Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf, Run." Jelita menunduk lesu. Ia merasa bersalah sudah mengatakan yang sebenarnya, sehingga membuat Aruna marah.

"Oke, aku maafin. Tapi, dengan satu syarat." Aruna berucap dengan tegas.

"Apa?" tanya Jelita penasaran.

"Terima aku sebagai calon adik ipar." Aruna tersenyum seraya memegang dagu. Matanya mengerling jail ke arah Jelita.

Senyuman pada bibir Jelita seketika terbit. Ia langsung menghambur memeluk Aruna. Pelukan dua sahabat itu sangat erat seolah ada harapan yang ingin mereka wujudkan bersama.

Jelita tidak berlama-lama di rumah Aruna. Ia pun undur diri. Aruna mengantar sang sahabat ke halaman rumah sekalian mengunci pagar. Suasana di sana sudah sunyi karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Jelita sudah naik di motor. Ia lalu menyalakan mesin.

"Eh, Mas Ranu!" pekik Aruna tiba-tiba seraya melambaikan tangan ke arah jalanan.

Jelita sontak memutar pandangan, mencari sosok yang disebut Aruna. Namun, tidak ditemukan siapapun di sana.

"Cie, yang denger namanya langsung heboh nyariin," goda Aruna. Ia memang sengaja ingin menjaili Jelita.

"Dasar!" Wajah Jelita pun merona. Beruntung, Aruna tidak mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

***

Bu Murni sudah berada di rumah setelah tiga hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kondisi lambung beliau sudah sangat membaik.

"Gimana, Dek? Udah ada gambaran calon buat masmu belum?" tanya Bu Murni pada Aruna yang sedang duduk berhadapan dengan laptop.

Aruna menghentikan aktivitasnya. Ia memang belum menceritakan tentang obrolannya bersama Jelita pada sang ibu. Gadis itu masih dilema untuk menyerahkan sahabatnya kepada Ranu. Bukan karena dirinya tidak menginginkan Jelita menjadi kakak iparnya. Akan tetapi, ia tidak mau sahabat yang sangat disayanginya itu tersakiti karena menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya.

"Dek, kok, nggak dijawab?"

"Eh, apa tadi, Bu?" Aruna pura-pura tidak mendengar pertanyaan Bu Murni.

"Udah ada calon belum buat Mas Ranu?" Bu Murni mengulang pertanyaan.

"Emang harus segera, ya?" tanya Aruna seraya menoleh ke samping.

Bu Murni mengambil singkong kukus yang ada di atas meja. Beliau lalu mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, untuk diselonjorkan.

"Niatan menikah kan, baik, Dek. Kalau bisa disegerakan kenapa harus dilama-lamain?"

Aruna menyipitkan matanya. Kalimat yang diutarakan Bu Murni memang benar adanya. Namun, menurut Aruna hal itu bisa diterapkan pada calon pasangan yang memang menikah karena cinta. Berbeda dengan kondisi Ranu.

"Tapi, aku takut nanti Mas malah nyakitin istrinya, Bu."

Bu Murni terkesiap. Beliau teringat ancaman Ranu saat almarhum sang suami masih dirawat di rumah sait. Kata-kata menyakitkan tentang pernikahan tanpa hati dan akan menyakiti istri.

"Apa Mas Ranu harus tetap melajang seumur hidup, Dek?" Raut Bu Murni mendadak muram. Binar kebahagiaan yang menghiasi wajah seolah pudar.

Aruna memukul bibirnya. Ia sudah salah bicara. Dirinya tidak boleh membuat sang ibu tertekan memikirkan kakaknya lagi. Aruna tidak ingin Bu Murni kembali jatuh sakit.

"Sebenarnya aku sudah dapat sosok calon untuk menantu Ibu," ungkap Aruna hati-hati.

Mata perempuan paruh baya yang tadi sendu, berubah berbinar. "Siapa, Dek?"

Aruna menarik napas panjang. Ia harus mengungkap nama Jelita sebagai kandidat calon istri untuk Ranu.

"Tebak-tebakan dulu, yuk." Aruna mengulur waktu. Ia juga ingin mengetahui respon awal Bu Murni tanpa mendengar nama Jelita disebut.

"Yah, langsung saja kasih nama, Dek. Ibu pingin cepat tahu namanya ini."

"Ibu ini nggak seru, deh." Aruna bangkit dari duduknya. Ia lalu berpindah ke sofa, duduk dekat sang ibu. "Tebakannya gampang banget, kok. Ibu kenal sama dia."

Bu Murni yang sedang menyuapkan roti ke mulut, sontak terkejut. "Oh, ya? Siapa?"

Aruna tidak langsung menjawab. Ia melontarkan petunjuk lagi. "Cewek ini cantik, kulitnya lebih putih dari aku ,body agak kurus meskipun makannya banyak, pintar masak, kalem, terus rajin ngurus rumah."

"Kebalikan dari Friska, nih," celetuk Bu Murni. Beliau penasaran dengan nama sosok tersebut. "Siapa, ya, Dek? Usianya berapa?"

"Usianya sebaya sama aku."

Bu Murni mengerutkan keningnya. Satu nama tiba-tiba muncul di benaknya. Namun, beliau sangsi jika perempuan tersebut mau menjadi istri Ranu.

"Satu clue penentu. Kalau Ibu nggak ngerti juga, keterlaluan sudah."

"Apa?" Bu Murni tidak sabar mendengar petunjuk terakhir.

"Cewek ini pernah bikinin kita gamis couple," ungkap Aruna dengan nada bicara yang tenang. Ia lalu fokus melihat respon Bu Murni.

Mata dan bibir Bu Murni terbuka lebar. Beliau sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ibunda Ranu itu tidak menduga jika sosok yang akan dijodohkan dengan putranya ternyata sangat beliau kenal dengan baik.

"Ya Allah Lita, ya? Benerana Lita Jelita, Dek?"

Aruna manggut-manggut. Ia masih belum paham dengan reaksi terkejut Bu Murni. Entah bahagia atau malah tidak suka.

"Ibu kaget itu setuju apa enggak?"

Bu Murni mencubit paha Aruna dengan gemas. "Nggak usah ditanya, udah pasti langsung setuju kalau Jelita."

Aruna menyeringai seraya manggut-manggut. Ia lupa jika Jelita bagaikan putri kedua ibunya. Mereka kerap dibandingkan dengan nada bercanda oleh Bu Murni.

"Lita mau nggak sama Mas?" Hal penting tersebut harus dipastikan. "Jangan sampai dia mau karena Adek memohon-mohon sambil mewek kayak biasanya. Menikah itu seumur hidup, jangan karena nggak enak hati aja."

Aruna mendesah kesal. Memang Jelita lebih banyak mengalah untuk Aruna jika mereka terlibat perselisihan.

"Jeli lebih dari mau. Ups!" Aruna memukul pelan bibirnya berulang kali. Ia hampir keceplosan akan rahasia besar Jelita. "Maksudnya, Jeli memang prinsipnya mau pacaran setelah menikah."

"Wah, hebat itu. Memang istri impian kok, Lita itu. Kamu harus kayak Lita, Dek."

Aruna mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Anak Ibu ini sebenarnya itu aku apa Jeli, sih? Nggak ada bangga-bangganya gitu sama anak sendiri."

Bu Murni terkikik bahagia. Beliau seolah mendapat vitamin baru lagi untuk kesehatan hati dan pikiran. Suplemen dari calon menantu impian.

"Masalahnya itu satu, Bu. Mas Ranu mau nggak sama Jeli?"

"Itu perkara gampang. Mas udah bilang mau menikah sama perempuan yang direstui ibu. Siapa pun itu," tegas Bu Murni. Pikirannya kembali mengingat ancaman Ranu. Untuk kali ini, beliau tidak akan membiarkan Ranu menyakiti Jelita jika memang nanti berjodoh. Bu Murni bertekad akan menjadi pelindung untuk calon menantunya nanti.

****

Rencana perjodohan yang Bu Murni dan Aruna susun segera dimulai. Mereka tidak langsung memberitahukan kepada Ranu jika calon untuknya sudah ada. Bu Murni ingin, hati Ranu bisa tergerak untuk Jelita secara alami.

"Susah, Bu. Masih ada si Friska di hati Mas Ranu," protes Aruna. Mereka kini sedang menunggu kedatangan Jelita yang akan berkunjung ke rumah.

"Kalau memang mereka berjodoh, pasti Allah akan memberi jalan, Dek. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Percaya sama Ibu."

Suara ketukan pintu dan suara salam mengakhiri obrolan ibu dan anak itu. Aruna segera beranjak untuk membukakan pintu.

"Bu! Calon mantu udah datang, nih." Aruna berteriak memanggil ibunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro