beneran ikhlas mau memberi mahar sesuai permintaanku?" tanya Jelita ingin memastikan. Tidak ada senyuman menghiasi wajah teduh tersebut.

Ranu menganggukkan kepala dengan mantap. "Sangat ikhlas. Kamu mau apa buat maharnya?"

Jelita tertegun. Ucapan ikhlas dari Ranu memang terdengar sangat meyakinkan. Ia tidak punya kata-kata untuk menolak ajakan Ranu kali ini.

"Kita ke arah alun-alun kota, Mas. Mahar yang aku inginkan ada di sana."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro