Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengerin soundtrack buat Unintended Wedding dulu yuuuukkk

https://youtu.be/i9LOFXwPwC4


Anda

Maaf, Mas

Aku nggak mau buat Tante sedih

Jelita menatap pesan yang sudah dikirimnya ke nomor Ranu. Tanda centang pada pesan tersebut sudah berubah warna menjadi biru. Akan tetapi, belum terlihat pemilik nomor sedang mengetik. Status Ranu di WhatsApp pun masih online.

Jelita menghela napas dengan berat. Ia akan menerima semua konsekuensi dari apa yang sudah diputuskannya. Dirinya tidak peduli dengan reaksi Ranu. Ponsel yang sedari tadi dipandanginya, kini dimasukkan ke saku rok. Jelita kembali melanjutkan memotong pola gamis pesanan pelanggan.

Dering ponsel kembali menghentikan aktivitas Jelita. Nama Heart Beat tertera di layar. Gadis yang mengenakan bergo instan menutup dada itu keluar dari ruang kerja, menuju depan rumah. Ia tidak mau ibunya yang sedang berada di ruang tengah mendengar pembicaraannya.

"Asslammualaikum."

"Waalaikumsalam, Jel." Suara Ranu terdengar dari seberang telepon.

Hening, tidak ada yang berbicara lagi. Jelita malah tengah memainkan daun pada Bunga Flamboyan di halaman rumah.

"Yakin sama keputusanmu, Jel?" tanya Ranu yang akhirnya kembali bersuara.

"Yakin." Jawaban Jelita sangat singkat dan tegas.

"Oke. Kalau memang seperti itu. Terpenting sebelumnya aku udah kasih tahu kamu. Bagaimana keadaanku dalam menerima pernikahan ini nanti." Ranu kembali menekankan kepada Jelita.

Jelita tersenyum getir. "Iya, Mas. Aku paham."

Ranu sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Jawaban Jelita cukup jelas dan tidak tergoyahkan.

"Udah dulu, ya, Mas. Aku ada pelanggan yang lagi ngukur baju." Jelita berbohong untuk mengakhiri perbincangan.

"Oke. Maaf ganggu, Jel."

"Nggak pa-pa."

Jelita segera memutus sambungan telepon setelah saling mengucapkan salam. Ia gemas sekali mendengar ucapan Ranu tentang ancaman yang diingatkan kepadanya. Jelita mengambil segenggam daun yang ada di hadapannya dan meremasnya dengan kesal.

"Loh! Tanaman mama diapakan itu?!" pekik Bu Asih dari pintu rumah.

Jelita sontak terkejut. Ia langsung menyembunyikan daun-daun dalam genggamannya itu di belakang punggung.

"Lagi gemes aja, Ma. Lihat daunnya kok, warnanya hijau bukan biru," celetuk Jelita membela diri.

Bu Asih menatap putrinya dengan heran. "Ada-ada aja. Daun kan, hijau, Mbak."

Jelita terkekeh canggung. Ia lalu berjalan mendekati sang ibu. Sudah saatnya memberitahukan perihal lamaran besok malam. Jelita menggandeng Bu Asih yang diajaknya duduk di sofa ruang tamu.

"Mau ngomong penting kayaknya, ya?" tebak Bu Asih.

Jelita manggut-manggut. Ia sudah siap dengan reaksi sang ibu.

"Mama kenal Aruna, 'kan?"

"Sangat kenal. Kalian kan, berteman sejak SD."

"Betul. Kalau sama Tante Murni?"

"Ya pasti kenal, Mbak. Kan, ibunya Aruna. Emang kenapa, sih?" Bu Asih menatap Jelita dengan curiga.

"Mereka baik, 'kan?" Jelita kembali mengajukan pertanyaan.

"Baik, dong. Ada apa, sih?" Bu Asih menepuk paha putrinya.

"Kalau Mas Ranu, kenal?"

Pertanyaan Jelita membuat Bu Asih mengerutkan kening. Kalimat tanya yang terakhir diucapkan putrinya dengan tatapan mata dan lengkungan bibir yang berbeda.

"Udah, intinya mau ngomong apa, Mbak?" Bu Asih megulas senyuman. "Ngomong langsung aja. Jangan muter-muter. Entar nggak nyampe tujuan gimana?"

Jelita mulai tersipu. Ia mengambil napas panjang sebelum berbicara lagi.

"Jadi, gini, Ma. Jumat malam, Tante Murni dan keluarganya mau ke sini buat ngelamar aku."

Bu Asih membeliak kaget. "Melamar Mbak buat siapa?"

Jelita mencebik manja. "Anaknya Tante Murni yang cowok siapa, Ma? Masa iya buat Aruna?"

"Ranu?" Bu Asih semakin terkejut. "Kok, bisa?"

Sekarang, Jelita dibuat bingung untuk menjawab. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya jika ada perjodohan tersembunyi yang hanya diketahui keluarga inti Aruna dan dirinya.

"Kapan kalian pacarannya, Mbak?" Bu Asih masih diliputi kebingungan. "Kemarin keluar itu pacaran?"

Jelita menggoyangkan paha Bu Asih dengan wajah tersipu. "Kan, aku maunya pacaran setelah menikah, Ma."

"Oh, iya, lupa. Jadi, Ranu ternyata yang ditunggu?" Bu Asih tersenyum menggoda putrinya.

Jelita semakin tersipu. Pipinya mulai terasa panas.

"Mama setuju, 'kan?"

"Mau nggak setuju entar anak mama nangis. Gimana?" kelakar Bu Asih.

Jelita pun ikut tertawa. "Papa kira-kira gimana, Ma?"

"Papa mah, simple. Terpenting calon suami putrinya itu baik dan bertanggung jawab. Kayaknya Ranu seperti itu. Keluarganya juga harmonis. Apalagi Mbak juga dekat sama adiknya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Jelita tersenyum tipis. Ia berujar dalam hati, anak ibu diancam bakal tersakiti.

"Omong-omong mama penasaran, nih. Kok, mendadak gini? Nggak pakai cerita ke mama pula kalau ada hubungan sama Ranu. Ngerti gitu, kan, mama nggak kecewa pas Mbak nolak Izzan," ungkap Bu Asih.

Jelita tersentak. Ia tidak menyangka jika sikapnya yang tidak menerima pinangan Izzan telah membuat hati sang ibu kecewa.

"Kejutan, Ma." Jelita menggamit lengang perempuan yang sangat disayangi dan dihormatinya itu. "Mama terkejut, 'kan?"

"Banget, Mbak. Siang bolong pula." Bu Asih terkekeh.

Jelita menyandarkan kepalanya di lengan Bu Asih. Ia tidak akan menyesali keputusannya untuk menikah dengan Ranu. Dirinya hanya cukup memainkan peran saja, sebagai istri yang harus taat kepada suami. Permasalahan hati hanya masalah waktu saja. Jelita yakin bisa membuka pintu hati Ranu yang sedang tertutup masa lalu.

***

Hari Jumat selepas Isya, rumah Bu Murni sudah kedatangan saudara kandung beliau dan juga saudara dari almarhum Pak Joko. Mereka semua akan mengantarkan Ranu meminang Jelita. Rombongann hanya satu mobil saja.

Ranu menatap wajah berseri ibunya. Ia tidak memungkiri jika malam ini begitu dinantikan sang ibu. Pemuda dengan baju batik itu pun merasakan kebahagiaan melihat orang tuanya bahagia meskipun dirinya sendiri terpaksa melakukannya.

Rombongan pun segera berangkat menuju rumah Jelita. Hanya sepuluh menit waktu yang diperlukan untuk sampai di lokasi tujuan.

Kedua orang tua Jelita beserta beberapa kerabat menyambut kedatangan rombongan Keluarga Ranu. Mereka mempersilakan semuanya masuk ke ruang tamu. Di sana sudah tidak ada lagi sofa, tetapi berganti dengan karpet yang sudah terdapat hidangan kue dan air mineral di atasnya.

"Mas, buruan kenapa?" Aruna melambaikan tangan ke arah Ranu yang baru mengunci mobil. Dirinya tadi yang mengendarai kendaraan roda empat peninggalan almarhum Pak Joko.

Perasaan Ranu menjadi tidak karuan. Ia ingin menolak malam ini. Namun, dirinya tidak mau egois lagi. Ranu mulai melangkah memasuki rumah Jelita dengan malas.

"Jangan sampai bikin malu. Nanti ngomongnya yang manis." Aruna berkata sambil berbisik di samping Ranu.

Ranu hanya diam. Ia duduk bersila dengan pandangan menunduk.

Aruna menarik baju Ranu karena tidak ada respon. Dirinya mulai khawatir Ranu akan membuat kericuhan seperti yang ada di sinetron. Menggagalkan pertunangan karena tidak mencintai calonnya.

"Iya, iya. Dasar bawel."

Aruna menghela napas penuh kelegaan. Kakaknya masih bisa membalas dengan jutek. Hal itu menandakan bahwa Ranu masih baik-baik saja. Aruna malah khawatir jika kakaknya terus terdiam.

Obrolan antar dua keluarga pun dimulai. Keluarga Ranu diwakili oleh Kakak Bu Murni yang menyampaikan maksud kedatangan rombongan ke sana. Begitu juga dengan keluarga Jelita yang menyambut dan menerima dengan baik maksud kedatangan pihak laki-laki.

"Namun, tetap semua keputusan ada di ananda Jelita. Mari kita tanyakan pada yang bersangkutan apakah menerima lamaran ananda Ranu atau bagaimana." Pihak Jelita meminta gadis yang sedang dipinang itu masuk ke ruang tamu.

Malam yang istimewa ini, Jelita mengenakan dress polos berwarna ivory yang bagian luar dipadupadankan dengan kain tile motif akar warna senada. Gadis itu terlihat begitu memesona meskipun tidak memoles wajahnya dengan make up. Jelita berdandan seperti biasanya, bedak tipis dan lipstick. Bu Asih sempat memrotes sang anak karena tidak memakai riasan.

Jelita duduk tepat di hadapan Ranu. Aruna berdecak kesal melihat penampilan sahabatnya dengan bergo instan dengan bros bunga di bagian bahu sebelah kanan.

"Beneran nggak mau dandan itu anak," gumam Aruna lirih.

Ranu yang sedang bingung menyusun kata untuk diucapkan setelah ini, mengangkat wajahnya begitu mendengar gumaman adiknya. Ia menatap lurus tepat ke arah Jelita. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan. Antara marah dan kecewa, kini perasaan itulah yang dirasakan Ranu terhadap Jelita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro