Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ranu menyesap satu batang rokok yang baru dinyalakannya. Rambut yang masih basah setelah mandi, dibiarkannya tersapu angin. Pemuda dengan bibir tipis itu tengah menatap kosong ke depan. Ranu sedang menepi di tempat menjemur pakaian yang ada di lantai dua. Masih ada sepuluh menit lagi untuk berangkat ke tempat kerja.

Helaan napas panjang, keluar dari bibir Ranu. Keputusan untuk menikahi Jelita sudah dilontarkannya. Dirinya tidak mungkin membuat ibunya bersedih lagi.

"Kenapa harus Jelita?" ucap Ranu bersenandika. Ia mengacak rambutnya kesal.

Suara derap langkah kaki menaiki tangga terdengar. Ranu menoleh ke belakang. Muncul Aruna dengan satu keranjang berisi pakaian yang baru selesai dicuci.

"Dek, kamu yang ngusulin nama Jelita, 'kan?" Ranu langsung menodong Aruna dengan tuduhan. Ia yakin semua itu adalah ulah adiknya.

"Enggak, bukan aku," jawab Aruna dengan santai. Ia tidak berbohong. Dirinya memang tidak pernah mengusulkan nama Jelita untuk menjadi calon istri Ranu.

"Terus, siapa? Kan, kamu yang disuruh nyarikan sama Ibu."

Aruna mengangkat bahu. Ia tidak menjawab malah terus melanjutkan menjemur pakaian.

Ranu berdecak kesal. "Kamu ngerti, kan, Dek. Aku nanti nikah itu tanpa cinta. Aku nggak akan bisa mencintai istriku. Kamu mau aku nyakitin Jelita, sahabatmu sendiri?"

Aruna yang sedang memegang baju basah, membantingnya dengan sangat keras ke ember. Kakaknya itu sudah semakin membuatnya kesal dan emosi. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Ranu.

"Ngeselin banget punya abang modelan kayak gini," ujar Aruna dengan sinis. "Mas udah punya niat jelek kayak gitu, sama aja dengan nantangin restu Ibu."

Ranu terdiam. Ucapan adiknya secara tidak langsung menampar dirinya. Jelita adalah restu dari ibunya. Namun, yang membuatnya terbebani adalah suara hatinya yang sudah berpikir akan menyakiti Jelita dengan pernikahan nanti.

"Asal tahu aja ya, Mas. Aku tuh, sampai sekarang nggak pernah rela ngasih Jelita ke Mas. Dia itu terlalu berharga untuk bersanding dengan Ranu yang egois!"

Aruna masih berusaha bersabar menghadapi kakaknya. Laki-laki di hadapannya hanya terdiam menatapnya. Rasa heran terlintas mendapati sikap Ranu saat ini. Biasanya, kakaknya itu akan mengeluarkan banyak ocehan saat beradu pendapat dengannya.

"Omonganku, bener, 'kan? Jelita itu seperti namanya, cantik. Cantik semuanya, sangat berharga."

Ranu mematikan rokok. Ia lalu mengangkat wajah.

"Terus, kenapa kamu bolehin Ibu milih Jelita untukku?"

Aruna berdecak lirih. Ia akhirnya mendapatkan pertanyaan yang tidak mungkin dijawabnya. Mengungkap yang sebenarnya, sama saja dengan membuka rahasia hati sahabatnya itu.

"Karena Ibu memang udah yakinnya sama Jeli. Mas kenapa nggak mau coba buka hati dulu, sih?"

Ranu termenung. Ia memang belum mencoba seperti yang disarankan Aruna. Hati yang tertutup nama Friska itu seolah kehilangan kuncinya.

"Nggak bisa, Dek. Nggak bisa."

Decakan kesal meluncur dari bibir Aruna. "Mas udah nyerahin apa ke Friska? Sampai hatinya mati gini."

Ranu membeliak kaget. Ia tidak menyangka adiknya akan mempertanyakan hal tersebut. Ranu tidak menjawab. Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju tangga.

"Ingat! Lusa diajak Ibu ke rumah Jelita!" teriak Aruna yang sedang berkacak pinggang.

***

"Nu, nggak pulang?"

Suara salah satu karyawan menyudahi lamunan Ranu yang sedang duduk termenung di meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir sejak lima belas menit yang lalu, tetapi Ranu enggan beranjak dari kursinya.

"Iya, habis ini pulang, Pak." Ranu meraih ransel. Ia lalu berpamitan kepada semua rekan kerja yang masih belum beranjak pulang.

"Ranu!"

Teriakan atas namanya membuat Ranu menghentikan langkah. Ia memutar tubuh, mendapati Desi, teman kerja di bagian resepsionis melambaikan tangan ke arahnya.

"Kenapa, Mbak?"

Desi menyerahkan satu kertas berwarna emas terbungkus plastik bening. "Datang, loh. Entar nggak bisa ketemu lagi."

"Yah, Mbak jadi resign?"

"Iya, dong. Ikut suami," jelas Desi dengan raut semringah.

"Nggak seru kamu, Mbak. Entar nggak ada yang nyamperin ke kantor IT bawa banyak camilan lagi." Ranu membuka undangan yang baru diterima.

"Namanya juga istri, Nu. Harus ngikut ke mana suami ditugaskan. Kamu jangan sampai nikah sama orang jauh. Harus tetap stay di sini. Kalau bisa nikah sama orang Malang aja. Tetangga kecamatan, gitu."

Ranu tertawa menanggapi kelakar Desi. Pembahasan pernikahan mengingatkan pada masalah yang sedang dialaminya. Ranu pun segera undur diri. Namun, ia tidak langsung menuju rumah.

Ranu mengetuk pintu dan mengucap salam. Tidak lama kemudian, perempuan yang usianya lebih muda dari ibunya membukakan pintu.

"Eh, ada Ranu. Tumben ke rumah?" Bu Asih kemudian mempersilakan Ranu masuk ke ruang tamu.

"Jelita ada, Tan?"

"Nyari Lita? Ada, sebentar tante panggilkan dulu," kata Bu Asih. Saat baru beberapa langkah dari tempatnya berdiri tadi, ibu Jelta itu memutar tubuh. "Ibu gimana kabarnya? Udah sehat?"

"Alhamdulillah udah, Tan." Ranu menjawab dengan memasang senyum manis.

Bu Asih manggut-manggut. Beliau kemudian masuk ke ruang tengah untuk memanggil putrinya.

Ranu mengamati ruang sebelah. Tepatnya, ruang kerja Jelita. Ada meja besar di sana. Satu mesin jahit, satu mesin obras, dan satu mesin Wolsum (mesin obras dengan hasil lebih rapi) berada di dekat dinding. Usia Jelita memang sebaya adiknya, tetapi sudah mempunyai usaha sendiri.

"Ada apa, Mas?" Suara Jelita menyadarkan Ranu yang tengah mengamati ruang kerjanya. Gadis itu kaget mendapati kunjungan mendadak pemuda yang dicintainya.

"Mau ngobrol bentar, boleh?"

Jelita manggut-manggut. Ia lalu duduk di seberang Ranu.

"Ngobrol apa, Mas?" tanya Jelita penasaran. Ia juga tengah disergap rasa gugup.

"Kalau di kafe depan gerbang jalan raya gimana, Jel? Biar lebih enak bahasnya."

"Oh, oke. Aku ambil ponsel dulu." Jelita beranjak dari duduknya. Ia melangkah ke ruang tengah sambil terus menggosok tangannya yang dingin.

Tidak lama kemudian Jelita kembali ke ruang tamu. Mereka pun berangkat menuju kafe dengan motor Ranu. Lokasi tempat nongkrong itu tepat di seberang komplek rumah Jelita.

"Mau pesan apa?" tanya Ranu menawari Jelita.

"Minum aja, Mas." Jelita mulai salah tingkah. Ia beberapa kali mencuri pandang ke arah Ranu yang sedang menulis pesanan.

"Milo hangat, ya?"

Jelita terkesiap mendengar pilihan menu yang dipesankan Ranu. Minuman itu adalah favoritnya.

"Boleh, Mas."

Ranu segera mencatatnya. Ia lalu menuju meja kasir untuk menyerahkan pesanan. Setelah itu, baru kembali ke meja tempat Jelita berada.

"Langsung ke pembahasan, ya." Ranu mulai membuka percakapan. Ia menatap gadis di hadapannya yang terlihat canggung.

"Iya, Mas. Silakan." Jelita mulai menerka arah pembicaraan.

"Aku baru ngerti kalau calon istriku ternyata kamu, Jel. Jujur, nggak nyangka. Aku udah nganggap kamu seperti Aruna. Layaknya adikku sendiri karena kalian bersahabat sangat dekat."

Jelita hanya manggut-manggut. Ia berhenti menerka-nerka. Dirinya ingin mendengarkan dengan tuntas ucapan yang akan disampaikan kakak dari sahabatnya itu.

"Aku bingung mau ngomongnya." Ranu mengusap kening dengan posisi duduk tegak. Ia kesulitan menyusun kata-kata.

"Mas Ranu ingin menikah demi membahagiakan Tante, 'kan?" Jelita memberanikan diri berbicara.

Ranu menatap lekat gadis di hadapannya itu. Jelita yang mengenakan kerudung segitiga berwarna ungu muda itu bisa membaca pikirannya.

"Nggak ada yang salah dengan dua niatan mulia itu, Mas."

"Tapi, masalahnya aku belum bisa mencintai jika kita menikah nanti," ungkap Ranu dengan helaan napas berat. "Aku takut membebani kamu. Lebih tepatnya takut menyakiti."

Ranu lega bisa mengeluarkan beban pikirannya. Ia lebih baik bicara di depan daripada malah menjadi masalah nantinya.

Jelita tersenyum sinis. Ia bingung harus menjawab seperti apa. Ungkapan Ranu itu tadi seketika membuat hatinya nyeri.

"Sebelum semuanya terlambat dan timbul penyesalan, bagamana kalau kamu menolak permintaan ibuku saja?"

Jelita tersentak mendengar permintaan tidak terduga Ranu. Tentu ia tidak menginginkan hal itu terjadi. Mengiyakan permintaan pemuda itu sama saja dengan melepas cinta yang sudah terpendam lama. Namun, penjelasan tentang menikah tanpa cinta dari Ranu juga membuatnya sakit hati.

"Aku butuh waktu, Mas. Ini bukan hanya berhubungan denganku saja. Tetapi juga Tante."

Ranu manggut-manggut. Permasalahan utama memang ada di ibunya.

"Besok aku hubungi," ucap Jelita dengan wajah tanpa senyuman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro