Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jelita menatap heran ke arah Aruna yang tiba-tiba bersikap serius. "Apa-an, Run?"

"Tolong jangan manggil Ranu dengan sebutan mas lagi. Itu hak paten milik adiknya. Masa calon istri manggilnya sama? Entar dikira adiknya juga."

"Loh, enggak masalah, 'kan?" Jelita mengerutkan keningnya. Ia tidak punya ide untuk itu. "Betul, kan, Mas?"

Ranu mengedikkan bahu. Antara setuju dan tidak dengan permintaan Aruna.

Jelita berdecak lirih mendapati tanggapan Ranu. Ia heran juga kenapa bisa mengagumi laki-laki dingin seperti itu.

"Udah ganti saja, Jel. Abang, kek. Aa juga bisa. Atau, Kanda?"

Jelita mengangkat satu sudut bibirnya. Ia lalu menggelengkan kepala pelan. Tentu rasanya akan semakin canggung jika mengubah panggilan yang sudah menjadi kebiasaan.

Ranu mendengarkan obrolan para gadis itu walaupun mata dan tangannya terpusat ke ponsel. Ia penasaran dengan akhir dari obrolan receh tersebut.

"Atau Sayang saja?" goda Aruna sambil memukul lengan Jelita dengan gemas.

Jelita sontak tercengang. Ia langsung menginjak sepatu Aruna. Sahabatnya itu pun mengaduh sambil terus terbahak.

Ranu bangkit dari duduknya sambil menatap Jelita dan Aruna bergantian. Aksinya itu membuat dua gadis di hadapannya menjadi bingung.

"Nggak perlu ada yang berubah."

"Dasar," keluh Aruna seraya mendengkus kesal.

Jelita menatap punggung laki-laki yang melangkah keluar kedai dengan helaan napas panjang. Dirinya tidak ingin berspekulasi akan masa depannya dalam berumah tangga. Apa yang harus dilakukannya hanyalah menjalani keputusan yang sudah diambil.

***

Jelita baru turun dari motor Ranu. Mereka sudah sampai di depan rumah Jelita. Aruna tidak turut serta karena harus ke kampus.

"Makasih, Mas. Mau masuk dulu?"

"Nggak. Aku balik dulu, Jel," jawab Ranu tanpa menatap lawan bicaranya.

"Iya, silakan."

Jelita menatap Ranu yang mulai menjauh dari pandangannya dengan perasaan sedih. Sikap Ranu yang tidak manis di hadapannya sudah terlihat jelas. Konsekuensi dari mencintai terlebih dahulu seringnya memang menyesakkan.

Drrrrrtt drrrrttt!

Getar ponsel di tas, menyadarkan Jelita dari lamunan. Ia segera meraih benda pipih tersebut. Di layar ponsel tertera nama Mas Izzan. Pemuda itu kembali menghubungi Jelita setelah tadi tidak diangkat.

"Assalammulaikum," jawab Jelita sambil membuka pintu rumah. Ia terus melangkah menuju kamar.

"Waalaikumsalam. Aku lagi ganggu nggak ini?" Suara Izzan terdengar di seberang telepon.

"Enggak, kenapa, Mas?" Jelita menjawab telepon sembari melepas kerudungnya. Gadis itu kini sudah berada di kamarnya.

"Ada yang mau aku sampaikan. Maaf kalau lewat telepon. Tentu tidak baik mendatangi perempuan yang baru menerima pinangan laki-laki lain." Suara Izzan terdengar tidak ramah.

Jelita mengernyitkan kening. Dirinya merasa tidak enak hati kepada Izzan atas penolakan beberapa saat yang lalu.

"Aku cuma mau ngasih tahu saja. Kalau memang ada yang sedang ditunggu, jangan sampai membuat laki-laki lain berharap sama kamu, Jelita."

"Maksudnya, Mas?" Kedua alis Jelita saling bertaut.

"Jawaban belum siap menikah dulu itu, masih bisa dimaknai dengan adanya kesempatan lain," jelas Izzan yang begitu kecewa mendengar berita pertunangan Jelita dengan Ranu. Apalagi lamaran darinya terjadi belum lama sebelum momen tersebut datang. Ia masih mengharapkan gadis yang sudah menjerat hatinya itu meskipun sudah mendapatkan penolakan.

"Maaf." Jelita hanya menjawab dengan singkat. Izzan mengatakan hal yang benar. Jelita hanya bermaksud menjaga perasaan laki-laki itu.

"Nggak pa-pa. Semoga lancar persiapannya sampai hari H."

"Aamiin, terima kasih, Mas."

"Sama-sama, Jel. Aku tunggu undangannya."

Jelita terkesiap. Izzan ternyata berjiwa besar. "Siap, insya Allah."

Sambungan telepon kemudian diakhiri. Jelita merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan seprai motif garis hasil jahitannya sendiri. Helaan napas berat terdengar dari bibir yang masih berpoles lip cream itu.

Ketukan pintu di depan kamar, membuat Jelita beranjak dari posisinya. Ia lalu membuka pintu yang tadi dikunci dari dalam. Gadis itu kemudian mempersilakan Bu Asih masuk ke kamarnya.

"Jadi rencana untuk bikin sendiri baju pengantinnya?" tanya Bu Asih.

Jelita mengangguk sembari menyunggingkan senyuman. Ia juga berniat membuat seragam pernikahan untuk keluarganya dan juga keluarga calon suaminya.

"Nggak ada dua bulan lagi, Mbak. Yakin mampu?" Bu Asih mulai mengkhawatirkan putrinya. Jelita bersikeras membuat gaun pengantin sendiri.

"Insya Allah, Ma. Nanti aku dibantu teman-teman di tempat kursus dulu, kok."

"Oh, ya, sudah kalau gitu. Segera saja beli kain."

Jelita manggut-manggut. Ia memang sudah berencana akan mencari kain dengan Aruna. Besok pun sudah diagendakan untuk mengukur baju di rumah calon mertuanya. Setelahnya baru berbelanja kain ke pasar besar.

***

Esok hari.

Pukul sembilan pagi, Jelita berangkat menuju rumah calon mertuanya menggunakan ojek online. Rencananya mereka akan berbelanja menggunakan motor Aruna. Jelita sudah sampai di rumah Bu Murni. Ia mulai mengetuk pintu. Baru juga satu ketukan, pintu sudah dibuka.

"Masuk, Jel," ujar Aruna seraya memegang perutnya.

"Kamu kenapa, Run?"

"Baru dapet, nih. Nyeri haid." Raut wajah Aruna menahan rasa sakit.

"Waduh, hari pertama, ya." Jelita mulai khawatir. Ia sudah hapal kebiasaan Aruna begitu mendapat periode bulanannya. Sahabatnya itu akan terus meringkuk di kasur saat hari pertama. "Jadi ke pasar, nggak?"

"Jadi, dong. Sana ke dapur dulu. Kamu udah ditungguin camer."

Jelita segera menuju dapur. Di sana ada Bu Murni yang sedang mengupas bawang merah satu baskom. Ibu dari Aruna itu memang memiliki usaha catering kecil-kecilan.

Jelita segera menyapa calon ibu mertua. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Gini saja, Lit. Kena bawang tanganku." Bu Murni mengulurkan tangan kanannya.

Jelita mengangguk pelan. Ia lalu mencium tangan Bu Murni yang tertutup baju.

"Ada pesanan nasi kotak, Tan?" Jelita duduk di depan Bu Murni. Ia turut mengupas bawang.

"Iya, nasi kuning, Lit. Udah jangan ikut ngupas. Katanya mau nyari kain?"

"Iya, Tan. Sekarang mau ngukur dulu."

"Ya udah, ayo." Bu Murni segera beranjak dari duduknya. Beliau lalu berjalan menuju tempat cuci piring untuk membersihkan tangannya.

Proses mengukur baju pun dimulai. Bu Murni yang mendapat giliran pertama. Mereka melakukannya di kamar Aruna. Single mother itu dengan tenang membiarkan calon menantunya mengukur tubuhnya. Aruna tidak diukur karena Jelita masih punya catatan ukuran baju sahabatnya tersebut saat membuat tunik tiga bulan yang lalu.

"Ranu diukur juga, 'kan?" tanya Bu Murni.

"Jelaslah, Bu. Masa pengnatin pria nggak dibuatin baju juga," celetuk Aruna. Ia kembali meringis menahan rasa nyeri di perut.

"Mas Ranu ngukurnya di mana, Tan?"

"Di ruang tengah saja. Bentar tante panggilkan." Bu Murni pun berlalu menuju kamar sebelah.

"Bisa ikut beli kain apa enggak, Run?" tanya Jelita yang khawatir dengan kondisi Aruna.

"Kayaknya aku nggak sanggup bawa motor, Jel. Biar dianterin Mas Ranu, ya?"

"Nggak, nggak perlu. Aku naik ojek saja." Jelita menggoyangkan telapak tangannya. Ia tidak mau merepotkan calon suaminya itu. Dirinya sangsi jika Ranu mau ikut mempersiapkan pernak-pernik pernikahan.

Aruna berdecak lirih. Ia tidak akan mendengarkan larangan Jelita. Baginya, sang kakak harus mau direpotkan untuk persiapan pernikahannya sendiri.

"Jelita sini," panggil Bu Murni dari ruang tengah.

Jelita pun segera berlalu dari kamar Aruna. Sesampainya di ruang tengah, gadis itu sudah mendapati Ranu tengah duduk bersandar di sofa. Pemuda itu mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek selutut.

Bu Murni lalu meninggalkan kedua calon pengantin tersebut. Beliau menuju dapur untuk kembali melanjutkan mengupas bawang.

"Loh, katanya mau ngukur?" tanya Ranu yang mendapati Jelita masih berdiri di dekat meja. Ia lalu bangkit dari duduknya.

"Oh, iya."

Jelita segera mendekat. Rasa gugup sudah menghinggapi perasaannya. Saat sesi foto, Ranu memakai kemeja lengan panjang. Hal itu saja sudah membuat Jelita maju mundur untuk menempelkan meteran kain. Sekarang? Ia harus mendekatkan tangannya langsung di kulit Ranu.

Ranu melirik Jelita yang sudah berdiri di sampingnya. "Kenapa lagi, Jel?"

Jelita menggeleng dengan kepala tetap tertunduk. Ia mulai mendekatkan meteran kain ke bahu Ranu. Tangannya mulai gemetar.

"Maaf, permisi, Mas."

"Nggak pa-pa. Santai saja."

Jelita segera melaksanakan tugasnya. Ranu berdiri dengan tenang. Pengukuran bagian atasan pun selesai.

"Celana nggak dijahit juga, Jel?" tanya Ranu yang heran kenapa bagian kaki tidak di ukur.

"Dijahit sendiri juga, Mas," jawab Jelita seraya merapikan catatan.

"Kok, kakiku nggak diukur?"

Wajah Jelita sontak bersemu merah. Ia langsung bisa membayangkan proses pengukuran untuk celana Ranu. Gadis itu lalu menggelengkan kepala dengan kuat.

"Pinjam celana yang udah jadi saja, Mas. Nanti aku ukur sendiri di rumah," jelas Jelita yang masih belum berani mengangkat wajah.

"Oh, gitu."

Ranu segera menuju kamar untuk mengambil celana miliknya. Ia lalu menyerahkannya ke Jelita. Tanpa berucap apa pun, Ranu kembali masuk ke kamar dan menutup pintu.

Jelita menghela napas pendek. Ia lalu menuju dapur untuk berpamitan kepada Bu Murni. Gadis itu menjelaskan jika tidak jadi ditemani Aruna untuk pergi ke pasar berburu kain. Dirinya akan menggunakan jasa ojek online untuk mengantarnya ke pasar.

"Sama Ranu saja. Tante panggilin dulu." Bu Murni menahan Jelita yang akan memesan ojek online.

"Nggak perlu, Tan. Saya bisa sendiri." Jelita terus menolak tawaran Bu Murni. Namun, calon mertuanya itu bersikukuh meminta sang putra mengantarnya.

Jelita menunggu di kamar Aruna. Ia mulai mengomeli sahabatnya karena tidak jadi menemani. Dirinya masih tidak nyaman merepotkan Ranu demi mewujudkan keinginannya sendiri.

"Kakak ipar tega banget sama diriku," keluh Aruna seraya memajukan bibir bawah.

"Ish, mulai wajah melas." Jelita hanya bisa pasrah seraya menanti Ranu bersiap.

Tidak lama kemudian, Bu Murni memanggil Jelita. Beliau memberitahukan jika Ranu sedang memanasi mesin mobil. Bu Murni tidak mengizinkan membawa motor karena barang bawaan Jelita nanti akan banyak. Lagi pula cuaca di luar mulai terik.

Jelita segera masuk ke mobil setelah Ranu mengeluarkan kendaraan roda empat tersebut dari garasi. "Kalau nggak salah, pakaian pengantin, kan, bisa sewa, ya?" tanya Ranu dengan mata fokus pada jalan raya yang sudah padat.

"Iya, bisa, kok, Mas. Kebanyakan seperti itu."

"Terus ngapain kamu repot-repot harus jahit sendiri?" Ranu menoleh sebentar ke arah Jelita. "Kayak gini kan, nambah-nambahi kerjaan."

Jelita tersentak mendengar kalimat terakhir Ranu. Ia merasa laki-laki di sampingnya itu berat hati mengantarkannya. Jelita tidak suka diperlakukan seperti itu. Ia juga sudah terbiasa mandiri. Perkara baju pengantin, memang usulannya sendiri. Sebagai penjahit, tentu dirinya mempunyai kapasitas itu. Poin terpentingnya, Jelita ingin membuat momen akad nikah hingga resepsi berkesan seumur hidup dengan gaun impiannya.

"Ini memang impianku, Mas," ungkap Jelita sembari menoleh ke kanan. Ia akan mebuat Ranu terdiam dengan kalimat selanjutnya. "Aku ingin pakaian yang aku kenakan saat momen sakral pernikahan, bisa dipakai lagi oleh anak-anakku nanti."

Ranu yang sedang mengemudi, memalingkan wajah ke arah Jelita. Ia tidak menyangka jika gadis di sampingnya itu begitu antusias menyambut pernikahan yang diawali tanpa hubungan asmara terlebih dahulu tersebut. Bertambah terkejut ketika mengetahui impian Jelita, tentang anak.

Sepanjang perjalanan, Jelita hanya diam. Begitu juga dengan Ranu. Tidak ada lagi perbincangan yang dilaukan kembali. Mereka berdua tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sungguh suasana yang sangat canggung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro