Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Langkah Jelita yang baru turun dari motor lebih lambat dari biasanya. Ia bahkan tidak memedulikan saat Ranu berpamitan. Jelita membuka pintu rumah dengan perasaan yang berkecamuk. Obrolan bersama kakak sahabatnya di kafe tadi seolah merusak suasana hatinya.

"Assalammualaikum," ucap Jelita sembari mengunci pintu yang terbuat dari kayu jati bercat hijau tua itu. Ia lalu melangkahkan kaki dengan gontai menuju ruang tengah.

"Waalaikumsalam." Bu Asih yang sedang duduk di ruang tengah menoleh ke belakang. "Ada acara apa sama Ranu?"

"Nggak ada aa-apa, Bu." Jelita terus berjalan ke kamar yang berada di sisi kanan ruang tengah.

Bu Asih menatap curiga ke arah Jelita. Saat berangkat tadi, putrinya itu tampak semringah. Berbanding terbalik dengan saat ini. Raut wajah putri tertuanya itu tampak masam. Bu Asih ingin bertanya lebih jauh, tetapi Jelita sudah mengunci pintu kamar dari dalam.

Di dalam kamar, Jelita membuka kerudung dan melemparnya dengan kesal ke atas meja yang ada di samping lemari pakaian. Kasur dan bantal menjadi pelampiasannya mengeluarkan sesak di dada. Dengan posisi tengkurap, Jelita terisak hingga kain pembungkus bantal basah.

"Kenapa rasanya sakit?"

Jelita sudah mampu bertahan selama bertahun-tahun dengan cinta yang terpendam. Ia tidak pernah merasa sesakit ini meskipun mengetahui Ranu bersama perempuan lain. Namun, hatinya terkoyak saat mendengar dengan telinganya sendiri bahwa pemuda yang mengisi relung hati menyatakan dengan tegas tidak akan bisa mencintainya jika menikah nanti.

"Bodoh, bodoh, bodoh! Harga dirimu kemana, Jelita?!" Jelita menyalahkan dirinya sendiri. Ia terlalu bersemangat menyambut kesempatan bersanding dengan pujaan hati. Namun, dirinya malah tidak menyadari bahwa rasa yang tidak bersambut ternyata lebih menyesakkan.

Ponsel Jelita bergetar. Gadis itu meraih benda pipih di sampingnya. Ia lalu mengubah posisi menjadi berbaring telentang. Notifikasi dari WhatsApp dari kontak dengan nama 'Bestie' tertera.

Bestie

Hari Jumat malam Ibu mau ke rumah

Siap enggak?

Jelita melonjak kaget. Ia mengucek mata yang masih sembab.

Anda

Tiga hari lagi?

Bestie

Hu um

Itung sendiri

Jelita menautkan kedua alis mata. Ranu tadi memintanya menolak tetapi Bu Murni malah ingin segera melamarnya untuk sang anak. Jelita mengacak rambutnya dengan kasar. Ia harus segera memutuskan pilihan mana yang akan diambil. Janjinya pada Ranu tadi bahwa akan memberitahukan hasilnya esok hari.

"Aku nggak punya nomor Mas Ranu." Jelita menepuk keningnya. "Nggak mungkin minta Aruna. Dia bakalan curiga."

Jelita kembali menutup wajahnya dengan bantal. Baru kali ini dirinya mendapatkan permasalahan yang rumit terkait hati. Jelita pun menjadi mengantuk, lalu mulai terlelap.

***

"Dek," panggil Ranu seraya mengetuk pintu. "Bukain pintu."

Ranu berdiri di depan kamar Aruna. Ia baru saja akan tidur, tetapi teringat jika dirinya belum meminta nomor Jelita. Tentu esok akan sulit untuk berkomunikasi. Ranu ingin sebelum Jumat malam, Jelita sudah memberikan keputusan untuk menolak permintaan orang tuanya.

"Dek, penting, nih." Ranu terus membuat suara berisik di pintu.

Pintu pun terbuka. Muncul Aruna dengan mata yang terpejam. "Apa, sih! Ganggu orang tidur aja."

"Pinjem ponsel bentar." Ranu langsung meringsek masuk ke kamar. "Mau minta thetering."

Aruna mencebik kesal. Ia kembali lagi ke kasur. Dirinya tidak peduli dengan aktivitas Ranu di dalam kamarnya. Gadis dengan rambut lurus sebahu itu sudah tidak kuat menahan kantuk.

Ranu segera mencari ponsel Aruna. "Mana ponselnya?"

Aruna meraih ponsel yang berada di bawah bantal. Masih dengan mata terpejam, ia memberikannya kepada Ranu.

"Kebiasaan ini anak, jangan naruh ponsel dibawah bantal buat tidur. Bahaya!" Ranu geleng-geleng kepala. Ia sudah kerap mengingatkan Aruna tentang radiasi ponsel yang diletakkan berdekatan dengan otak saat tidur.

"Oh, iya aku lupa," ucap Aruna dengan malas.

"Sandinya apa, Dek?" tanya Ranu yang tengah menatap angka-angka yang tertera di layar.

"Haduh, Mas ganggu aja, sih." Aruna mengambil ponsel dari tangan Ranu dengan cepat. Ia mulai memasukkan sandi miliknya. Ponsel kembali diserahkannya ke Ranu. "Buruan, aku ngantuk banget."

Ranu segera membuka kontak ponsel adiknya. Ia menggerakkan ibu jari ke atas. Namun, tidak ditemukan nama Jelita atau Jeli di sana.

"Namanya apa, ya?" Ranu kembali mencermati kontak yang ada. Akan tetapi nihil. Ranu pun pindah mencari di WhatsApp.

Senyuman terbit di bibir pemuda dengan kumis tipis itu. Urutan pertama chat Aruna adalah foto profil Jelita.

"Pantesan. Namanya Bestie."

Ranu segera mengetik nomor Jelita pada ponselnya. Setelah selesai, dirinya segera meletakkan ponsel di meja rias Aruna.

"Makasih adikku sayang. Bobok yang nyenyak, ya." Ranu menepuk lengan Aruna dengan lembut.

Aruna hanya manggut-manggut. Sejenak, setelah pintu kamar ditutup dari luar, matanya terbuka lebar. Ia baru menyadari jika kakaknya tidak sekadar menyalakan thetering di ponselnya. Tanpa membuka sandi, hal tersebut bisa dilakukan.

"Mas! Habis nyari apa di ponselku?!"

Ranu hanya terkikik puas mendengar teriakan Aruna dari dalam kamar.

***

Jelita meregangkan tubuhnya. Ia terbangun pada pukul satu malam. Baju yang dikenakan untuk keluar bersama Ranu masih belum diganti. Dirinya juga belum salat Isya.

Jelita beranjak dari kasur. Ia lalu mengganti baju. Kemudian, membuka pintu kamar untuk mengambil wudhu di kamar mandi. Tentu saja suasana di rumah sudah sangat sepi. Kedua orang tua dan adiknya sudah berada di kamar masing-masing.

Jelita berhenti di dapur. Ia merasa kehausan. Dengan posisi berjongkok di dekat dispenser, satu gelas air putih diteguknya hingga tandas. Jelita tidak langsung beranjak. Ia malah terngiang akan permintaan Ranu.

"Aku harus milih yang mana?" tanya Jelita pada dirinya sendiri. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Mengabulkan permintaan Ranu, sama saja dengan menyakiti hati Bu Murni. Akan tetapi, menerima permintaan Bu Murni berarti menyiapkan hatinya untuk tersakiti.

Jelita mendesah pasrah. Ia akan mengadukan kegelisahan hati pada tuhannya, Allah SWT. Gadis dengan tinggi 168 sentimeter itu bergegas mengambil air wudhu.

Setengah jam kemudian, Jelita sudah selesai mendirikan salat Isya dan Tahajud. Ia juga sudah mengeluarkan semua keluh kesah dalam sujud panjang. Air mata pun turut membersamai proses bermunajatnya. Kebimbangan hati yang sempat muncul, akhirnya sedikit tercerahkan.

Mukena berwarna biru dengan corak batik selesai dilipat. Jelita kembali ke kasur. Ia lalu meraih ponsel. Ada pesan dari nomor yang tidak bernama. Begitu membuka pesan tersebut, Jelita tercengang.

+62813468*****

Besok WA ke nomor ini

Ranu

Hati Jelita seketika berdesir. Membaca namanya saja sudah membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia segera menyimpan nomor Ranu. Jelita memberi nama kontak nomor Ranu dengan 'Heart Beat'.

"Jantungku nggak aman kalau berhubungan sama kamu, Mas."

Jelita terkikik mendapati kelakuannya sendiri. Ia lalu meletakkan ponsel di atas meja. Kini, dirinya akan beristirahat dengan nyenyak. Ia sudah yakin dengan keputusan yang akan diambilnya esok hari.

***

Ranu memandangi ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, Jelita belum juga mengiriminya pesan. Ia sedang merasakan kecemasan. Ketakutan akan keputusan Jelita yang tidak sesuai harapannya.

"Jangan nekat, Jel. Jangan, jangan, jangan." Ranu memegang kepalanya dengan satu tangan yang bertumpu pada siku.

Ponsel Ranu berdering. Ia segera melihat nama yang tertera. Helaan napas kecewa terdengar. Ternyata yang menghubunginya adalah Bu Murni.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Tolong nanti sepulang kerja belikan buah di Istana Buah, Mas."

"Kayaknya tadi di kulkas masih banyak." Ranu mengingat beberapa macam buah yang tersimpan di lemari pendingin.

"Bukan buat kita. Buahnya dalam bentuk parcel, Mas. Pilih yang besar, ya," pinta Bu Murni dari seberang telepon.

"Iya, Bu. Emangnya mau dibawa ke mana?"

"Loh, Mas gimana, sih? Jumat malam kan, mau ngelamar Jelita. Jangan bilang kalau nggak ingat."

Ranu mendesah pasrah. Ia membutuhkan jawaban Jelita saat ini juga. Jika sesuai rencananya, parcel buah permintaan ibunya itu tidak akan dibeli.

"Ingat, Bu. Ya udah, aku kerja dulu. Assalammualaikum."

Ranu segera mematikan panggilan telepon. Jika tidak begitu, Bu Murni akan terus mencecarnya. Saat sambungan telepon selesai ditutup, notifikasi pesan dari Jelita muncul. Ranu segera membukanya.

Decakan berulang kali keluar dari bibir Ranu begitu membaca keputusan Jelita. Ia sampai mengepalkan tangan dan memukulkan cukup keras di atas meja.

"Kamu beneran nekat, Jel," sesal Ranu sembari mencengkeram rambutnya dengan kuat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro