PART 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Mungkin hari ini terasa baik-baik saja, kita tidak akan pernah tahu jika esok bisa seperti hari ini ~

'
'
'
'

Happy reading, jangan lupa vote.


Alya dengan tertunduk lesu menunggu kehadiran keluarga besar Zein yang sebentar lagi akan datang. Jantungnya berdetak lebih kencang ketika mendengar mobil berhenti tepat di depan rumah. Hatinya kembali menciut tatkala terdengar suara riuh orang di luar.

Orang tua Alya dan kerabat sudah berjejer di depan pintu menyambut para tamu. Alya hanya bisa duduk bergeming dengan kepala menunduk.

Tatapan kedua orang tua Alya sangat kaget melihat seseorang yang berada dalam rombongan keluarga tamu. Beberapa orang beriringan masuk ke dalam ruang tamu. Beberapa dari mereka membawa sebuah bingkisan untuk di taruh tepat meja depan Alya sedang duduk.

Seketika pandangan Alya bertemu dengan tatapan sepasang mata yang mengarah ke dirinya. Jantung kembali berdetak lebih kencang. Seseorang yang dua hari ini menghilang tiba-tiba hadir di depannya, saat acara lamaran. Kedua mata Alya terus mengamati sosok tersebut yang sudah menghilang di balik pintu dan memilih untuk duduk di teras.

Acara dimulai dari perwakilan keluarga tamu yang diwakili oleh laki-laki paruh baya yang merupakan Papah Zein.

"Kedatangan saya dan keluarga bermaksud untuk mengikat tali silaturahmi sekaligus untuk meminang Alya untuk putra saya — Zein, " ucap Papah Zein sambil diikuti anggukan para tamu yang lain.

"Saya pasrahkan saja kepada anak saya," jawab Bapak menimpali pertanyaan sahabat karibnya.

"Alya, kamu yang lebih berhak mengutarakan jawaban, bukan Bapak."

Kedua mata Bapak menatap hangat wajah putrinya yang masih terus menunduk.
Akhirnya sekarang semua pasang mata mengarah kepada perempuan yang berbalut busana dan kerudung serba putih.

Mata Alya tertuju pada kedua mata Zein yang sedang menatapnya dengan sangat tajam. Alya bergidik ngeri ketika Zein menggeleng lemah yang hanya bisa dilihat oleh Alya saja.

Dimas yang sedang menunggu di teras juga menantikan jawaban Alya  dengan perasaan harap-harap cemas. Ia mengeratkan kedua tangannya untuk mengurangi rasa gugup.

Sementara di ruang tamu, Alya sudah bersiap untuk bicara. Zein adalah orang yang tidak sabar menunggu jawaban perempuan itu.

"Saya menerima lamaran dari Mas Zein," ucap Alya lirih dan hati-hati.
Semua yang ada di ruangan itu mengucapkan hamdalah terkecuali Zein dan laki-laki yang ada di teras. Zein menatap Alya lebih tajam, matanya sudah memerah karena emosi.

"Zein pakaikan cincin tunangan di jari Alya!" perintah Mamah Zein yang sudah mengambil kotak perhiasan.
Zein hanya terdiam tak menanggapi ucapan Mamah, ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sampai Mamahnya mencolek lengan putranya agar mengikuti apa yang disarankan.

Dengan malas laki-laki yang malam ini memakai kemeja batik panjang berdiri dengan terpaksa dengan tatapan yang mengarah kepadanya. Ia mengambil cincin yang sudah disediakan oleh Mamah.

Sekarang saatnya, mereka berdua saling berhadapan. Alya yang sedari tadi sudah dipaksa berdiri oleh ibunya. Tangan kanan Alya masih disembunyikan di balik kerudung.

Zein menatap malas ke arah Alya. Ketika hendak memegang tangan, perempuan itu mundur selangkah ke belakang sambil memperlihatkan tangannya yang terbalut perban putih.

Semua pasang mata menatap tangan Alya, termasuk Zein yang sangat kaget. Hampir jari dan telapak tangan terbungkus oleh kain perban.

"Biar nanti saya pakai sendiri jika sudah sembuh," sahut Alya sambil mengambil cincin yang berada di tangan laki-laki yang merasa kaget karena cincin direbut begitu saja.

Karena tidak jadi acara pemasangan cincin, akhirnya kedua keluarga tersebut menikmati hidangan yang sudah disediakan.

"Al, Tante minta tolong bawakan minuman sama snack buat sopir Zein di depan!" perintah Mamah Zein sehingga membuat Alya sangat kaget.

"Mas Dimas," ucap Alya lirih. Ia hampir lupa jika sosok itu masih di tempat ini. Menyaksikan dengan kedua matanya saat dirinya sedang dilamar oleh Zein — majikan Dimas.

Bapak yang sedang berbincang dengan para tamu seketika terdiam setelah tidak sengaja mendengarkan obrolan putri dan orang tua Zein. Wajah yang sudah menampakkan kerutan melihat perubahan putrinya yang terlihat kaget.

Alya mengambil nampan untuk diisi sebuah minuman dan beberapa makanan kecil yang ditaruh di atas piring. Dengan perasaan tak menentu dan jantung yang berdegup kencang, ia keluar dari ruang tamu dan mendapati seorang laki-laki yang tengah memandang di hadapannya dengan tatapan patah hati.

"Mas, minumannya." Alya menaruh apa yang dibawa di meja dekat laki-laki itu duduk.

Terlihat wajah dengan tatapan sedih, hancur dan luka di hatinya yang menyatu lewat tatapan kosong. Senyum terlihat dipaksakan dari bibir yang tak pernah mencicipi rokok.

"Terima kasih," sahut Dimas dengan sangat pelan.

Alya beranjak pergi untuk bergabung kembali ke dalam, menemui dua keluarga yang sebentar lagi menjadi satu.

"Al!" panggil Dimas lirih.

Alya yang merasa di panggil, menghentikan langkahnya. Perempuan yang masih memeluk nampan itu menggigit bibirnya. Satu langkah lagi ia sudah berada di ruang tamu tetapi ia urungkan. Dengan terpaksa ia menengok ke arah Dimas yang tengah melihat ke arahnya.

"Selamat ya?" ucap Dimas dengan tersenyum yang masih dipaksakan.
Alya mengangguk sambil ikut tersenyum walaupun hatinya merasa seperti diiris-iris. Perempuan itu buru-buru melangkah lagi ke dalam dengan setitik air mata di pelupuk matanya.

Tiba-tiba keluar laki-laki berkemeja batik panjang dari ruang tamu dengan langkah yang tergesa-gesa. Hampir saja tubuh besarnya hendak menabrak Alya yang mau masuk.

Tangan kekar itu kembali memegang pergelangan Alya dengan erat. Menarik Alya dengan kasar untuk menjauh dari tempat itu. Tubuh Alya di hempaskan dengan kasar ke sebuah dinding tak jauh dari tempat Dimas berada.

"Kenapa kamu menerima lamaran ini?" tanyanya dengan kasar bahkan dengan berani Zein menyentuh ujung dagu milik Alya. Ia tidak peduli jika suaranya terdengar oleh orang yang berada di dalam.

Perempuan itu kembali ketakutan. Ini kedua kalinya Zein berbuat kasar kepada dirinya. Apalagi posisi mereka berdua sangat dekat.

Dimas yang dari tadi menahan emosinya, melihat kelakuan majikannya hanya bisa mengepalkan tangan kanannya dengan erat. Namun, setelah ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika laki-laki itu sudah berani menyentuh wajah mantan kekasih, ia tidak bisa lagi menahan kesabarannya.

"Tidak baik berbuat kasar kepada perempuan!" ucap Dimas dengan nada tinggi. Tangannya menepuk punggung majikannya dengan sedikit keras. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia melakukan seperti ini.

"Berisik. Sopir tidak usah turut campur urusan majikannya!" gertak Zein sambil menggoyangkan bahunya agar tangan Dimas lepas dari bahunya.

Tamu yang di dalam sepertinya sedang terlibat pembicaraan yang menarik karena gelak tawa mereka dan tidak mendengar kejadian di depan rumah.

Tangan Zein sudah terlepas dari dagu Alya tetapi posisi mereka berdua masih dekat. Dimas langsung melangkah pergi menuju mobil Zein yang terparkir di depan. Ketika hendak masuk pandangan Dimas tertuju pada wanita paruh baya yang keluar dari ruang tamu. Dimas sedikit lega karena Zein akan mengakhiri aksinya berbuat kasar kepada Alya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro