PART 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Di satu sisi harus bertahan dan di sisi lain masih berharap. Meskipun bertahan sendirian itu menyakitkan~

'
'
'


Happy holiday dan happy reading, jangan lupa vote ⭐

Suasana bukit yang sunyi senyap karena sama sekali tidak ada yang melintas. Alya merasa sangat ketakutan mengingat tatapan tajam Zein terus mengarah dirinya. Perempuan itu hanya bisa memeluk tasnya dengan erat untuk mengurangi rasa takut.

Zein meraih pergelangan tangan Alya sebelah kanan dan mencengkeram erat. Telapak tangan yang masih luka ditambah cengkeraman erat di pergelangan tangannya terasa sakit sampai dalam hati.

Sekarang di bawah pohon besar, Zein melepaskan tangan Alya dengan kasar. Tatapan mata merah Zein masih tertuju pada Alya.

"Ken — kenapa kita kesini?" tanya Alya dengan gugup. Sebenarnya bukan kata ini yang pertama yang ingin diucapkan oleh Alya. Ia ingin menanyakan kenapa wajah Zein tampak berbeda tetapi sepertinya ia  mengurungkan pertanyaannya karena laki-laki itu sedang dikuasai emosinya.

"Banyak hal yang harus kita bicarakan. Salah satunya adalah batalkan acara lamaran besok!" ucap Zein dengan nada keras.

Alya terdiam dan menggeleng pelan.

"Aku tidak bisa," ucap Alya lirih sehingga membuat Zein merasa kaget dan emosi kembali lagi menguasai dirinya.

"KENAPA? KENAPA HAH?" teriak Zein sambil mengguncangkan bahu Alya dengan kasar. Tas yang dipegang Alya jatuh di atas rerumputan.

Alya terdiam bahkan sekarang menangis terisak. Ia tidak menyangka jika calon pilihan Ayah bisa sekasar ini terhadap dirinya.

"Al, satu harus kamu ingat," ucap Zein dingin dan datar. Sayang ucapan Zein seperti tak digubris karena perempuan itu masih terisak.

"AL DENGARKAN AKU!" pekik Zein lebih keras sehingga Alya pelan-pelan terangkat wajahnya. Kedua matanya memerah karena menangis.

Zein sedikit terkejut melihat kondisi Alya sekarang tetapi ia sudah berjanji jika dirinya tak boleh lemah melihat perempuan menangis.

"Aku adalah laki-laki kotor. Imanku lemah atau mungkin aku tak punya iman. Kamu perempuan sholehah Al, tak sepantasnya kamu menerima aku sebagai calon suami kamu!" Tangan Zein menunjuk persis ke arah Alya yang masih berlinang air mata.

"Asal kamu tahu Al. Aku tak pernah salat, bacaannya saja lupa. Aku juga seorang peminum berat bahkan juga sudah tidak perjaka lagi."

Kata terakhir yang Zein ucapkan membuat Alya sedikit tersentak kaget. Ia tidak menyangka jika calon suaminya seperti itu. Ia menggeleng lemah sambil berderaian air mata.

"Maksud kamu?" tanya Alya menatap tajam laki-laki di depannya.

"Aku sudah pernah tidur bersama Diana—kekasih aku."

Zein mengucapkan dua kata terakhir dengan sangat jelas bersamaan dengan guntur yang menggelegar di langit yang sudah gelap.

Alya jatuh terduduk, ia masih menangis bahkan isakannya sekarang terdengar jelas di telinga Zein.

Laki-laki itu tersenyum kecil. Usahanya berhasil karena telah membuat Alya semakin membencinya.

"Semua keputusan tetap ada sama kamu. Jika kamu tetap menerima aku mungkin kamu adalah perempuan bodoh yang pernah aku temui!" pekik Zein dengan ucapan yang tak pantas keluar dari seorang putra keluarga  terhormat.

Zein pergi sambil tersenyum karena dirinya merasa menang. Ia melangkah mendekati motor dan meninggalkan Alya seorang diri yang masih duduk terisak.

Mungkin Alya adalah orang yang paling lemah dalam situasi seperti ini. Memberontak pun percuma karena Ayah tetap menginginkan pernikahan terjadi.

Zein melajukan motornya dengan suara knalpot yang keras menuruni perbukitan belakang kampus. Hatinya merasa tenang karena telah meluapkan emosinya kepada perempuan sialan itu. Apa yang ia ucapkan tak sebanding dengan pukulan Ayah di wajahnya.

Sebuah siul keluar dari bibir Zein yang masih merah karena alergi. Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi.

Tiba-tiba ia menghentikan motornya perlahan. Entah kenapa hati nuraninya berkata lain.

"Bodoh, di sana kan tidak ada mobil yang melintas. Bagaimana dia bisa pulang?" Zein merutuki kebodohannya.

Ia kembali putar arah menuju bukit itu kembali. Hujan sudah turun sangat deras. Untuk menuju ke atas harus hati-hati mengingat jalan yang sangat licin.

Zein memarkir motor sembarangan. Ia langsung berlari menuju tempat terakhir saat ia meninggalkan Alya sendirian. Jantung laki-laki yang sudah basah kuyup sangat syok karena apa yang ia cari tidak ada. Ia berlari ke arah kanan dan kiri dengan jantung yang berdegup kencang.

"ALYA!" teriak Zein memanggil gadis itu sambil berlarian. Ia tak peduli jatuh bangun karena bolak-balik terpeleset karena tanah yang ia pijak sangat licin.

"ALYA!"

Zein sudah seperti orang gila karena tak menemukan apa yang ia cari. Ia merutuki diri sendiri karena telah berbuat seperti itu kepada Alya— calon istrinya.

Kaki sudah lelah untuk melangkah karena setiap kali berjalan selalu kembali pada titik dimana ia meninggalkan gadis itu.

"Zein."

Terdengar sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Seketika Zein langsung berdiri seperti mendapat kekuatan dari suara yang datang

"ALYA?" panggil Zein kembali karena suasana sangat sepi ia mendengarkan kembali suaranya sendiri.

"Zein aku di sini."

Laki-laki itu menoleh ke belakang. Ia mendapati Alya sedang duduk meringkuk karena kedinginan di bawah gubug kecil. Ia langsung berlari ke arah gadis itu.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Zein khawatir.

Alya hanya menggeleng lemah, bibirnya memutih karena kedinginan. Zein yang sudah basah kuyup duduk di pinggir gubug.

"Aku juga tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Sebelumnya aku juga sudah mempunyai rencana masa depan bersama seseorang. Apalah dayaku yang tak bisa menolak pernikahan ini terjadi. Jika kamu merasa paling kecewa, itu salah. Aku yang paling menderita atas semua ini."

Suara Alya terdengar datar, dingin pandangan terus menatap air hujan dan air mata yang sudah tak terbendung.

"Jawaban tetap ada sama kamu," jawab Zein merasa iba ternyata penderitaan perempuan itu dua kali lipat yang dialaminya. Ia menatap perempuan itu yang terlihat menyedihkan, tak sengaja ia melihat luka di telapak tangan Alya.

"Tangan kamu kenapa?" tanya Zein sambil melihat darah yang masih basah.

"Tadi saat jatuh depan kampus."

"Kita obati luka kamu sekarang!"

Zein sudah berdiri siap-siap mengeluarkan kunci motornya.

"Biarkan saja. Tak sebanding luka di hati yang aku alami," sahut Alya singkat.

Zein menelan ludahnya, ia tak menyangka jika perempuan ini tampak dewasa jika dalam kondisi seperti ini. Tidak seperti yang ia temui di kafe kemarin.

Keduanya kembali terdiam, menanti gerimis yang sebentar lagi reda sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan lagi bersama.


🌿🌿🌿🌿

Hari yang dinanti tiba, keluarga Zein sedang bersiap-siap memasukkan beberapa parsel yang akan diserahkan kepada pihak perempuan.

Zein memilih berada dalam mobil sendiri tak bersama kedua orang tuanya. Ia bersama Dimas yang akan membawanya ke rumah Alya. Selama perjalanan dua laki-laki itu hanya diam. Dimas yang masih bertanya-tanya tentang sosok calon pendamping majikannya. Sedangkan Zein masih memikirkan rencana untuk menggagalkan acara malam ini.

Dimas melajukan mobilnya mengikuti mobil Tuan besar yang sudah melaju di depan. Entah kenapa perasaan Dimas malam ini sudah merasa tidak enak. Apalagi saat mobil masuk ke sebuah gang, jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Gang yang ia masuki adalah tempat rumah Alya berada.

Pikirannya sudah tak menentu, pikiran-pikiran buruk sudah menghias otaknya. Seketika jantungnya berhenti berdetak saat mobil berhenti tepat di depan rumah Alya—kekasihnya.

Ia melihat rumah itu terbuka lebar dengan lampu yang terang benderang seakan menyambut tamu yang datang.

"Turun, bantu Mamah bawa parsel ke dalam rumah itu!" perintah Zein dengan sedikit gugup.

Mau tak mau Dimas mengumpulkan tenaga tersisa untuk turun dan membawa parsel lamaran yang ditujukan kepada perempuan itu tetapi bukan dari dirinya. Melainkan dari laki-laki yang menjadi majikannya.

Dimas berjalan menunduk di belakang rombongan. Entah kenapa ia kebagian membawa kotak perhiasan yang sengaja terbuka sehingga menampakkan beberapa perhiasan mahal yang akan diserahkan kepada Alya.

Dengan langkah gemetar, ia meletakkan perhiasan tersebut di atas meja tepat di depan perempuan yang tengah kaget melihat kehadirannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro