Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Usaha pertama dari Bu Murni dan Aruna belum membuahkan hasil. Ranu masih tidak kunjung menangkap sinyal tentang perjodohan secara diam-diam antara dirinya dan Jelita. Padahal, malamnya setelah makan sate bersama, Bu Murni memaksa putranya mengantar Jelita pulang. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Aruna memang meminta Jelita untuk datang ke rumahnya tanpa membawa motor seperti biasanya. Rencana pun berjalan dengan lancar.

"Ya udahlah, Dek. Biar ibu langsung aja ngomong sama masmu."

"Jangan, Bu. Aku nggak mau nanti Jelita tersakiti. Kalau bisa Mas itu harus naksir dikitlah sama calon istrinya." Aruna masih kukuh dengan rencananya.

"Terus gimana, dong?" Bu Murni yang sedang berbaring di samping Aruna, mengubah posisi menjadi menyamping. "Ibu kapan mantunya ini?"

"Sabar. Semua akan indah pada waktunya," tutur Aruna dengan tangan fokus berselancar di aplikasi TokTok.

Bu Murni menghela napas panjang. Beliau kembali berbaring telentang. Perempuan dengan tubuh sedikit gemuk tersebut menatap langit-langit kamar. Wajah almarhum sang suami muncul dalam benaknya. Rasa rindu kepada belahan jiwa sontak menyergap.

Bu Murni memejamkan mata. Bibirnya mulai melantunkan surah Al-Fatihah untuk sang suami.

Aruna menoleh ke ibunya. Ia terhenyak mendapati cairan bening menetes membasahi pelipis Bu Murni. Ia pun memeluk perempuan yang paling disayanginya itu.

"Ibu jangan sedih lagi, dong. Aku jadi ikutan sedih," ungkap Aruna dengan bibir manyun.

Bu Murni mengusap air mata. Beliau kemudian mendekap erat putri bungsunya.

"Ibu nggak sedih, kok. Cuma kangen Bapak." Bu Murni menghela napas berat. "Nanti yang jadi wali nikah Adek bukan Bapak, tapi masmu."

"Aku jadi pingin nangis lagi, Bu." Suara Aruna mulai terisak.

Ibu dan anak itu pun larut dalam rasa rindu yang mendalam untuk almarhum. Saat sedang sama-sama berurai air mata, pintu kamar Bu Murni terbuka.

"Bu, telor di mana? Aku mau makan." Ranu masuk seraya membawa wajan antilengket di tangan.

Bu Murni dan Aruna segera mengusap air mata. Mereka tidak ingin terlihat sedih di depan Ranu.

"Pada kenapa nangis gitu?" tanya Ranu curiga.

"Ini, lagi nonton Crash Landing On You. Ibu nangisin Hyun Bin yang harus berpisah sama Son Ye Jin." Aruna mengarang alasan.

Ranu berdecak. "Makanan apa, tuh? Nggak paham. Telor di mana, Bu?"

"Di laci bawah kompor, Mas." Suara Bu Murni masih terdengar parau.

Ranu bermaksud kembali ke dapur. Namun, panggilan dari sang ibu menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Bu?"

"Mas pingin nikah bulan apa?" tanya Bu Murni tiba-tiba. Hal itu membuat Aruna ikut terkejut. Padahal tadi mereka belum membahas pernikahan. Masih usaha untuk mendekatkan Ranu dan Jelita.

"Terserah Ibu." Ranu sudah tidak mau mabil pusing masalah pernikahan. Ia hanya ingin patuh kepada orang tua satu-satunya yang dimiliki di dunia ini. "Emang udah ada calonnya?"

"Belum, belum ada. Masih nyari." Aruna menyerobot pembicaraan.

"Enggak, udah ketemu kok, Mas," sahut Bu Murni. Beliau sudah tidak sabar lagi mengikuti rencana Aruna.

Ranu menautkan kedua alisnya. Pemuda dengan tinggi 178 sentimeter itu bingung dengan dua jawaban yang berbeda.

"Yang bener yang mana?" tanya Ranu.

"Belum, Mas. Masih nyari." Aruna menegaskan jawabannya.

"Udah, Mas. Calonnya udah ada." Bu Murni tidak mau kalah dari putrinya.

Ibu dan anak perempuannya itu mulai saling mempertahankan jawaban. Hal tersebut membuat Ranu semakin heran.

"Apa, sih, pada aneh gini? Mending aku makan aja, lapar," ujar Ranu seraya berlalu dari kamar.

***

Ruang tamu yang bersisian dengan ruang kerja Jelita terlihat sunyi. Padahal ada dua insan berbeda gender sedang duduk berhadapan. Jelita tengah menundukkan kepala seraya menautkan kedua tangan.

"Boleh tahu alasan kenapa lamaranku ditolak?" tanya Izzan, pemuda kampung sebelah yang tengah memperjuangkan cintanya untuk memiliki Jelita.

Jelita mengangkat wajah. Ia lalu tersenyum dengan tatapan mata yang teduh. "Maaf, Mas. Aku belum siap saat ini."

"Aku tunggu. Sampai kapan pun Jelita siap."

Izzan tidak ingin menyerah. Ia datang ke sini bukan untuk mengajak gadis ayu tersebut berpacaran. Pemuda dengan rambut pendek tersisir rapi itu ingin memuliakan sang pujaan hati dengan langsung mengajak menikah.

"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas. Selama ini aku pahamnya kita hanya menjalin pertemanan yang baik. Maaf, Mas."

Jelita menangkupkan kedua tangan, seraya kepala sedikit menunduk. Peristiwa seperti ini memang tidak terjadi kali ini saja. Namun, ini sudah ketiga kalinya Jelita menolak lamaran laki-laki.

Izza mendesah pelan. Apa yang dikatakan Jelita memang benar. Awal pertemuan sebagai remaja masjid, menjadikan mereka berteman baik. Hubungan yang terjalin pun sangat santun. Izzan dikenal sebagai pribadi yang agamis. Tentu saja dirinya memperlalukan Jelita dengan begitu mulia. Tidak ada obrolan aneh-aneh saat berjumpa. Pun dengan aktivitas di WhatsApp. Izzan hanya menghubungi Jelita saat ada keperluan.

"Baiklah, Ta. Terima kasih untuk jawabannya. Semoga aja perihal seperti ini tidak memengaruhi silaturahim kita ke depannya." Izzan berusa menerima jawaban Jelita dengan ikhlas meskipun perasaan kecewa tidak dapat dipungkiri turut menyertai. Pemuda yang berprofesi sebagai guru di salah satu madrasah aliyah di Kota Malang tersebut sudah lega mendapat keputusan atas kegelisahan hatinya.

"InsyaAllah, Mas." Jelita kembali menundukkan pandangannya.

"Aku pamit dulu. Assalammualaikum." Izzan beranjak dari sofa. Ia melangkah dengan harapan yang pupus di hatinya.

"Waalaikumsalam."

Jelita menyandarkan kepala di sofa dengan embusan napas yang panjang. Izzan adalah laki-laki ketiga yang terpaksa harus ia tolak pinangannya. Bukan karena dirinya sok cantik. Namun, karena hatinya tidak siap menggantikan nama Ranu di hatinya dengan sosok-sosok yang menawarkan cinta terlebih dahulu.

"Ditolak lagi, Mbak?"

Suara Bu Asih membuat Jelita tersentak. Ia segera menegakkan punggungnya.

"Mama dengar, ya?"

Bu Asih mengangguk pelan. Beliau ikut duduk di samping putri sulungnya.

"Izzan itu anak yang baik, Mbak. Agamanya bagus. Salatnya pun sepengetahuan Ibu juga rajin. Kenapa, Mbak?"

Jelita manggut-manggut. Ibunya memang benar. Izzan laki-laki yang pantas untuk dijadikan imam dalam mengarungi bahtera pernikahan.

"Aku belum siap, Ma." Jawaban yang sama, saat teman sekolah Jelita mengutarakan maksud yang sama seperti Izzan, setahun yang lalu. Juga, pinangan putra dari teman ayah Jelita.

"Mama ini orang tuamu, Mbak. Paham siapa anaknya." Bu Asih mulai gemas dengan sikap Jelita terhadap laki-laki yang meminangnya.

Jelita terus menundukkan wajah. Ia merasa sudah membuat ibunya kecewa.

"Maaf, Ma."

Bu Asih mengangguk pelan. Beliau mengusap punggung Jelita dengan lembut.

"Ya udah, nggak apa-apa. Keputusan memang ada di tangan Mbak sendiri. Yang menjalani nanti juga Mbak."

Jelita menggeser duduk, sedikit menyamping. Ia lalu meraih tangan Bu Asih. "Mama kecewa, ya?"

Bu Asih tersenyum. "Mama bakalan kecewa kalau lihat Mbak nggak bahagia."

Jelita terharu dengan ucapan yang terdengar tulus dari sang ibu. Ia langsung memeluk Bu Asih dengan erat.

"Oh, iya. Mama nanya boleh, 'kan?"

"Nanya apa?" Jelita meregangkan dekapannya.

"Ada yang sedang ditunggu, ya?" tanya Bu Asih dengan tatapan lekat.

Jelita terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak mungkin dijawabnya sekarang. Ia masih belum bisa memastikan tentang perjodohannya dengan Ranu. Jelita pun menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro