Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Phil biasa berjalan malam-malam, tetapi kali ini dia duduk di kursinya di dalam kamar, memainkan smartphone-nya yang bercahaya lebih terang dibanding lampu di langit-langit. Terbebas dari alat bantu dengar, Phil membiarkan segala bunyi mengalir keluar dan masuk. Telinga tulinya itu mirip antena radio, menangkap sinyal dari belantara. Bunyi tumit Pramista yang bergeser di atas lantai. Bunyi pintu kayu yang berderak memuai. Bunyi rantai gerendel yang beradu, bunyi degup jantungnya sendiri,dari cepat kemudian melambat. Phil melarungkan bunyi-bunyi itu ke laut lepas, tak usah ditambat.

Phil tak pernah bercerita kepada Pramista tentang kemampuan khususnya itu. Menurutnya, itu setimpal karena Pramista juga punya hal yang tak pernah dibicarakannya. Keluarganya. Mau bercerita atau tidak, itu hak Pramista. Bisa jadi dia tak punya istri maupun anak. Umurnya mendekati jompo, mungkin orangtuanya sendiri sudah meninggal, itu yang terpikirkan oleh Phil. Phil hanya tahu Pramista asli Jepara, merantau ke Yogya puluhan tahun silam. Phil kadang bertanya-tanya, itukah alasan mengapa Pramista menawarinya pekerjaan? Kasihankah yang dirasa Pramista ketika berjumpa seorang perantau bertampang nelangsa dalam kereta, yang cuma punya sebuah dompet, smartphone, dan koper?

Semua bule pasti berkantong tebal, itu anggapan orang-orang begitu mereka melihat sosok Phil. Mereka pikir bule-bule datang ke Indonesia cuma untuk foya-foya atau menikmati kehidupan dengan harga murah. Ingin dia berkata, jatuh miskin bisa terjadi kepada siapa saja. Nasib sial bisa dijumpai di setiap persimpangan dan tikungan dan jika sedang sangat tidak beruntung, menimpa juga di eskalator. Dia memijat kepalanya yang pernah menghantam lantai. Itu sebabnya selalu ada saja orang-orang seperti Imar, pikirnya.

Dia bukanlah orang yang bisa tertidur cepat. Di sela-sela bunyi berkerisik di telinganya, dia dapat mendengar bunyi pintu kamar Pramista menutup, juga bunyi sarung ditanggalkan sehingga dia tahu Pramista tidur hanya mengenakan sempaknya. Pasti cuaca panas itu yang jadi sebab padahal Desember kian dekat. Namun, di mana-mana sama saja sekarang, panas sepanjang tahun dengan hujan yang segan. Perubahan iklim sudah mengakut.

Bunyi lain menyeruak, lebih tajam, datangnya dari sudut kamarnya. Segera dia terbangun dan menyeberang, tiga langkah saja karena kamarnya kecil. Di sisi mejanya, di lantai, ada sebuah sangkar. Di dalamnya, seekor gelatik meloncat-loncat di tenggerannya yang berupa setangkai dahan.

Phil memasukkan segenggam beras ke tempat makan si gelatik. Burung berkepala hitam itu kemudian diam, tidak meloncat-loncat lagi, tetapi juga tidak menyambut makanannya.

Phil sendiri yang mengambil gelatik itu dari rumah Imar. Dia terkejut ketika melewati rumah itu suatu hari dan mendapati si gelatik berada di teras dalam sangkarnya, ribut sendiri. Pikirnya, biar dia yang merawat untuk sementara, sampai Imar ditemukan. Dia tidak mengira akhirnya dia harus menanggung gelatik itu seterusnya. Mulanya, dia gantungkan sangkar itu pada sebuah balok kayu di depan rumah. Rupanya ide buruk karena rumah Pramista yang berjendela jarang menyulitkannya untuk tetap mengawasi si gelatik setiap waktu. Apalagi dia sepanjang hari berada di toko, sementara Pramista setengah hati saja membantu. Karena itu akhirnya dia letakkan saja si gelatik di kamarnya. Paling tidak, di situ ada jendela sehingga si gelatik kedapatan cahaya saat siang. Bukan lantas segalanya beres karena tahi si gelatik membuat kamarnya sering bau.

Lebih mudah apabila tulinya Phil diganti dengan anosmia.

Si gelatik membuat ingatan Phil tentang Imar mengental kembali. Jauh sebelum jamuan makan malam itu, dia menyambangi rumah Imar. Sekadar ingin tahu, berkali-kali itu yang dia yakini. Sekadar ingin tahu, tidak lebih.

Waktu itu, dia berada di ruang makan. Di sebuah kursi dia duduk, di sisi meja bundar. Hawa panas minyak goreng menyekap. Imar baru saja selesai menggoreng kacang tanah, yang kemudian dimasukkan ke stoples kaca, yang diletakkan di atas meja di dekatnya. Belum dapat ditutup karena kacang-kacangnya masih beruap.

Imar mencuci peralatan masak, Phil menunggu. Ruangan masih berbau minyak jelantah, lengket dan gerah. Uap penggorengan yang tersisa sedikit-sedikit tersedot keluar melalui jendela berterali silang. Mata cokelat Phil tak berkedip memandangi ubin, lalu jemarinya, lalu kembali ke ubin. Dia berandai-andai punya rumah sendiri suatu hari nanti. Mungkin di perbukitan, yang lebih dingin.

Phil tidak meminta, tetapi Imar membuatkan kopi dalam dua cangkir berwarna jingga dan kuning. Riang wajahnya ketika memindahkan cangkir-cangkir itu dari nampan ke atas meja. Bu Imar, begitu Phil selalu memanggilnya. Pernah dia berterus terang menuturkan pendapatnya, bahwa Imar tak ada pantas-pantasnya menjadi seorang peramal. Imar lantas bertanya seperti apa seorang peramal semestinya. Phil menjawab, di negaranya peramal adalah orang-orang yang bekerja di pasar-pasar malam atau festival, duduk di dalam tenda dan meraba bola kristal. Jika peramal itu seorang perempuan muda, dia mengenakan pakaian seksi. Jika tua, dia akan diberi hidung palsu yang bengkok. Mendengar penuturannya itu, Imar tertawa.

"Mau apa kamu ke sini, Phil?" tanya Imar. Telapak tangannya masih basah sehabis mencuci.

Phil bingung mendengar pertanyaan itu. "Aku mau minta diramal," jawabnya.

Imar lantas menggeleng. "Maksudku bukan begitu. Maksudku, kamu mau apa datang ke Indonesia ini? Kan lebih enak di negara sendiri, rumah sendiri."

Phil tertawa kecil. "Aku ..., waktu itu aku ...."

"Kamu sedang kabur, toh? Menghindari masalah?" sambung Imar. Dia mulai membuka kotak penyimpanan kartu-kartunya. Kartu-kartu berukuran besar, berbeda dengan kartu remi yang gampang dikocok.

Karena itu ketika Phil harus mengocoknya, dia memilih menyebar kartu-kartu itu di atas meja dan mulai mengacak dengan kedua tangannya. Imar memintanya berkonsentrasi saat melakukan itu, maka dia mencoba. Dia memikirkan dirinya yang dulu, lalu dirinya yang sekarang. Dia memikirkan bos tempat kursus bahasa itu, lalu Pramista, tentang Brisbane, tentang kehidupan yang dia tinggalkan.

Tepatnya, masalah yang dia tinggalkan.

Kartu itu dia satukan kembali dalam tumpukan tertutup, lalu dia kembalikan ke tangan Imar. "Kalau Ibu membaca ada yang buruk-buruk, aku ingin tahu apa itu. Jadi, Ibu katakan saja semua, tapi belum tentu juga aku akan percaya."

Imar tertawa lagi, mungkin mentertawai aksen Phil. "Oke," desahnya, menerima kartu dari Phil dan mulai membaginya menjadi tiga. Dari tiga tumpukan itu, dia menarik masing-masing satu, lalu menjajarkannya. Ketiga kartu itu telungkup.

"Aku pernah lihat ada Tarot yang gambarnya wayang," Phil berkomentar.

"Tenane?" sahut Imar. Yang benar?

Phil tersenyum. Ya, benar. "Ada di toko buku," tambahnya. "Di dekat Mal Galeria."

Imar menatapnya. "Jangan sering-sering keluyuran ke pusat kota. Nanti kamu ketangkep polisi!" katanya. Dia mengacungkan telunjuknya ke muka Phil. "Hati-hati!"

Phil terdiam. "Ibu tahu tentang itu?" tanyanya.

Imar menatapnya cermat. "Kamu itu bule, tinggal di Bantul, kerja sama Pak Pramista lagi. Pak Pramista itu kan bukan pedagang yang sukses-sukses amat. Kalau bukan karena ada masalah, kamu pasti enggak di sini. Benar, enggak? Kamu sedang sembunyi!"

"Ibu peramal, tapi kayak detektif," ujar Phil.

"Ya dua itu kan mirip, toh?" Imar mengibaskan tangannya.

Ketiga kartu masih telungkup di atas meja. Imar meraba satu per satu. Dari punggung kartu satu ke punggung kartu lainnya.

"Mudah-mudahan aku enggak dapat kartu Death. Kematian," Phil mencoba melucu.

"Aku bukan peramal tukang cari sensasi, Phil. Aku peramal betulan," sahut Imar. "Aku bukan tipe yang nakut-nakutin orang pakai kartu Kematian. Kematian itu berarti lahir kembali. Meninggalkan kehidupan yang lama, memulai yang baru. Itu pertanda bagus."

Imar membuka satu kartu dan terlihat di sana gambar seorang lelaki yang dipasung sungsang pada sebuah dinding batu. Ada judul di atas kartu itu. The Hanged Man.

"The Hanged Man. Lelaki yang Terbalik." Imar menunjukkan seutas seringai samar. "Benar yang kutakutkan. Ini lebih berbahaya dari Kematian, Phil. Lelaki yang Terbalik artinya kamu ada dalam posisi yang enggak bisa ke mana-mana. Diam di tempat. Terjebak."

Selanjutnya, Imar pun membuka kedua kartu yang lain. "Kamu itu masih kepengin pulang ke Australia, toh, Phil," ucap Imar.

Phil hendak merespons, tetapi kemudian Imar berbicara lagi, "Kamu menyesal datang ke sini, toh." Dia menunduk di atas kartu-kartu itu. "Tadinya, kamu pikir bisa melakukan segala hal, tapi nyatanya enggak seperti itu. Sayang, ya, padahal banyak hal baik yang kamu tinggalkan di Australia. Yang buruk banyak, aku lihat, tapi ada juga yang baik-baik di sana."

Tidak ada yang baik di sana, Phil membatin.

"Tapi, kamu sudah telanjur di sini, itu yang harus dipikirkan," sambung Imar. "Aku tahu kamu kepengin berhenti kerja sama Pak Pramista. Kenapa? Gajinya enggak cukup? Padahal Pak Pramista baik ke kamu lho, Phil, buktinya dia enggak melaporkan kamu ke polisi soal kerjaan lamamu atau soal status kamu di sini." Pada titik itu, Imar sudah seperti berbicara dengan diri sendiri sehingga Phil tidak punya celah untuk berkomentar.

"Kamu suka anak-anak, Phil?" Imar tiba-tiba bertanya. "Pernah kerja yang ada hubungannya dengan anak-anak?"

Imar tahu tentang tempat kursus itu. Phil telah tepergok.

"Pernah," ujar Phil kemudian, setelah keduanya membisu. Dan, keduanya membisu lagi untuk waktu yang lama. Imar menunggu, atau mungkin dia sedang merenungi kartu-kartu itu.

"Aku pernah jadi guru kursus," Phil mengaku kemudian.

"Tapi, kamu bukan guru, Phil. Kalau kamu guru, enggak bakal kamu susah begini cari kerja di Indonesia. Jadi native speaker bahasa Inggris, itu pasti banyak yang mau mempekerjakan." Kemudian, Imar menambahkan dengan berseloroh, "Apalagi tampangmu itu potensi digaji gede, beda sama kami-kami yang tampangnya ndeso ini!"

"Aku memang bukan guru. Dulu, aku bartender di Brisbane," Phil mengaku untuk kedua kalinya.

"Nah! Aku sudah tahu itu, Phil," kata Imar. "Tahu aku."

Phil juga tahu, Imar bisa jadi hanya menebak-nebak berdasarkan pengakuannya dan mencocok-cocokkan dengan kartu-kartunya. Dia mengawasi perempuan tua itu, yang kembali menunduk. Phil merasa tidak butuh mendengar apa-apa lagi, tetapi rasa penasaran itu melanda. Ingin dia tahu sejauh mana Imar bisa bicara tentangnya.

"Kamu mau jadi guru kursus itu karena suka berada dekat anak-anak? Bahaya, lho, Phil, kalau kelewat suka sama anak-anak," sekonyong-konyong, Imar bicara lagi. Lebih tegas kali ini, seperti memperingatkan. Lehernya dia panjangkan ke arah Phil. "Aku bilang begini soalnya aku tahu. Aku tahu, Phil."

Perkataan Imar itu membuat rahang Phil seketika menegang. Teringat lagi olehnya mengenai Brisbane, mengenai surat-menyurat elektronik dengan kawannya si pemilik tempat kursus palsu itu, kemudian anak-anak gadis yang dilihatnya di luar bar tempat dia bekerja. Dia hampir bisa mencium wangi rambut mereka, juga aroma hujan deras yang membasuh mukanya. Dia mencium semerbak di leher mereka.

Lalu, terjadilah hal itu. Ruang makan Imar yang nyaman tahu-tahu berubah menjadi ruang gelap yang sunyi tanpa celah. Lampu menggantung diam di tengah-tengah plafon. Dinding-dinding bersuara, digelayuti sosok-sosok yang tumpang tindih menyerupai lautan hitam. Phil bermimpi pada siang bolong. Atau barangkali itu ingatannya yang menyerbu ke dalam kenyataan, mendesak untuk dibebaskan, meronta-ronta. Ingatan yang berbahaya.

"Ada perempuan."

"Apa?" Phil meneguk ludahnya. Bibirnya kelu. Dia cemas Imar melihat wajahnya memutih dari seberang meja.

"Ada perempuan," ulang Imar. Jarinya mengambang, menunjuk permukaan meja. Satu kartu lagi rupanya telah dia buka. Kali ini bergambar seorang perempuan bergaun putih, berambut panjang, dengan mahkota di kepalanya. Dia berdiri di antara dua pilar. Karangan bunga di satu tangan, buah berwarna jingga di tangannya yang lain.

"The High Priestess. Pendeta Tinggi," Imar membaca nama kartu itu. "Ini berarti kamu perlu mempertajam sisi intuitif kamu, Phil. Bisa juga artinya ada perempuan masuk ke kehidupan kamu. Perempuan ini bikin kamu melihat diri kamu yang sebenarnya."

"Aku jarang beruntung kalau menyangkut perempuan." Phil tertawa gugup.

Senyum belum pergi dari wajah Imar. "Kayaknya memang begitu, Phil. Kehadiran seorang perempuan dalam hidup kamu yang aku lihat di kartu ini bukan tentang percintaan, bisa jadi malah bawa petaka. Jadi aku ingatkan, hati-hati!"

Phil membalas dengan tawa kecil, sementara bebatuan besar seolah sedang bertubi menghantam dasar kerongkongannya. Jemari Imar bergerak membuka kartu ketiga. Kali ini gambar sebuah menara yang tampak, kokoh berdiri di sebuah pulau di tengah laut. Seorang lelaki bermahkota menyembul dari permukaan air. Tombak di tangannya, seperti hendak menyerang menara itu.

Imar berkata, "The Tower. Menara."

"Ini Poseidon?" Dengan gugup, Phil menunjuk sosok lelaki berekor ikan. Seperti perempuan di kartu satunya, lelaki itu punya mahkota di kepala; tangannya mengacungkan sebilah tombak.

"Enggak tahu aku. Kayaknya iya. Tapi, di kartu ini, bukan orang ini yang menggambarkan kamu." Imar mengetukkan telunjuknya pada gambar menara. "Menara ini adalah kamu. Menara yang mulai runtuh pertahanannya."

Jadi, itulah arti dari kartu tersebut. Phil ambyar di atas kursinya. Sebuah menara di ambang keruntuhan. Dialah menara yang sedang lungsur itu, dia pula yang diserang makhluk berekor ikan itu.

"Menurutku kamu sudah enggak bisa balik ke Brisbane," lanjut Imar. "Sudah terlambat! Di sini tempatmu sekarang, Phil, enggak ada yang lain lagi. Tapi, waspada kamu! Kesialan masih mengintai!"

Phil terbatuk. Imar mengangsurkan salah satu cangkir kopi ke sikunya, tetapi dia menolak. "Maksud Ibu ..., apa sial dalam pekerjaan yang sekarang, begitu?"

"Sial itu kan bisa macam-macam, Phil. Soal cinta juga kita bisa sial. Soal romansa, soal seks," tutur Imar. "Jangan terlalu dipikir, Phil. Kesialan itu kan seperti kematian, niscaya terjadi! Siapa saja pasti ada waktunya nanti kena sial. Jangan dipikir sampai mumet, tapi ya harus tetap waspada."

Itu bukanlah hal yang bisa ditertawakan, setidaknya bagi Phil, walaupun Imar telah berbaik hati menawar pahit dengan senyumnya yang rekah itu.

Tiba-tiba, perempuan tua itu bertanya, "Kamu suka laut, enggak, Phil?"

Phil terkejut dengan pertanyaan yang begitu biasa. "Suka, Bu Imar. Kenapa Ibu bertanya?"

Imar mengangkat bahu. "Enggak ada alasan apa-apa," dan dia mulai tersenyum-senyum lagi.

Gelagat Imar itu membuat Phil jengah, akhirnya. Katanya, "Jadi, aku enggak bisa kembali ke Australia, tapi di sini pun aku nanti kena sial lagi?"

Imar mengangguk. "Tapi, umurmu masih panjang," katanya.

"Umur panjang dan nasib sial itu bukan teman baik," sahut Phil.

"Lah, apa kamu mau aku bilang umurmu pendek dan nasibmu sial?"

"Enggak juga, Bu Imar," ujar Phil. Kemudian, lanjutnya, "Ada satu lagi yang mau aku tanyakan, Bu Imar. Tiga kartu ini menunjukkan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ibu belum kasih tahu aku, kartu mana menunjukkan masa yang mana."

Imar tersenyum kesenangan mendengar itu. "Aku sendiri ya kadang-kadang enggak tahu, Phil."

Dan, begitu sudah. Setelahnya, seratus lima puluh riburupiah keluar dari dompet Phil.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro