Empat Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pembawa acara pun meminta Ranu untuk berbicara begitu Jelita sudah duduk. Sebelumnya, perwakilan dari kedua belah pihak yang menyampaikan maksud kedatangan. Saat ini, kesempatan berbicara bagi pasangan yang melamar dan dilamar.

"Heh, malah ngelamun gini. Disuruh ngomong, tuh." Aruna memukul dengan keras paha Ranu. Sang kakak pun terperanjat.

Semua mata pun tertuju ke pemuda dengan bahu lebar tersebut. Suasana di ruang tamu itu begitu tenang. Acara lamaran yang sangat sederhana, tidak seperti acara pertunangan seperti yang sedang hits saat ini, begitu mewah selayaknya akad nikah.

Jelita hanya tertunduk menunggu Ranu berbicara. Ia tengah dilanda kegugupan. Kebahagiaan tentu saja membuncah karena dipinang oleh laki-laki yang sudah dikaguminya cukup lama. Namun, ia tidak bisa memungkiri jika perasaan cemas juga berperan saat ini. Jelita belum bisa membayangkan sikap Ranu dalam memperlakukannya setelah ini.

Ranu menegakkan punggungnya. Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. Tatapannya lurus ke depan. Ke arah Jelita dan kedua orang tua yang duduk mengapit gadis itu.

"Assalammualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Pada kesempatan kali ini, izinkan saya, Ranu Madharsa, memohon restu dari Om dan Tante. Saya ingin mengajukan diri untuk dapat mengemban tanggung jawab yang sebelumnya dipegang oleh Om Dan Tante. Saya ingin membahagikan Fris—em, Jelita hingga akhir hayat."

Ranu berdecak lirih. Ia sampai memejamkan mata sekejap. Dirinya hampir saja salah menyebut nama. Kata-kata yang dikeluarkannya tadi memang sudah dipersiapkan untuk Friska sedari lama.

Bu Murni dan Aruna menyadari kesalahan sebut nama meskipun samar. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala seraya mengembuskan napas panjang.

Hal yang sama juga terjadi kepada Jelita yang menyadarinya. Ia hanya bisa tersenyum getir. Namun, dirinya harus bisa menjaga sikap.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh. Terima kasih atas niatan mulia dari Nak Ranu yang ingin meminang Jelita. Sebagai orang tua, kami selalu mendukung keputusan putri kami. Kami hanya ingin menyaksikan Jelita bahagia dalam hidupnya. Untuk jawabannya, kami serahkan kepada Jelita," ujar Pak Edi, papa Jelita.

Jelita mengangkat wajahnya. Pandangannya lurus ke arah Ranu yang sedang menatapnya. Kedua sudut bibir Jelita tertarik ke atas. Ia sudah siap menanggapi ucapan yang dilontarkan Ranu tadi.

"Terima kasih untuk niatan mulai Mas Ranu yang datang ke rumah beserta keluarga. Sebelum menjawab, saya ingin mengajukan pertanyaan."

Ranu melebarkan matanya. Ia pikir Jelita akan langsung saja menjawab. Namun, ternyata gadis itu di luar prediksinya.

Jelita kembali melanjutkan ucapannya. Nada bicaranya mulai terdengar menahan tangis.

"Apakah Mas Ranu sudah yakin untuk menjadikan saya sebagai satu-satunya perempuan di sepanjang hidup Mas?" Jelita mulai mengusap hidungnya. Air mata sudah luruh di pipi. "Dengan segala kekurangan saya."

Ranu benar-benar terkejut mendengar pertanyaan Jelita. Apalagi hingga disertai air mata. Kata-kata itu sempat dilontarkannya kepada gadis itu beberapa hari yang lalu. Bukan dirinya yang harusnya yakin. Namun, ada pada keyakinan Jelita. Sanggupkah gadis itu menerima konsekuensi menikah dengannya yang tidak memberinya cinta?

Aruna menoleh ke arah kakaknya. Ia penasaran dengan tanggapan Ranu. Dirinya tidak menyangka sahabatnya akan mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Tentu saja, Aruna bangga terhadap apa yang dilakukan Jelita.

Ranu tersenyum seraya manggut-manggut. Ia tidak mungkin mengungkap yang sebenarnya. Dirinya harus bisa memainkan peran dengan baik.

"Hari ini, saya berjanji untuk bisa menjadikanmu satu-satunya di hati saya," ucap Ranu dengan tenang.

Bu Murni, Aruna, dan Jelita seketika tersentak. Mereka menantikan kelanjutkan ucapan Ranu.

"Akhir kata, bersediakah Jelita Sabriya untuk menjadi calon istri saya?"

Hati Jelita sontak menghangat. Ia tidak peduli lagi apakah ucapan Ranu tadi sebuah kejujuran ataukah hanya pemanis bibir saja? Detik itu juga, Jelita tidak sanggup lagi menahan keharuan yang memenuhi perasaannya. Ia bagai mendapatkan anugerah atas impian yang sudah terpendam lama.

"Bismillahirahmanirrahim, dengan izin Allah juga Papa dan Mama, saya menerima Ranu Madharsa sebagai calon suami saya."

Ucapan syukur menggema di ruangan. Jelita segera menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya.

Bu Asih tertegun menatap sang putri. Selama ini belum pernah didapatinya Jelita menjalin kasih dengan laki-laki. Bahkan, tidak ada cerita dari putrinya itu tentang laki-laki yang dikaguminya. Beliau seolah melihat cinta yang begitu besar dari Jelita untuk Ranu. Bu Asih terus mengusap punggung sang putri.

Dari kebahagiaan yang tercipta, hanya satu orang yang merasa bersedih. Ranu mengepalkan kedua tangannya. Ia merasa telah membohongi semua yang hadir di malam istimewa ini, terutama Jelita.

"Good job, Mas," ucap Aruna seraya menepuk punggung Ranu yang sedang menundukkan wajah. "Ranu hebat! Menang melawan ego."

Ranu hanya tersenyum tipis. Pikirannya mulai ruwet lagi. Dirinya sudah tidak sabar untuk menyesap sebatang rokok.

Acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin pertunangan dari Bu Murni kepada Jelita. Perempuan paruh baya dengan gamis berwarna marun itu mulai menyematkan cincin di jari manis sebelah kiri Jelita.

Jelita mengecup tangan calon mertuanya. Bu Murni langsung memeluk Jelita dengan erat.

"Terima kasih, ya, Lita. Pengorbananmu begitu besar untuk keluarga kami."

Jelita manggut-manggut. Ia lalu menyeka sudut matanya dengan jari telunjuk.

Setelah itu, kedua calon pengantin yang akan menjalani akad nikah dua bulan lagi itu berfoto bersama.

"Cukup tersenyum di depan keluarga kita saja," bisik Jelita kepada Ranu yang berdiri di sampingnya. "Di depanku nggak perlu."

Ranu menyungingkan senyuman. Ia kembali dibuat terkejut oleh sikap seorang Jelita.

Acara inti pun berakhir. Sesi berikutnya dilanjutkan dengan ramah tamah. Aruna duduk di dekat Jelita dan Ranu.

"Keren kamu, Jel. Tegas!" ucap Aruna yang bangga kepada keberanian Jelita menjawab Ranu tadi.

Jelita mengacungkan ibu jarinya. Kedipan sebelah mata pun diberikan untuk Aruna.

"Kamu harus kayak gitu terus kalau ngadepin calon suamimu. Jangan mau disakiti. Aku ada di belakangmu, Jel," bisik Aruna pada Jelita.

Gelak tawa dari dua sahabat itu memancing rasa penasaran Ranu yang sedang menikmati hidangan yang sudah disiapkan keluarga calon mertuanya.

"Oh, iya, Mas. Sabtu depan ada acara nggak?" tanya Aruna seraya menoleh ke arah Ranu.

"Nggak ada. Kenapa?"

"Oke, sip. Persiapkan diri kalian. Jangan sampai sakit."

Ranu menatap Jelita dan Aruna secara bergantian. "Mau ngapain?"

"Foto prewedding," jawab Aruna santai.

Ranu membeliak mendengar rencana Aruna. Foto prewedding adalah impian Friska yang ingin diwujudkannya di Kota Jogja. Namun, takdir berkata lain. Ia tidak terpikir ke arah sana jika melewatinya bersama Jelita. Baginya, lamaran dan akad nikah saja sudah cukup. Terpenting bisa membuat ibunya bahagia melihatnya menikah.

"Ngapain ada sesi foto kayak gitu? Jelita aja nggak ada rencana, kok."

"Maaf, Mas. Aku nggak pernah ngomong kayak gitu," sahut Jelita dengan senyuman manis.

Aruna menertawakan kakaknya. Tentu saja dirinya sudah sepakat dengan Jelita untuk mengadakan pemotretan sebelum pernikahan itu.

"Mas mau aku laporin ke Ibu kalau nolak rangkaian acara melepas masa lajang ini?" ucap Aruna dengan raut penuh ancaman. "Aku, tuh, Aruna event organizer khusus pernikahan JeRu."

Ranu mendesah pasrah. Mau tidak mau dirinya harus mengikuti kemauan keluarganya. Dirinya sudah telanjur masuk ke rencana perjodohan ini. Kepalang basah jika harus menolak rencana yang ada. Terpenting, Ranu tahu sikapnya nanti setelah menikah.

"Kamu mau konsep apa, Jel?" tanya Aruna melanjutkan perbincangan tentang prewedding. Gadis yang gemar berpenampilan sporty itu telah bergabung dengan komunitas fotografi di kampus. Tentu tidak sulit mendapatkan teman yang bisa membantunya menyukseskan rencananya.

"Impianku itu liburan ke Jogja yang backpacker-an gitu, Run." Jelita memendam impian bisa menjelajah kota istimewa tersebut. Tidak hanya tempat wisatanya, tetapi juga kulinernya. "Keren kali photoshoot di sana."

Ranu kembali dikejutkan oleh Jelita. Gadis itu benar-benar tidak terduga. Kota Jogja adalah impiannya bersama Friska.

"Waduh, kalau itu, sih, honeymoon. Mana mungkin aku ikut."

Aruna dan Jelita memang sengaja membahas hal tersebut di depan Ranu. Mereka paham cerita tentang kota tersebut dan masa lalu Ranu.

Ranu melirik sekilas ke arah dua gadis di sampingnya. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas.

Jangan harap ada honeymoon, batin Ranu seraya tersenyum getir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro