Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gimana ceritanya?

Nggak seru ya?

Kok, komennya sepi =(


"Apa, sih, Run?" Jelita menyenggol lengan Aruna dengan sikunya. Mereka berjalan bersisian menuju ruang tengah.

"Cie, wajahnya jadi kayak tomat." Aruna bahagia bisa menggoda Jelita "Tenang aja, Mas Ranu masih kerja."

Jelita hanya bisa tersipu. Ia menjadi canggung memasuki rumah ini. Padahal, biasanya selalu santai, pun saat Ranu ada di rumah.

Bu Murni menyambut kedatangan Jelita dengan senyum semringah. "Udah makan siang, Lit?"

"Sudah, Tante," jawab Jelita dengan ramah. "Tante sudah sehat?"

"Alamdulillah sudah. Ayo duduk di ruang tengah."

Bu Murni menggamit lengan Jelita menuju ruangan tempat bersantai keluarga tersebut. Gadis dengan bergo instan berwarna cokelat muda itu makin merasa canggung dan malu. Mereka pun mulai berbincang membahas perjodohan tersebut.

"Lita beneran ikhlas dijodohin sama Mas Ranu?" tanya Bu Murni memastikan.

"Insya Allah, Tante." Jelita seperti kehilangan kata-kata di depan Bu Murni. Suasana di rumah ini menjadi terasa menegangkan baginya.

Aruna masih terus senyum-senyum melihat ibu dan sahabatnya berbincang. "Kok, jadi canggung, sih. Biasanya juga ngegosip berdua."

"Ini beda perkara, Dek. Saat ini yang dibahas masalah serius. Iya, kan, Lit?"

Jelita manggut-manggut sambil tersenyum. "Aruna ini sukanya jail aja, Tan. Sebel, deh."

Aruna tertawa puas. Ia memang kerap bersikap jail pada Jelita. Uniknya, mereka bisa awet berteman karena perbedaan sifat tersebut.

Suara motor terdengar berhenti tepat di depan rumah. Jelita terkesiap. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia sangat mengenal pemilik motor tersebut.

"Cie ... calon suami udah datang," goda Aruna pada Jelita. Ia sangat senang karena akhirnya bisa menggoda sahabatnya itu saat kakaknya hadir.

"Diam!" Jelita mendelik ke arah Diyana. Ia mulai dihinggapi kegugupan yang luar biasa.

Aruna tertawa puas. "Ayo, Bu. Kita ke belakang."

"Aruna, ih, godain terus." Jelita menarik baju Aruna begitu sahabatnya itu berniat bangkit dari duduk. "Di sini aja."

Aruna tergelak melihat ekspresi salah tingkah Jelita. Begitu juga dengan Bu Murni yang tersenyum bahagia melihat ekspresi calon menantunya itu.

"Assalammualaikum." Suara Ranu terdengar dari ruang depan.

"Waalaikumsalam." Tiga perempuan di ruang tengan menjawab salam dengan serempak.

Jelita menggosok kedua tangan yang mendadak jadi dingin. Tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas saat mendengar langkah kaki Ranu yang mulai mendekat ke ruang tengah.

"Eh, ada Jelita." Ranu menoleh ke arah sofa begitu sampai di ruang tengah. "Kebetulan aku baru beli sate ayam, nih. Makan rame-rame, yuk."

Ranu meletakkan kantong plastik berisi olahan ayam dengan saus kacang tersebut di atas meja. Ransel yang menggantung di punggung, diletakkannya di dekat sofa. Pemuda dengan rambut terpangkas rapi itu mengempaskan tubuhnya di sofa, tepat di samping Jelita.

Jelita membeliak kaget. Posisi duduk mereka hanya berjarak sejengkal saja. Ia bahkan bisa menghidu aroma tubuh Ranu yang masih wangi.

Aruna berusaha menahan tawa. Namun, rasanya tidak sanggup. Ia pun beranjak dari duduknya. "Aku ambilkan piring dulu di dapur."

"Mama siapkan nasinya dulu." Bu Murni ikut-ikutan meninggalkan sofa.

Jelita tercengang mendapati dirinya kini hanya berdua dengan Ranu. Ia lalu memejamkan matanya dengan kuat. Posisi duduknya tegak sedangkan Ranu menyandarkan kepala di sofa.

"Jahitan lancar, Jel?" tanya Ranu seraya melepas kancing kemeja bagian atas. Ia memang ikut-ikutan Aruna melafalkan panggilan untuk Jelita.

"I-iya, Mas. Alhamdulillah."

Jelita berdecak lirih. Ia merutuki sikapnya yang sangat canggung. Gadis yang mengenakan kaus lengan panjang berpadu rok berbentuk A-line itu berharap Aruna segera kembali.

Ranu manggut-manggut. Ia lalu menegakkan tubuhnya. Keringat setelah seharian bekerja membuat tubuhnya lengket. "Aku mandi dulu, Jel."

Jelita manggut-manggut. Ia kini bisa bernapas lega.

"Loh, mau ke mana, Mas?" tanya Aruna saat berpapasan dengan Aruna di pintu ruang tengah.

"Mandi. Kenapa? Mau ikut?" tukas Ranu seraya berlalu menuju kamarnya.

"Dih, ogah." Aruna mencebik kesal. Ia pun kembali ke sofa. "Ngobrol apa aja, Jel?"

"Nggak ada. Cuma nanyain jahitanku rame, nggak?"

"Itu aja?"

Jelita manggut-manggut. Bibirnya tadi seperti terkunci. "Mau ngomong apa? Aku gugup banget."

Aruna terbahak menanggapi kejujuran sahabatnya. Pukulan tidak terlalu keras pada punggung didapatnya dari Jelita yang masih tersipu.

"Aku senang banget hari ini, Jel."

"Kenapa? Karena puas godain aku, ya?"

Aruna menggeleng kepala sembari menggoyangkan telunjuk. "Aku bahagia akhirnya bisa melihat seorang Jelita Sabriya jatuh cinta."

Jelita tersentuh dengan penuturan Aruna. Ia melihat ketulusan dari sorot mata teman terbaiknya itu.

Kedua mata sepasang sahabat itu mulai berkaca-kaca. Mereka pun berpelukan dengan penuh haru.

"Habis ngapain itu berpelukan?" Bu Murni datang dengan sebakul nasi dan sepiring rendang daging sapi.

Jelita pun bergegas membantu. Ibu Aruna itu tersenyum lega mendapati sikap cekatan gadis itu. Beliau merasa Jelita memang cocok untuk Ranu yang memiliki sifat tidak sabaran. Mereka pun kembali berbincang sembari menunggu satu-satunya laki-laki di rumah ini selesai membersihkan diri.

Tidak lama kemudian, Ranu datang dari kamar mandi dengan handuk menggantung di leher. Rambutnya masih basah. Pemuda dengan boxer dan kaus oblong itu kembali duduk di sofa.

"Kok, enggak makan dulu?" tanya Ranu seraya menyantap sate satu tusuk.

"Nungguin yang belikan," ujar Aruna santai.

"Biasanya juga langsung dihabiskan," sahut Ranu sembari mengambil piring. "Yang beli disisain bungkusnya."

"Enggaklah. Sekarang aku harus lebih menghormati kakakku." Aruna memegang kedua pipi seraya mengerlingkan mata.

"Tumben banget. Aruna kenapa, sih, Jel?" tanya Ranu kepada Jelita yang duduk di sampingnya. Ia merasa aneh dengan sikap Aruna.

Jelita tergemap. Ia lalu menggelengkan kepala dengan cepat.

"Mas kan, sekarang kepala keluarga. Jadi, aku ya, harus hormat. Iya, kan, Bu?"

Bu Murni manggut-manggut seraya tersenyum. "Betul, Dek."

"Bagus, bagus," ucap Ranu seraya mengambil piring. Selama ini, hubungannya dengan sang adik selalu penuh dengan adu mulut. Ranu lalu menyerahkan piring ke Jelita. "Tolong ambilkan nasi, Jel."

Jelita kembali terkesiap. Tanpa berucap, ia segera menerima piring dan mengisinya dengan nasi.

Aruna dan Bu Murni berusaha menahan senyuman melihat Jelita dan Ranu. Mereka seperti suami istri yang sedang dilayani dan melayani.

Aruna menyenggol lengan Bu Murni. Ia memberi sinyal agar sang ibu bersuara.

"Lita, denger-denger mau nikah muda, ya?" tanya Bu Murni dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Jelita bingung dan kaget mendengar pertanyaan Bu Murni. Ia lalu menatap Aruna yang memberikan petunjuk dengan mengedipkan sebelah mata.

"Pinginnya begitu, Tante."

"Emang calonmu siapa, Jel?" tanya Aruna dengan kening berkerut. "Nggak pernah juga lihat pacaran."

"Emangnya kamu, Dek. Gebetan di mana-mana." Ranu yang sedang mengunyah ikut bersuara. Ia ikut mendengarkan pembahasan para perempuan di hadapannya itu.

Aruna mengepalkan tangan ke arah Ranu. "Komen melulu."

Jelita tersenyum melihat tingkah kakak dan adik itu. Ia sudah biasa menyaksikan perseteruan saudara yang terpaut usia lima tahun tersebut.

"Mas, menurutmu yang lebih tepat menikah muda Aruna apa Jelita?" Bu Murni tiba-tiba mengajukan pertanyaan untuk putranya.

Tanpa berpikir, Ranu menjawab dengan cepat. "Jelas Jelita, Bu."

"Kenapa?" Bu Murni dan Aruna serempak bertanya.

Ranu menatap adik dan ibunya secara bergantian. Ia heran dengan kekompakkan mereka bertanya. Pun saat melihat raut keduanya yang sangat berseri.

"Kenapa, ya?" Ranu malah balik bertanya. "Nggak tau, feeling aja."

Aruna dan Bu Murni mendesah kecewa. Ternyata jawaban Ranu tidak cukup jelas. Mereka berharap pemuda itu menyebutkan kelebihan Jelita yang memang sudah pantas menjadi seorang istri.

"Feeling seorang laki-laki yang juga udah siap nikah?" Aruna mulai bertanya lebih frontal.

Ranu menghentikan suapannya. Ia tercenung mendengar pertanyaan Aruna. Dirinya malah berpikir tidak siap menikah. Permintaan untuk menikah dengan perempuan yang direstui ibunya, hanya sebagai bakti saja sebagai anak.

"Maksudnya, Jeli itu nggak kayak kamu pokoknya, Dek. Kamu masih suka manja sama Ibu."

Aruna berdecak kesal. Selalu saja kata-kata kakaknya itu seolah mengajak ribut.

"Udah, jangan ribut. Lagi makan juga." Bu Murni mengingatkan kedua anaknya. "Yang pasti, orang tua yang mendapat menantu seorang Jelita pasti akan bersyukur sekali."

Ranu sontak menatap Bu Murni. Ia kemudian menoleh ke samping. Gadis di sampingnya itu memang cantik dan memiliki kepribadian yang baik. Namun, saat ini hatinya sama sekali tidak tergerak untuk mengangumi sahabat dari adiknya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro