Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DJAGO sudah usang plangnya. Kata itu, dicetak miring berwarna hitam, satu aksaranya sudah nyaris luruh, yaitu "A", sehingga tempat itu terkesan seperti kelab malam karena terbaca DJ GO. Phil berkali-kali memberitahukan hal ini kepada Pramista, supaya papan itu diganti dengan yang baru. Seperti biasa, Pramista berkata, "Yang begitu-begitu enggak penting," seolah dia memang bebal, ingin selamanya tinggal di era lima puluhan.

Phil duduk di belakang etalase, membaca sebuah majalah yang dibelinya dari seorang pengasong. Majalah untuk anak-anak, setengahnya berisi komik. Siang itu, dia mengenakan sehelai kaus tipis berwarna putih. Peluh merembes pada kaus itu seluruhnya, seperti pipa bocor pada dinding. Di luar, terparkir minivan yang semalam, sudah diganti bannya. Pagi tadi, dia mendapati minivan itu sudah beres, hasil kerja Pramista sedari subuh.

Toko milik Pramista itu tidak pernah mengecap masa kejayaan, tidak pula masa surut. Toko itu bertahan, itu saja, seperti banyaknya toko lama di Pasar Beringharjo itu. Orang-orang bisa menemui toko yang hampir identik di situ, menjual barang-barang suvenir yang sama, membuat yang jualan ikutan bosan. Phil tahu pekerjaannya itu mengarah kepada gang buntu, tidak akan membawanya ke mana-mana. Dia seorang diri merangkap kurir, pelayan, penyelia, dan manajer toko.

Phil pernah mendengar cerita dari seorang nenek penjual pecel keliling suatu hari, bahwa DJAGO itu warisan buyutnya Pramista, telah menjadi milik keluarga sejak pasar masih berupa kayu dan terpal, sejak para pembelanja masih wara-wiri mengenakan kain dan konde, blangkon dan selop. Dulunya, peralatan dapurlah yang dijual di situ; bangsanya anglo, cowek, kendi. Nenek itu bilang dia mengenal ayah Pramista, yang merupakan generasi ketiga DJAGO. Nenek itu merasa sedang bernostalgia setiap kali duduk di depan toko dan melihat tumpukan kendi di sudut kaca depan. Phil katakan kepadanya, kendi-kendi itu sedikit yang beli. Si nenek berkata lagi, "Mau banyak atau sedikit mesti kowe syukuri. Daripada aku! Enggak ada yang mau beli pecelku!"

Kalau sudah begitu, Phil akan terdorong simpatinya, lantas membeli pecel dalam daun pisang, juga kerupuk kuning penyertanya. Pecel siang itu belum tersentuh oleh Phil, masih terbungkus kantong plastik di ujung etalase. Phil belum terbiasa dengan makanan Indonesia, dengan bumbu-bumbu yang tajam menusuk, kadang terlalu pedas sampai membuatnya pusing berkunang-kunang.

Selesai juga majalah itu dibacanya. Sudah pukul sebelas. Dia mengetuk-ngetukkan kuku-kukunya ke etalase. Tak ada yang masuk toko sejak pagi. Mungkin nanti, selepas jam makan siang. Dia menjelajah setiap rak di dalam toko karena kekurangan ide harus berbuat apa. Barang-barang dia cermati, padahal sudah dua kali dia melakukannya. Gantungan kunci bergambar Candi Prambanan, sandal bercorak batik, tas anyaman, topi anyaman, pin I Love Yogya, satu set congklak berkualitas rendah yang kayunya kopong, berpasang-pasang patung kayu loro blonyo, gayung-gayung dari batok kelapa.

Betul, toko itu menjadi ramai ketika orang-orang sudah kenyang. Kebanyakan memang turis asing. Hampir mustahil masyarakat lokal datang untuk membeli patung loro blonyo. Mungkin mereka tahu mana barang suvenir mana barang seni, atau barangkali mereka sendiri sudah jemu melihat barang-barang yang kejawa-jawaan semacam itu.

Phil ingin makan siang, tetapi tak mau makan pecel lagi. Sudah lima kali minggu ini. Dia merindukan burger di Riverbar & Kitchen, tempat dia dulu biasa makan siang di Brisbane. Liurnya hampir bisa mengecap daging dengan saus mangga kesukaannya. Tentulah dia akan menemukan restoran sejenis itu di luar pasar, mungkin di kawasan Gejayan. Maka ditunggunya sampai sepasang turis asal Belanda yang tak membeli apa pun itu keluar, lalu toko ditutupnya.

Tak lupa dia mengenakan kacamata hitam dan jadilah dia layaknya bule-bule lain. Bule eksotis, kulitnya telah menggelap dalam beberapa tahun terakhir. Dia berjalan kaki, melewati lampu-lampu merah dan plang-plang jalan, serta bangku-bangku kaki lima yang kadang melintang di depannya.

Melihat penampakan dua restoran yang bersisian itu, yang satu bernama Pizzanero dan yang sebelah bernama Big Platter, tak kunjung menetes selera makan Phil. Dia menengok Zomato pada layar smartphone. Kedua restoran itu terdaftar di sana. Perutnya sudah menggeram minta diisi. Sambil satu tangan berkacak pinggang, dia menimbang, mengukur, menerka. Mana yang paling baik di antara dua yang tampak setara buruknya.

Dia putuskan memilih yang di sebelah kiri. Namun, sebelum dia beranjak dari tempatnya berdiri, dia merasa mendengar seseorang memanggil namanya. Nama itu berdengung bersama alat bantu dengarnya.

"... Phil!"

Orang yang memanggil itu pasti kenal dia. Jantungnya memompa menyakitkan, ketakutan lama kembali menggenjotnya. Dia menoleh.

Sebastian sedang berdiri, seperti dia, tetapi tidak berkacak pinggang. Pemuda itu membuka mulutnya, tampak seperti memanggil namanya lagi. Dia lantas membalas, agak lebih kencang daripada yang seharusnya, "Halo, Sebastian! Mau makan juga?"

"Aku mau ambil motor dulu. Baru dari tukang tambal sepatu," jawab Sebastian. Kemudian, dia menatap kedua restoran di depan mereka. "Di sini enggak ada yang enak, Phil, percaya sama aku!"

"Tapi, review-nya ...."

Sebastian memotongnya, "Kalau pengen makan yang fancy tok, ya memang di sini tempatnya. Tapi, kalau mau makan yang beneran enak, ya ikut aku! Ayo, Phil, aku juga mau makan. Yang ini aku jamin enak!"

Setengah jam kemudian, mereka duduk di bawah tenda kaki lima oranye, terbungkus uap dari panci bakso yang nangkring di sebuah gerobak. Ramai tempat itu, dikerubungi orang-orang yang berlomba-lomba ingin makan siang duluan. Mereka menjejalkan diri di antara bahu dan kaki-kaki yang bersilangan, menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata yang curi-curi melirik Phil.

"Gimana di toko? Pak Pramista enggak makan?" Sebastian membuka percakapan sambil memainkan smartphone-nya. Basa-basi. Keduanya baru dua kali bertemu, jadi tak heran mereka agak canggung. Di kaki lima itu, tentu mereka harus mencari bahan obrolan. Sebabnya mereka masih menunggu pesanan datang, harus bersabar karena bapak tukang bakso bukanlah gurita yang punya sulur banyak.

"Pak Pramista sudah enggak ke toko lagi belakangan," jawab Phil. Dia pun ikut memainkan smartphone-nya.

"Aku enggak pernah lagi lihat dia di luar rumahnya," Sebastian berkomentar.

"Sudah tua," ujar Phil.

"Tapi enggak bagus juga di dalam rumah terus kayak gitu," sanggah Sebastian. "Dulu aku pernah masuk ke rumah Pak Pramista. Aku sama teman-temanku, waktu masih SD. Kami taruhan siapa berani masuk ke rumahnya. Di dalam kayak bungker! Pengap, gelap, bau!"

"Buat apa kamu masuk ke sana?" Phil bertanya. Pramista, setahu dia, bukanlah orang yang gemar mengundang tetangga ke rumahnya.

Sebastian terlihat malu. "Ah, aku keceplosan ini! Oke. Phil, jangan bilang-bilang ke Pak Pramista. Dulu aku masuk ke sana diam-diam."

Mendengarnya, Phil menyungging senyum. "Masa? Kok bisa?"

"Bisa! Waktu itu badan aku kecil banget. Kurus, kecil, tipis, mirip pemain sirkus. Aku manjat, waktu itu masih ada pohon di depan rumahnya. Sekarang sudah ditebang. Aku manjat sampai ke jendela. Salah satu jendela, yang kiri. Aku masuk dari jendela itu," Sebastian bercerita.

"Berarti itu kamarku yang sekarang," ujar Phil.

"Iya po?" kata Sebastian. "Pokoknya nyesel aku masuk. Enggak ada yang menarik. Waktu itu aku pikir ada sesuatu di rumah itu. Apa, kek, benda-benda aneh. Tapi, hantu saja enggak ada di sana. Isinya cuma kotak kardus, bertumpuk-tumpuk!"

"Sampai sekarang juga masih begitu," timpal Phil. Lantas, terpikir sesuatu olehnya, "Kamu pernah ketemu sama orangtua Pak Pramista?" Sebastian menjawab pernah, maka Phil bertanya lagi, "Mereka bagaimana orangnya?"

"Lho, Pak Pramista enggak pernah cerita?" tanya Sebastian. "Waktu itu dia sudah jompo. Ibunya. Aku cuma pernah ketemu ibunya. Bapaknya sudah meninggal sebelum aku sama ibuku pindah ke Bantul. Ibunya itu pikun. Dulu aku cuma diberi tahu itu namanya pikun. Kalau sekarang aku pikir-pikir lagi, kayak'e ibunya itu menderita alzheimer. Kasihan."

"Memang ..., memang. Berat kalau menderita alzheimer," Phil setuju. Dia memegang kepalanya. "Ingatan seperti berhamburan!"

Segera Sebastian menyahut, "Bukan. Maksud aku Pak Pramista yang kasihan. Ngurusi orang sakit begitu kan enggak gampang, bisa bikin stres."

"Mungkin gara-gara itu Pak Pramista enggak mau cerita soal orangtuanya," Phil menyahut. Kini, sikap Pramista yang serba tertutup itu dapat dia mengerti.

Sebastian bicara lagi, "Aku jadi ingat. Waktu aku masuk ke rumahnya itu, aku juga kepergok sama ibunya Pak Pramista. Medeni! Pakai daster panjang, rambutnya semrawut! Dia lihat aku, tapi kayak enggak tahu harus apa. Ndlongop mulutnya itu. Tatapan matanya hilang."

Dua mangkuk bakso menepi di hadapan mereka. Dengan menggebu, Sebastian menyambar garpu dan sendok di sebelahnya.

"Aku ki sering makan di sini. Ini langgananku, Phil," ujar Sebastian sebelum menyeruput kuah dan bihun yang panas.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali Phil menyicip bakso kaki lima. Harus diakuinya Sebastian benar, yang ini berbeda. Kuahnya lebih berlemak daripada semua bakso yang pernah dia coba, bikin kaldu makin sedap. Meski tetap saja tak bisa dia tepis khayalan tentang semilir angin di sepanjang Sungai Brisbane.

"Sebelum ketemu kamu tadi, aku mau cari makanan barat," kata Phil sambil menopang dagu dengan kepalannya. "Aku sudah lama enggak makan yang seperti itu. Makan santai betulan di restoran bagus, itu yang aku mau. Daging barbeku pakai saus! Yang enggak terlalu pedas! Di tepi sungai, melihat pemandangan, burung, dan pohon. Burung yang aku punya sekarang harus di dalam sangkar terus."

"Di sini juga ada sungai. Kali Progo!" canda Sebastian. "Kamu masih penasaran sama dua resto tadi? Aku sudah pernah coba dua-duanya. Kemahalan! Rasa biasa saja!" cetus Sebastian.

Sebastian barangkali terpaut sepuluh tahun lebih muda dari Phil, atau dua belas, atau lima belas. Lebih kecil kepalanya dibandingkan Phil, begitu pula lengan dan kakinya. Dia juga lebih pendek, tinggi badan maupun rambutnya. Phil tidak menyukai model rambut pemuda masa sekarang, yang dipangkas sisi-sisinya. Dia mengusap rambutnya sendiri yang sejak dulu dibiarkannya keriting dan lebat.

"Enggak pernah pulang ke Brisbane?" tanya Sebastian.

"Enggak," jawab Phil.

"Enggak punya pacar po di rumah?"

"Enggak ada."

"Kalau istri?"

"Enggak ada juga."

"Apa mau cari istri orang sini?" guyon Sebastian. "Biasanya bule suka cewek-cewek Indonesia. Carinya yang Asia-Asia gitu!"

Phil menggeleng sembari tersenyum disuguhkan candaan yang stereotipikal itu.

"Enggak kangen po sama keluargamu di Brisbane?" tanya Sebastian lagi.

"Agak kangen," Phil berbohong sedikit.

Mendadak, muncul kesungkanan pada wajah Sebastian dan Phil tahu apa yang hendak ditanyakan pemuda itu. Maka, dia berkata lagi, "Belum punya duit buat pulang." Senyumnya tersungging lagi, cukup singkat. "Aku masih pikir-pikir juga apa sebaiknya pulang atau menetap saja di sini. Sudah mulai betah."

Sebastian langsung tampak lega. Dia kembali melahap baksonya. Phil, juga lega karena tak perlu menghadapi kesungkanan Sebastian lagi, mengail sepotong kikil di dasar mangkuk.

"Kamu memang sering ke daerah sini?" tanya Phil.

Sebastian mengangguk. "Aku kuliah di Sadar. Kampusku di Mrican itu, lho," tuturnya.

"Sadar?" Phil mengulang.

"Sadar. Sanata Dharma. Kita-kita biasa menyingkat jadi Sadar," Sebastian menjelaskan.

Barulah Phil mengerti. "Akronim," timpalnya.

Sebastian mengiakan. "Jadi, burungnya Bu Imar masih kamu rawat?" tanyanya kemudian. "Belum mati?"

"Belum. Memangnya harusnya mati?"

"Ora. Aku cuma tanya. Aku enggak ngira, lho, kamu orangnya betah ngurus burung," ujar Sebastian. "Kalau aku, sudah aku jual!"

"Nanti Bu Imar kembali, dia pasti nyari burungnya," ujar Phil.

"Ini sudah satu tahun, Phil," desah Sebastian. "Jangan membebani diri sama urusan orang—"

"Mati?" sambung Phil.

"—yang enggak ketahuan di mana!" Sebastian menuntaskan ujarannya.

"Kamu juga punya pikiran dia masih hidup?" tanya Phil.

"Lho, kan enggak ada yang pernah nemu mayatnya! Mati perlu bukti!" cetus Sebastian. Dia betul-betul ngotot mengenai hal yang satu itu.

"Kalau enggak mati, terus ke mana Bu Imar?" tanya Phil.

Sebastian menggeleng. "Bisa diculik. Bisa kabur."

"Masa iya kabur enggak bawa uangnya? Ditinggal begitu saja semua?"

"Yah ...." Sebastian ragu sejenak, kemudian mencondongkan tubuhnya. "Phil, pernah enggak kamu mikir Imar Mulyani itu bukan identitas yang sesungguhnya?"

"Yep," jawab Phil.

"Masalahnya uang itu .... Uang di bawah lantai itu. Buat apa dia nyimpen sebanyak itu uang di situ? Apa enggak pernah dengar yang namanya bank? Apa enggak percaya sama bank? Tapi, ya namanya orang tua. Orang-orang tua kan ada yang begitu. Kolot. Sukanya nyimpen-nyimpen uang di rumah. Di bawah bantal, di lemari, di bawah baju!"

Phil menimpali, "Aku punya kakek di Australia. Sudah meninggal. Dulu dia simpan uangnya di dalam kasur. Dia jahit di dalam situ."

Sebastian menyeruput es teh manis. "Panas-panas gini, yang benar ya minuman kayak gini!" Dia mengusap keringat di keningnya dengan lengan baju. Segenap kenikmatan menjalari wajahnya. "Bu Imar. Enggak ada yang tahu dia itu dulunya apa. Kita tahunya dia itu peramal."

"Pernah diramal Bu Imar?" Phil menyela.

"Ya pernah," jawab Sebastian. "Wong tetangga. Dapet diskon kalau tetangga!" gelaknya. "Ayo, Phil, keluarkan dugaan tergila kamu. Bu Imar itu punya rahasia apa?"

"Ah, aku enggak—"

"Jujur waelah!"

Phil menelan ludahnya yang masih panas karena sambal. "Eh ..., mungkin dia mantan agen rahasia?"

Sebastian tampak kecewa mendengar itu. "Pikiranmu itu, lho, Phil! Klise tenan! Aku ki malah menduga dia itu lari dari sesuatu!"

"Seumur hidupnya?"

"Seumur hidupnya."

Sebastian melanjutkan sembari menghitung dengan jari. "Mungkin dia narapidana yang kabur. Mungkin dia saksi kejahatan. Mungkin ... eh ...." Dia berhenti, melirik Phil dengan ragu, kemudian berkata, "Mungkin dia dulunya pembunuh."

Phil menegakkan tubuh. "Pembunuh yang ketahuan, biasanya membunuh lagi, Sebastian, bukan kabur."

"Bisa saja, toh. Kalau pembunuh yang ketakutan pasti kabur!" Sebastian bersikukuh. "Ah, dugaan saja, kok, ini. Yang jelas, aku yakin banget masa lalunya Bu Imar enggak sesimpel yang kita bayangkan! Kabur, diculik, aku enggak tahu! Tapi, pasti ada sesuatu di masa lalunya yang membuat itu terjadi! Kamu pernah lihat uang Bu Imar yang di lubang itu? Temanku ada yang punya ibu polisi. Dia bilang uang Bu Imar itu ada banyak yang dibundel. Tahu dibundel, 'kan, Phil? Masih diikat rapi, masih mulus! Waktu aku dengar itu, aku jadi mikir jangan-jangan Bu Imar itu dulunya rampok!"

Phil menenggak air mineral botolannya. "Ada yang enggak benar, Sebastian. Kalau Bu Imar memang merahasiakan identitasnya yang asli, katakanlah dia kriminal, rampok, apa pun dugaan kamu itu, kenapa dia pilih profesi peramal? Itu malah bikin dia dikenal semua orang. Kamu tahu sendiri dia sering masuk TV, terang-terangan menunjukkan muka!"

Perkataan Phil membuat Sebastian tertegun. "Aku enggak mikir sampai situ. Mungkin dia mengubah mukanya? Operasi plastik?"

Phil angkat bahu. "Dia buka rumahnya buat orang-orang. Masa dia lakukan itu kalau dia sedang dalam pelarian atau sedang sembunyi?"

"Aku masih yakin sama teoriku," ujar Sebastian. "Dia enggak nyimpen foto, kenapa coba? Karena dia enggak pengin ada yang tahu dulunya dia kayak apa! Kalau anak muda kayak aku gini, wajar enggak nyimpen foto cetak, soalnya sekarang nyimpen foto di HP. Tapi, Bu Imar itu orang tua, harusnya dia nyimpen foto-foto lama. Hitam-putih, sepia, negatif film berbanjar-banjar. Album foto saja dia enggak punya."

"Yes, aku sadar itu," timpal Phil.

Sebastian menambahkan, "Ada yang bikin dia kabur malam itu. Rahasianya bocor! Ada yang tahu siapa dia."

Namun, Phil tahu bahwa Sebastian pun meragukan pendapatnya sendiri karena jika benar Imar kabur, ada pertanyaan lain yang harus terjawab: mengapa Imar memilih malam itu untuk kabur, di depan para tamunya?

"Kamu bilang mungkin juga dia diculik," kata Phil kemudian.

"Iya, pokoknya di antara dua itulah."

Lalu, kata Phil, "Aku juga belum yakin apa yang terjadi malam itu. Tapi, aku sepakat sama kamu. Bu Imar belum mati."

"Belum mati. Kayak gelatiknya itu," Sebastian berkata tegas, meskipun setelah lidahnya mengucap demikian, raut wajahnya berkata sebaliknya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro