PART 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bismillahirrahmanirrahim. Tahun baru, semangat baru dan cerita baru.
Happy reading

🍂🍂🍂

-Apa yang kita impikan belum tentu sama seperti yang Allah rencanakan. Manusia hanya bisa berdoa karena hasil tetap berada di tangan-Nya.-


Seorang perempuan terlihat keluar dari kampus bersama teman-temannya. Wajah mereka terlihat sangat letih dan senyum sama sekali tak tampak di wajah mahasiswa. Belum tugas banyak yang akan membayang-bayangi pikiran mereka, dosen yang barusan mereka temui bukanlah dosen biasa. Hampir tidak ada mahasiswa yang berani tidak hadir dalam mata kuliah tersebut.

Angin sore menerpa wajah putih perempuan tinggi semampai. Ujung kerudung pashmina terbang menari-nari di udara karena angin sepoi-sepoi. Cepat-cepat perempuan itu mendekap sebuah buku di depan dada agar kerudung tidak terbang kembali.

Alya menatap arloji tua di tangan kirinya. Jam tangan yang sudah menemani kuliah hampir dua tahun ini. Niat untuk mengganti jam tersebut sepertinya di urungkan karena memang belum bisa untuk membeli yang baru. Mungkin jika dirinya ditakdirkan menjadi anak orang kaya, dirinya sudah bolak-balik ganti jam tangan.

Sebuah motor matic berhenti tepat di depannya. Sebuah senyuman tersungging dari wajah laki-laki yang masih berada di atas motor. Walaupun kaca helm masih menutup wajah laki-laki itu, namun Alya percaya jika kekasihnya sedang tersenyum kepadanya.

Dengan cepat Alya menerima helm pemberian Dimas dan langsung naik ke atas motor tersebut untuk duduk di belakang. Namun, Alya tetap menjaga jarak dengan menaruh tas miliknya diantara mereka duduk.

Motor itu menembus jalanan kota yang cukup ramai dikarenakan bersamaan dengan para pekerja yang akan pulang menuju rumahnya.

Motor Dimas sengaja berhenti di parkiran alun-alun kota. Walaupun mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun lebih tetapi Dimas selalu membawa Alya ke tempat umum karena dirinya tidak pernah mau berduaan dengan Alya di tempat yang sepi.

"Mampir ke sini sebentar ya?" pinta Dimas di antara riuh para pengunjung alun-alun yang didominasi anak-anak muda atau keluarga yang membawa anak.

Alya mengangguk sambil merapikan kerudung yang kurang rapi karena setelah memakai helm.
Ia berjalan di belakang Dimas untuk segera mendekat ke arah penjual es dawet yang terletak di trotoar. Udara yang cukup panas membuat penjual tersebut kewalahan melayani para pembeli yang sudah kehausan.

Dimas dan Alya duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Diam-diam Alya memperhatikan wajah letih yang sekarang kulit wajahnya sedikit menghitam karena terpaan cahaya matahari. Dimas bukan pekerja di lapangan tetapi dia memang satu bulan ini fokus mencari pekerjaan. Sedikit sulit untuk diterima di sebuah perusahaan dikarenakan dia hanyalah lulusan D3.

Sebelum duduk di kursi kayu tak lupa ia mengeluarkan sebuah amplop coklat yang bersembunyi di balik jaket. Amplop tersebut sedikit kurang rapi karena sudah mengalami beberapa penolakan saat melamar kerja.

"Maaf belum dapat kerja," rutuknya pelan sambil menimang-nimang amplop keramat tersebut dengan wajah sedih.

Senyum tipis mengembang dari bibir merah Alya. Senyuman berusaha menguatkan hati kekasihnya walaupun apa yang dirasakan di bibir tak sesuai hatinya. Ia sudah sangat berharap jika Dimas secepatnya mendapatkan pekerjaan, setelah itu ia bisa meyakinkan kedua orang tuanya agar merestui hubungan mereka berdua.

Bukan masalah pekerjaan saja, sebenarnya ada satu hal lagi yang menghambat hubungan mereka. Tak lain adalah orang tua Alya tidak menyukai Ibu kandung dari Dimas yang tak lain adalah seorang pramuria. Ayah Alya sudah menolak mentah-mentah jika Dimas yang akan menjadi suaminya. Sebenarnya sebelum orang tua Alya belum mengetahui tentang Ibunya Dimas, hubungan mereka cukup baik. Namun, setelah ada orang lain yang memberitahukan masalah ini, Ayah selalu melarang putrinya untuk bertemu dengan Dimas.

Jalan satu-satunya seperti ini mereka bertemu sebentar setelah Alya pulang kerja.

Dimas menyerahkan es dawet kepada Alya yang wajahnya sedikit murung. Laki-laki itu tahu jika perempuan ini sedikit kecewa karena berita yang ia bawa tentang pekerjaan yang belum selalu dapatkan.

"Jika satu bulan ke depan, aku belum dapat kerja lebih baik aku mundur."

Sontak kedua mata Alya hampir melotot karena ucapan yang tak disangka-sangka dari mulut kekasihnya. Es dawet yang berada di tangan perempuan itu terasa sangat dingin seakan-akan menembus tulang di ruas jarinya.

"Jangan Mas. Kita sampai berada di titik sekarang itu tidak mudah. Sudah berapa kali kita dihina dan dicela oleh orang lain tetapi kita masih bisa melewati bersama. Cuma gara-gara Mas belum mendapatkan pekerjaan terus menyerah begitu saja?"

Tatapan lembut kedua mata Alya seakan-akan menembus kedua retina milik Dimas. Seharusnya ia malu, sebagai laki-laki ia harusnya memberi kekuatan kepada kekasihnya bukan sebaliknya.

"Maaf, aku janji, Mas tidak akan pernah berkata seperti tadi," tukas Dimas lirih menyadari kekeliruannya.

Senyum tipis kembali mengembang di bibir perempuan itu. Ia kemudian melanjutkan meminum es yang sekarang sudah mencair.

"Ayuk pulang takut terlalu sore, nanti orang tua kamu curiga. Langit sudah menampakkan awan hitam takutnya kita kehujanan," ucap Dimas sambil mengambil uang di saku celananya.

Alya langsung menghabiskan sisa es dan kemudian beranjak menuju motor milik Dimas.

Deru mesin motor melaju menembus jalanan kota yang masih ramai. Alya melihat punggung kokoh Dimas yang sekarang sudah tak memakai jaket kembali. Ia melihat kemeja yang dipakai Dimas warnanya sudah kusah, mungkin karena ia terlalu sering memakainya.

Di ujung gang, Dimas menghentikan laju motor. Ia menatap ke arah belakang dan berbisik pelan, " Mau diantar sini apa sampai rumah?"

Alya turun dari motor dan langsung menyerahkan helm tersebut ke arah Dimas.

"Sini saja," jawab Alya dengan suara yang lebih lirih. Ia tidak mau mengecewakan kekasihnya.

Dimas mengangguk paham sambil tersenyum. Ia bisa menerima jika hubungan Alya dengan orang tuanya sedang tidak baik karena Ayah Alya selalu menentang kehadiran dirinya. Untuk ke depannya mungkin lebih baik seperti ini.

Perpisahan sepasang kekasih tersebut hanya diwarnai sebuah senyuman karena selama ini tidak ada sentuhan di antara mereka berdua karena masih bisa menjaga satu sama lain.

Alya menatap langit yang sudah menghitam, buru-buru ia melangkah lebih cepat agar sampai di rumah sebelum rintik hujan membasahi tubuhnya.

Benar saja, baru satu langkah sampai teras rumah hujan sudah turun tanpa sebuah gerimis sehingga menimbulkan suara yang keras di atas rumah.

"Kok tidak pakai motor?"

Suara dengan nada sedikit tinggi keluar dari mulut Bapak. Ia tengah berdiri di depan pintu dengan kedua mata melihat tajam ke arah putrinya.

Alya tercekat kaget, padahal dia sudah melangkah sangat hati-hati agar langkahnya tidak terdengar oleh Bapak. Ia hanya bisa menunduk sambil berjalan masuk melewati Bapak yang tengah mundur satu langkah memberikan ruang kepada Alya untuk masuk rumah.

Sementara Alya lebih baik bergeming karena tanpa menjawab pun Bapak sudah tahu jawabannya.

"Alya! Apa kamu masih berhubungan dengan lelaki itu!" gertak Bapak dengan suara yang lebih tinggi sehingga membuat perempuan itu buru-buru langsung masuk ke dalam kamar menghiraukan panggilan Bapak.

🍂🍂🍂

Selamat datang di cerita author yang baru. Semoga ke depannya tulisan lebih baik agar banyak yang tertarik untuk membaca cerita ini.  Jangan lupa baca cerita yang lain:

1. Pilihan Zahra (END)

2. Senandung Hujan up di akun WritingProjectAE

3. Secercah Harapan ( Insyaalah awal Februari up di akun RomanceWP

Minta vote dan komentar biar author lebih semangat lagi untuk menulis, jika suka dengan ceritanya bisa simpan di library teman²

Purwokerto, 01 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro