Dua Puluh Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARA akhirnya diizinkan pulang. Dia hanya perlu berobat jalan untuk perawatan luka dan ganti perban. Aku dibekali dengan berbagai petunjuk cara menjaga supaya luka Ara tetap kering untuk mempercepat proses penyembuhan.

"Nggak usah repot-repot bolak-balik ke rumah sakit untuk ganti perban dan perawatan luka," kata Ribka setelah perawat yang merawat luka Ara menghilang di balik pintu. "Nanti aku minta tolong sama dokter keluargaku untuk nugasin perawatnya ke rumah kalian. Mereka melayani home care juga kok. Daripada antre di rumah sakit, mending Ara dirawat di rumah. Lebih nyaman untuk Ara juga."

Aku sudah sering mendengar tentang home care, tapi belum pernah memanfaatkan layanan itu.

"Kasih nomornya aja, biar aku yang hubungin." Aku tidak mau merepotkan Ribka. Selama berteman dengannya, aku terkesan memanfaatkannya. Kalau dia yang menghubungi layanan home care, sudah pasti dia juga yang akan membayarnya.

Ribka mendelik padaku. "Aku ikut ngurus Ara sejak dia bayi. Dia itu udah kayak anakku sendiri juga. Aku hanya nggak ikut proses bikin, hamil, dan melahirkan dia aja. Kenapa harus hitung-hitungan gitu sih? Memangnya ada orangtua yang mengitung berapa uang yang harus mereka keluarkan untuk anaknya?"

Aku tersenyum kecut. Ribka berpikir seperti itu karena orangtuanya adalah konglomerat. Aku adalah korban hitung-hitungan orangtua. Aku tidak akan "diusir" dari rumah ayahku kalau dia tidak hitung-hitungan dengan biaya hidupku.

"Mbak Ribka kasih nomornya ke saya saja," kata Khalid yang ternyata ikut mendengarkan percakapan kami. Kemarin sore, dokter yang memeriksa Ara mengatakan jika Ara sudah bisa pulang pagi ini setelah perawatan luka, sehingga Khalid bertahan di rumah sakit, tidak pulang mandi seperti kemarin.

"Aku juga nggak punya nomor perawatnya," gerutu Ribka yang tampaknya merasa sebal karena aku berhitung tentang biaya perawatan Ara dengannya. "Kan harus aku tanyakan sama dokternya dulu."

Khalid menolak tawaran kursi roda dari perawat. Dia lebih memilih menggendong Ara saat kami keluar dari ruang perawatan untuk turun ke tempat parkir. Ara yang memang suka jadi pusat perhatian senang-senang saja.

Aku memilih berjalan di belakang Khalid dan Ara. Ribka mengiringi di sisiku. Pagi ini Nenek tidak datang ke rumah sakit. Aku yang melarang karena Ara toh akan pulang juga. Sebugar apa pun Nenek, usianya sudah senja. Staminanya sudah sangat menurun. Bolak-balik ke rumah sakit bisa membuatnya kelelahan.

"Khalid kayaknya sayang banget sama Ara," bisik Ribka. Dia menahan lenganku dan memberi isyarat supaya kami berjalan lebih pelan untuk menciptakan jarak dengan Khalid dan Ara. "Aku jadi ingat foto Chris Hemsworth yang lagi gendong anak perempuannya. Vibe-nya mirip banget."

Aku berdecak sambil memutar bola mata. Dasar seniman! Semua hal didramatisir dan dilihat dengan nuansa sentimental.

"Kalau dia beneran nggak selingkuh dan kamu aja yang batu karena membuat keputusan berdasarkan cemburu yang membabi buta, kamu akan menyesal karena sudah merusak kesempatannya untuk mengenal dan ikut membesarkan Ara."

"Kamu sebenarnya temanku atau cheerleader-nya Khalid sih?" gumamku sebal.

"Aku tim netral yang membela kepentingan pihak yang benar, Sha. Aku sudah berdiri di sampingmu sejak awal karena aku hanya mendengar kisah versi kamu yang kesannya lebih tersakiti daripada sinetron produksi televisi ikan terbang. Tapi setelah melihat Khalid dan caranya memperlakukan kamu dan Ara, aku jadi bimbang."

"Dasar nggak setia kawan!"

"Kata siapa, buk?" bantah Ribka cepat. "Kawan yang baik itu adalah kawan yang bisa kasih perspektif yang mungkin aja dilewatkan oleh temannya yang bertindak impulsif karena dibakar cemburu. Aku beneran baru ngeh kalau kekuatan cemburu itu luar biasa dasyatnya. Nggak hanya bisa bikin kepala terbakar, tapi juga bisa bikin rumah tangga jadi abu."

Aku malas meladeni Ribka, jadi memilih mempercepat langkah untuk merapatkan jarak dengan Khalid dan Ara.

**

Saat turun mengambil air minum untuk Ara, aku melihat Khalid duduk di depan meja makan. Aku pikir dia sudah pulang ke kontrakannya karena Nenek yang tadi ikut turun bersama Khalid setelah mengantar Ara ke kamarnya sudah kembali untuk menemani Ara.

Tadinya, aku pikir, semakin sering melihatnya, aku akan sebal pada Khalid. Tapi ternyata tidak begitu. Mungkin karena alam bawah sadarku menyadari jika melakukan perang urat saraf pada Khalid hanya akan membuatku senewen sendiri karena tidak akan medapat perlawanan. Mungkin karena aku terpengaruh melihat kedekatan yang berusaha dibangun Khalid dengan Ara. Atau mungkin karena, meskipun tidak ingin kuakui, ada sedikit rasa bersalah yang menggangguku sebab sudah merahasiakan keberadaan Ara. Seharusnya, semarah apa pun pada Khalid, aku tidak boleh menyembunyikan rahasia sebesar itu.

"Kamu belum pulang?" Aku mendahului berbasa basi.

"Beberapa jam lagi, Ibu akan tiba di Surabaya," jawaban Khalid melenceng dari pertanyaanku. "Menurutku, sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Ara kalau aku adalah ayahnya. Ara akan bingung saat ketemu Ibu kalau nggak disiapkan. Ibu orang yang ekspresif. Dia pasti akan emosional banget begitu lihat Ara secara langsung."

Aku terdiam. Khalid benar tentang ibunya yang ekspresif. Sifat ibunya dan Khalid seperti bumi dan langit. Ibu Khalid adalah tipe orang yang bisa mengadakan perjamuan tujuh hari tujuh malam tanpa kehabisan energi. Sekarang, setelah teringat padanya, aku menyadari bahwa sifat Ara jauh lebih mirip dengan ibu Khalid daripada Nenek. Aku bisa membayangkan ibu Khalid menangis histeris saat melihat Ara yang mirip dengan Khalid.

Aku mendesah pasrah. Aku juga tidak mau Ara syok saat bertemu dengan ibu Khalid yang tidak bisa menahan diri, yang meraung-raung minta dipanggil nenek.

"Oke, kita kasih tahu Ara sekarang."

"Kamu setuju?" Khalid seperti mengantisipasi menolakan sehingga tampak terkejut ketika aku langsung mengiakan permintaannya.

Aku nyaris memutar bola mata. "Memangnya aku punya pilihan?"

"Maaf, Sha. Seandainya aku di Jakarta, aku pasti bisa membujuk Ibu untuk mengurungkan niat bertemu Ara sekarang. Tapi aku nggak bisa melakukan apa-apa karena sedang berada di sini."

"Pasti," sindirku sarkastis. "Kamu memang selalu bisa memenangkan perdebatan dengan ibumu." Ternyata aku belum setenang yang kukira karena langsung menyambar umpan untuk memojokkan Khalid saat mendapat kesempatan. "Kita ke kamar Ara sebelum dia tidur." Aku mendahului Khalid naik tangga.

Ara masih berada pada posisi telentang yang sama seperti saat aku tinggalkan tadi. Nenek duduk di sisi tempat tidur. Ketika pandangan kami bertemu, Nenek langsung bisa membaca pikiranku sehingga dia bergeser menuju kursi belajar Ara dan duduk manis menjadi pengawas..

Aku menggantikan Nenek duduk di sisi kepala Ara, sedangkan Khalid mengambil tempat di bagian ujung kaki Ara. Aku menghela napas panjang. Kini aku berada di fase hidup yang aku pikir tidak akan pernah aku jalani. Memberi tahu Ara bahwa laki-laki yang dikenalnya sebagai teman Tante Ribka adalah ayah kandungnya.

"Sayang, Mommy bilang sesuatu sama Ara." Aku mengusap rambut Ara yang menatapku dengan mata besarnya yang jernih. Aku berdeham. "Tentang Om Khalid." Aku sengaja tidak menoleh pada Khalid saat menyebut namanya.

"Om Khalid bisa sulap?" tanya Ara bersemangat. "Kalau gitu, nanti Om Khalid aja yang jadi tukang sulap kalau aku ulang tahun, jadi kita nggak usah minta tolong sama papanya Nisa. Kata Mommy nggak boleh ngerepotin orang, kan? Nanti kita beli kertas yang banyak biar disulap jadi uang sama Om Khalid. Terus uangnya nanti aku bagiin sama teman-temanku biar mereka bisa beli es krim yang banyak dan main lama-lama di Timezone. Wah, Om Khalid keren deh!" sorot mata Ara memancarkan kekaguman saat menatap Khalid.

Aku mengusap dahi. "Ini bukan soal sulap, Sayang." Aku memotong antuasiasme Ara yang luber dengan langsung menyampaikan informasi pentingnya dalam satu tarikan napas sebelum kembali dipotong Ara. "Om Khalid itu papa Ara, Sayang."

Ara menyipitkan mata, menatapku tidak percaya. "Papaku yang di Kutub?"

Aku mengangguk. "Iya, papa Ara yang kerja di Kutub. Sekarang udah pulang karena kerjanya di sana udah selesai."

Ara beralih pada Khalid. "Kenapa waktu kita ketemuan tempo hari Om nggak bilang kalau Om itu papaku yang kerjanya di Kutub?" tanyanya protes.

Khalid bergeser mendekat. Dia meraih dan menggenggam tangan kecil Ara. "Waktu itu, Om, eh... maksudku Papa nggak berani bilang karena takut Ara marah. Soalnya Papa pergi kerjanya di Kutub lama banget." Dengan cepat dia menyesuaikan narasi dengan apa yang ditangkapnya dari kata-kataku dan Ara. "Maafkan Papa ya?"

Ara tidak langsung menjawab. Dia balik bertanya dengan raut cemberut. "Nanti mau balik ke Kutub lagi?"

Khalid menggeleng cepat. "Papa nggak akan balik ke Kutub lagi, Sayang."

"Terus, kalau pinguin di sana ada yang sakit gimana?"

Khalid menggaruk kepala. "Eh... itu... maksud Papa, di sana udah ada orang yang gantiin Papa. Jadi pinguinnya akan baik-baik aja."

"Tapi kasian anak orang itu. Dia akan pisah lama banget sama papanya. Terus nggak bisa telepon karena di Kutub nggak ada sinyal."

"Orang itu belum punya anak kok, Sayang." Khalid menenangkan Ara yang prihatin anak pekerja Kutub itu akan mengalami nasib yang sama dengannya. Ditinggalkan ayahnya dalam waktu yang lama.

Ara lantas tersenyum menatap Khalid. "Papa bisa sulap, kan?"

Aku nyaris memutar bola mata mendengar kalimat yang familier itu.

"Papa nggak bisa sulap." Khalid terdengar menyesal. "Tapi Papa bisa belajar kok."

"Nanti aku tanyain Nisa ya. Mungkin aja papanya mau ngajarin Papa sulap. Tapi, besok aku belum bisa sekolah, jadi belum bisa ngomong sama Nisa. Papa sabar ya. Kalau Papa pintar, pasti bisa cepat kok belajarnya. Papa pintar, kan?"

Tugasku sudah selesai. Aku memilih menyingkir dari kamar Ara sebelum terpancing untuk mengeluarkan komentar yang tidak perlu.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro