Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ibu nggak mau ikutan rencana Adek lagi." Bu Murni sudah memutuskan akan memberitahu Ranu tentang perempuan yang akan menjadi calon menantunya. "Entar kalau Jelita ada yang lamar duluan gimana, Dek?"

Aruna yang sedari tadi sedang menikmati drama Korea di layar ponsel, mulai merespon celoteh Bu Murni. Ia lalu menekan tombol pause.

"Kok, Ibu tahu?" tanya Aruna heran. Dirinya kemarin malam baru dikabari Jelita bahwa temannya itu baru saja menolak lamaran tetangga komplek. Ia tentu tidak memberitahu ibunya.

"Hah? Beneran Jelita udah dilamar orang lain?" Bu Murni mulai panik. Menantu idamannya sudah ada yang meminang. "Adek, sih, lambat. Nggak gerak cepat. Gercep giti,loh, Dek. Gercep!"

Aruna tertawa melihat Bu Murni yang frustrasi. Ia lalu meminta ibunya yang sedang mondar-mandir untuk duduk di sampingnya.

"Sini, sini." Aruna menarik tangan Bu Murni.

Perempuan dengan gamis motif bunga itu pun menuruti perintah putrinya.

"Ibu kecewa ini," ujar Bu Murni dengan wajah cemberut.

"Aku belum selesai ngomong, Bu. Udah panik aja ngira kehilangan calon mantu kesayangan."

Bu Murni melirik ke arah Aruna. Beliau menganalisis kalimat terakhir gadis di sampingnya.

"Udah diterima belum lamarannya?" tanya Bu Murni penasaran.

Aruna menggelengkan kepala sembari mengacungkan kedua ibu jari. "Calon mantu, aman."

Bu Murni melonjak bahagia. Hati beliau seakan berbunga-bunga. Kini, Bu Murni bisa merasakan hal yang pernah dialami teman-teman dan saudara yang usianya sebaya. Momen akan memiliki menantu ternyata begitu menyenangkan.

"Ibu ngomong sekarang aja, ya, ke Mas Ranu?" Bu Murni meminta persetujuan Aruna. Kebetulan Ranu sudah datang dari tempat kerja.

Melihat euphoria ibunya mendapati Jelita menolak lamaran seorang laki-laki, Aruna menjadi tidak tega untuk meminta menunggu hingga kakaknya ada rasa pada Jelita. Ia kini harus benar-benar mengikhlaskan sahabatnya berjuang mendapatkan cinta saudaranya yang keras kepala.

"Boleh, deh. Tapi, Ibu harus tekankan ke Mas untuk tidak menyakiti Jeli selamanya." Aruna memberikan syarat pada ibunya.

"Oke, sayangku," ucap Bu Murni seraya mencubit pipi Aruna. Kerlingan mata juga diberikan kepada gadis jangkung tersebut.

Aruna hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah centil sang ibu. Ia bisa melihat kebahagiaan ibundanya membuncah karena rencana pernikahan kakaknya. Dirinya bisa maklum karena teman-teman ibunya sudah banyak yang memiliki cucu. Tentu hal tersebut menjadi hal yang sensitive. Beruntung, bukan dirinya yang dipaksa menikah.

***

Bu Murni mengetuk pintu kamar Ranu yang berada di samping ruang tamu. Sahutan dari dalam mempersilakan perempuan berusia empat puluh delapan tahun tersebut untuk masuk.

"Mas lagi ngapain?"

"Lagi main game aja, Bu."

Ranu menyembunyikan ponselnya. Ia berbohong pada sang ibu. Dirinya tidak sedang bermain, tetapi tengah berbalas chat dengan temannya membahas Friska. Mantan kekasihnya itu sebentar lagi akan wisuda, dan tentunya kembali ke tanah air.

"Ibu mau ngomong penting," jelas Bu Murni yang sudah duduk di atas kasur. Berhadapan dengan putra sulungnya.

Ranu menegakkan punggungnya. Ia siap mendengarkan sang ibu.

"Ibu udah punya calon buat istri mas," ungkap Bu Murni sembari tersenyum manis.

"Oh, ya? Siapa?" Ranu tidak menyangka ibunya akan secepat ini menanggapi permintaannya.

"Jelita."

Ranu membuka matanya lebar begitu satu nama disebut. Decakan keluar dari bibirnya.

"Ibu jangan bercanda."

"Loh, Ibu serius, Mas. Perempuan yang ibu restui untuk jadi istri Mas itu Jelita," tegas Bu Murni hingga keningnya berkerut.

"Nggak, nggak boleh kalau Jelita, Bu." Ranu terus menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangkan jika sahabat adiknya yang akan dijodohkan dengannya.

"Emangnya kenapa, Mas?" tanya Bu Murni bingung. "Mas yang bilang kalau feeling Mas itu, Jelita dulu yang nikah. Berarti emang Jelita udah cocok buat jadi istri, 'kan?"

Ranu menarik napas dengan berat. Dirinya tidak mungkin menyakiti gadis yang sudah dianggapnya sebagai adik tersebut.

"Aku sama Jeli udah kayak adik sama kakak, Bu. Nggak mungkin bisa nikah." Ranu mulai mengeluarkan alasan untuk menolak permintaan sang ibu.

"Siapa bilang nggak bisa? Kalian itu nggak ada hubungan darah. Sah-sah saja menikah. Bisa jadi kalian memang berjodoh."

Bu Murni mulai geregetan menghadapi putranya.

"Mana janji Mas yang mau patuh sama ibu?" Suara Bu Murni mulai meninggi. Beliau berusaha menahan kesedihan atas penolakan sang anak.

"Maaf, Bu. Kali ini aku nggak bisa. Ibu boleh jodohkan aku dengan perempuan mana pun di dunia ini. Asal jangan Jelita, Bu." Ranu menangkupkan kedua tangan.

Bu Murni bangkit dari duduknya. Beliau menatap tajam ke arah Ranu. Tanpa mengucap apapun, Bu Murni keluar dari kamar.

Ranu mengembuskan napas panjang. Ia lalu mengacak rambutnya dengan kesal. Ia masih tidak menyangka akan nama yang dimunculkan untuk menjadi calon istrinya.

***

Aruna membuka mata. Tangannya meraba kasur, mencari ponsel. Setelah menemukan benda pipih itu, ia terkejut. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul enam pagi.

"Kok, Ibu nggak bangunin aku?"

Aruna menyibak selimut yang menutupi tubuh. Ia lalu turun dari ranjang susun tersebut. Kakinya melangkah menuju kamar Bu Murni.

Kening Aruna berkerut. Tirai di ruang tamu belum terbuka. Begitu juga dengan lampu teras yang masih menyala. Biasanya, selepas salat Subuh, ibunya sudah melakukan itu semua. Namun, pagi ini tidak seperti semestinya.

Aruna berjalan cepat ke kamar Bu Murni. Perasaannya tidak nyaman.

"Ibu! Ibu nggak pa-pa, 'kan?" tanya Aruna seraya membuka pintu kamar.

Bu Murni tengah berbaring di kasur. Mukena setelah salat Subuh belum dilepas.

"Adek ... udah salat?" Nada bicara Bu Murni terdengar lemah.

Aruna tersentak mendapati sang ibu terkulai lemas. "Ibu kenapa lagi?"

"Nggak pa-pa, sakit banget kepala ibu."

Aruna mencermati wajah Bu Murni. Seluruh wajah ibunya terlihat memerah. Ia lalu menempelkan punggung tangan di kening perempuan yang telah melahirkannya itu. Mata Aruna membeliak.

"Ibu demam juga, nih." Aruna mulai panik. Ia tidak mau kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskan sang ibu dirawat di rumah sakit terulang kembali.

"Nggak pa-pa, Dek. Habis ini belikan obat aja di apotik, ya." Bu Murni berbicara dengan mata terpejam.

"Ibu habis ngapain sampai sakit kepala gini?"

Bu Murni tersenyum samar. "Nggak tahu. Semalam mikirin masmu yang nggak mau sama Jelita. Kok, bangun tidur jadi gini."

Darah Aruna sontak mendidih. Ia sudah yakin jika kakaknya yang membuat ibunya jatuh sakit. Tanpa berucap, Aruna langsung berlalu menuju kamar Ranu.

Aruna membuka pintu kamar. Tampak Ranu masih terlelap. Hati Aruna sudah terbakar emosi. Ia menarik selimut Ranu dengan kuat.

"Bangun!"

"Apa, sih, Dek." Ranu menggeliat. Ia lalu mengucek mata. "Masih ngantuk, nih."

"Mas ngapain Ibu sampai sakit lagi sekarang? Sampai Ibu kenapa-kenapa, aku nggak terima!" Dada Aruna sudah sesak. Air mata pun mengalir membasahi pipi.

Ranu melonjak kaget. "Ibu sakit?"

Ranu turun dari kasur busa tanpa ranjang. Ia segera berlari ke kamar sebelah, meninggalkan Aruna yang tersedu. Ia segera mendekat ke tempat Bu Murni berbaring.

"Bu, jangan sakit lagi," pinta Ranu seraya menggenggam tangan sang ibu.

"Ibu nggak apa-apa, kok."

Ranu menggelengkan kepalanya. Dari wajah dan suhu tubuh saja dirinya sudah bisa melihat jika sang ibu sedang tidak sehat.

"Ibu mau aku nikah sama Jeli, 'kan? Ayo kita ke rumah orang tua Jeli, Bu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro