Dua Puluh Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


JAZLAN tidak tinggal lama di ruang perawatan Ara karena anak yang dijenguknya tertidur tidak lama setelah Ribka dan Nenek pergi. Ara sudah berusaha menahan kantuk karena ingin menanyakan apakah Jazlan pernah bertemu dinosaurus, tapi akhirnya dia tetap pulas sebelum Jazlan datang.

Sebelum pamit, Jazlan ngobrol sebentar dengan Khalid membahas tentang proyek hotel. Aku tidak ikut dalam percakapan itu dan memilih tetap berada di sisi tempat tidur Ara, jauh dari sofa tempat kedua lelaki itu bercakap-cakap. Aku baru bangkit setelah Jazlan minta diri. Aku lalu mengiringi langkah Jazlan keluar dari kamar Ara.

"Bagaimana Khalid tahu tentang Ara?" tanya Jazlan saat kami sudah berada di luar kamar.

Pertanyaan itu sangat wajar mengingat kesan yang kutampilkan pada Jazlan saat membicarakan keenggananku melibatkan Khalid dalam hidup Ara. Aku berdeham. "Saya yang kasih tahu dia, Mas. Saat masuk rumah sakit, Ara kehilangan lumayan banyak darah sehingga butuh transfusi. Karena Ara rhesus negatif, sulit menemukan donor untuknya. Saya nggak punya pilihan selain menghubungi Khalid karena golongan darah mereka sama."

"Dia pasti kaget saat tahu punya anak," ujar Jazlan.

Aku tidak menjawab. Kata-kata Jazlan adalah pernyataan, bukan pertanyaan. Aku juga tidak punya kapasitas untuk menanggapi kata-kata yang seharusnya dijawab Khalid, karena jawabanku hanyalah asumsi. Aku yakin Khalid kaget saat tahu tentang Ara, tapi serapa besar keterkejutan dan luapan emosi yang dirasakannya, aku tidak tahu persis.

"Tapi dia juga pasti senang dan merasa beruntung punya anak seperti Ara yang ceria dan cantik. Ara adalah putri impian semua ayah di dunia."

Aku tetap diam mendengar kalimat-kalimat lanjutan Jazlan. Aku yakin semua ibu di dunia senang mendengar pujian yang ditujukan pada anaknya, seperti yang baru dikemukan Jazlan, tapi sekali lagi, aku tidak bisa menjawab kata-kata yang sebenarnya tidak ditujukan padaku.

"Ara sudah tahu kalau Khalid ayahnya?"

Aku menggeleng. Itu pertanyaan yang bisa kujawab dengan pasti. "Belum."

"Tapi kalau situasinya sudah seperti ini, nggak mungkin terus disembunyikan, kan? Kalau aku jadi Khalid, aku pasti ingin hakku sebagai ayah segera dipulihkan."

"Kami harus menunggu kondisi Ara baik dulu." Kata "kami" itu terasa janggal di telingaku. Aku tidak pernah membayangkan akan mengasosiasikan diriku dan Khalid sebagai suatu kesatuan setelah berpisah. Suratan takdir ternyata bisa sekejam dan selucu itu.

"Anak kecil seperti Ara sangat mudah mengadopsi perubahan. Dia pasti senang ayahnya pulang. Ara pernah cerita kalau ayahnya kerja di Kutub untuk menyelamatkan pinguin." Jazlan menatapku. "Menurutku, kamu yang lebih sulit menerima perubahan itu kalau masih tetap nggak mau kembali bersama Khalid lagi."

"Kami nggak akan kembali bersama," jawabku cepat. "Kami sudah punya kehidupan masing-masing di tempat yang berbeda."

Usia perpisahan kami sudah cukup lama. Ara yang beranjak besar adalah bukti hidup yang bisa dijadikan sebagai patokan waktu. Meskipun Khalid mengaku belum menikah lagi, aku yakin dia pasti punya teman dekat wanita. Umur perceraian kami sudah lebih dari lima tahun. Waktu itu jauh lebih panjang daripada masa perkenalan, pertemanan, sampai pernikahan kami.

Laki-laki berbeda dengan perempuan dalam memaknai hidup setelah bercerai. Apalagi perempuan yang punya bawaan anak sepertiku. Aku tidak merasa butuh laki-laki lagi dalam hidupku. Aku tidak pintar menangani kegagalan sehingga lebih memilih menyerah menjalani hubungan baru. Sementara laki-laki terlahir sebagai penakluk. Mereka tidak menyukai kesendirian. Khalid memang bukan tipe patriarki yang membutuhkan perempuan untuk mengurus rumah tangga karena bisa melakukannya sendiri, tapi dia tetap memerlukan pasangan yang terhubung secara emosi dengannya. Seseorang yang menjadi teman berbagi.

"Terima kasih udah nengokin Ara ya, Mas." Aku memutus percakapan setelah sampai di depan lift.

Jazlan tersenyum tipis. "Kabarin kalau butuh bantuan apa pun ya, Sha."

Aku mengangguk, basa basi. Keadaanku sudah cukup rumit dengan kehadiran Khalid. Aku jelas tidak akan melibatkan Jazlan dan membuatnya merasa diberi harapan.

Saat kembali ke ruang rawat Ara, aku melihat Khalid sudah mengambil alih tempat dudukku di sisi ranjang Ara. Telapak tangannya yang lebar membungkus jari-jari mungil Ara. Aku lantas memilih duduk di sofa. Meskipun Khalid terlihat tenang dan tidak tampak seperti menahan kekesalan yang belum tuntas, suasana di antara kami masih terasa tegang. Atau mungkin aku saja yang merasa seperti itu.

Dering telepon membuat Khalid buru-buru melepaskan genggamannya dari tangan Ara. Dia lantas bergegas keluar kamar untuk menerima panggilan itu. Mungkin dia takut percakapannya akan membuat Ara terjaga, atau mungkin untuk menghindari aku menguping. Aku mendengus ketika pikiran itu melintas di benakku. Siapa juga yang mau menguping percakapannya? Aku tidak tertarik mengetahui kehidupan orang yang tidak ada hubungannya denganku.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk kembali menempati kursiku yang tadi diduduki Khalid. Rasanya seperti anak TK yang berebut tempat favorit, tapi itulah yang biasanya terjadi ketika keran komunikasi tersumbat sementara ego untuk menunjukkan diri sebagai orang yang merasa paling penting menuntut dipuaskan. Aku bicara tentang diriku yang merasa paling berhak atas Ara.

Khalid kembali dalam kamar sekitar lima menit kemudian.

"Sha, aku mau bicara," katanya.

Aku menoleh padanya. "Bicara saja, aku mendengarkan," sambutku acuh tak acuh.

Khalid mengurut dahi, tampak canggung. "Kamu bisa ke sini, kan? Biar nggak ganggu Ara. Kasihan kalau dia terbangun."

Aku tidak bisa menolak permintaan Khalid karena sadar bahwa apa yang dia katakan benar. Ibu macam apa yang mau mengorbankan waktu istirahat anaknya yang sedang sakit hanya untuk memuaskan ego? Aku lantas menyusul Khalid ke sofa dan mengambil tempat yang paling jauh dari dia. "Ada apa?" tanyaku tidak sabar.

Khalid berdeham. Dia menyugar. Aku familier dengan gerakan itu. Khalid menyusurkan jari-jarinya di rambut saat merasa tidak nyaman. "Tolong jangan marah ya, Sha. Aku tahu beberapa hari ini berat untuk kamu, dan aku kayaknya makin nempatin kamu dalam posisi nggak enak, padahal aku nggak berhak."

Aku menatapnya waswas. "Langsung aja, nggak usah mutar-mutar!" sentakku tak sabar. Aku bukan dirinya yang bisa mengontrol emosi di hampir semua situasi.

"Semalam aku menelepon Ibu untuk kasih tahu tentang Ara, dan Ibu ternyata sudah beli tiket untuk penerbangan besok siang. Aku sudah berusaha melarangnya karena merasa situasinya kurang cocok untuk berkunjung ke sini." Khalid menatapku lekat, berusaha meyakinkanku. "Tapi Ibu nggak bisa dilarang. Mungkin karena Ara adalah cucu pertama Ibu, jadi dia pengin banget ketemu langsung."

Aku menatap Khalid tidak percaya. Kemarahanku spontan terbit. "Seharusnya kamu tanya sama aku dulu sebelum membuat pengumuman tentang Ara ke seluruh dunia!"

"Aku hanya memberi tahu Ibu, Sha. Aku nggak bikin pengumuman ke seluruh dunia kalau aku punya anak, walaupun ingin melakukannya. Aku minta maaf karena nggak bisa meminta Ibu menunggu untuk ketemu Ara. Kalau kamu enggan berinteraksi sama Ibu, nggak apa-apa. Ibu pasti mengerti."

Aku melengos. Khalid bisa bicara seenak perutnya karena bukan dia yang berada di posisiku. Nenek tidak mendidikku untuk menjadi orang barbar yang tidak tahu sopan santun. Semua tamu harus disambut sebaik mungkin, siapa pun orangnya. Tidak mungkin mengabaikan ibu Khalid saat dia datang berkunjung.

Seandainya saja ibu Khalid seperti ibuku, kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Ibuku tidak merasa harus datang untuk menemaniku saat aku akan melahirkan, padahal Nenek terbang ke Australia saat Ibu melahirkan adikku dari pernikahan Ibu dengan suami bulenya. Bagi Ibu, hubungan telepon video sudah cukup untuk mengucapkan selamat.

"Aku akan membujuk Ibu supaya mau cepat pulang setelah bertemu Ara biar kamu nggak terganggu."

Aku mendelik menatap Khalid. "Kamu yakin bisa melakukannya? Bukannya kamu nggak pernah bilang "tidak" sama ibu kamu? Kalau ibu kamu minta kamu menuntut hak asuh atas Ara di pengadilan, kamu pasti akan melakukannya."

"Jangan berlebihan, Sha. Aku nggak mungkin memisahkan kamu dari Ara. Kamu ibunya. Kamu yang merasakan beratnya membawa Ara dalam kandungan saat kamu hamil. Kamu yang bertaruh nyawa melahirkannya. Gimanapun berengseknya aku di mata kamu, aku nggak akan melakukan itu. Ibu juga nggak mungkin meminta aku menjauhkan Ara dari kamu."

Aku mendengus, malas melanjutkan perdebatan. Berdebat dengan orang seperti Khalid sama saja dengan berusaha menyalakan pemantik api di dalam air. Bikin urat leher menegang sia-sia karena tidak mendapatkan perlawanan yang seimbang. Khalid tidak akan balas meneriakiku. Pertengkaran tidak memuaskan kalau hanya satu arah.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro